Catatan Jacobus E. Lato*
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mungkin misteri. Mungkin teka-teki. Mungkin saja kemungkinan itu sendiri. Karena dia tidak masuk dalam ketiga kategori di atas, kita pun menyederhanakannya sebagai sesuatu yang multi-tafsir. Dan wacana kita pun jadi mudah. “Pendefenisian” Ahok menjadi tergantung pada kita; pada kekayaan pengetahuan, kekayaan pemahaman kita, tentang seluruh penghayatan kita tentang nilai kita bahkan Allah. Tetapi bisa juga orientasi politik, agama, bahkan keberpihakan kita.
Ahok mungkin lebih tepat sebuah fenomena. Jika Anda mampu merekamnya, maka fenomena rekaman Anda tentu tidak sama dengan hasil rekaman rekan Anda yang mungkin mendelik mengancam ketika Anda berbicara secara berbeda tentang Ahok.
Tetapi itulah Ahok!
Perjuangannya membuat kita percaya bahwa karier siapa pun terbuka di negeri ini. Dari pengusaha mudah, dia menjadi aktivis partai lalu menaiki tangga perjuangannya menjadi wakil rakyat kemudian melompat menjadi bupati dan akhirnya gubernur. Perjuangannya juga membuat dia menjadi napi yang banyak dari kita anggap sebagai penjahat. Karena itu ada media mengulasnya dengan indah. Ahok dari balaikota ke penjara, itu kira-kira judul ulasan mereka. Saya lupa nama media itu. Tetapi itu tidak penting. Yang penting adalah Ahok itu Cina, Kristen; dia minoritas ganda negeri ini.
Dan minoritas itu remeh. Tidak pantas diperhitungkan walau para sosiolog dan psikolog sosial membuat kita mabuk kepayang. Mereka mengatakan pembangunan sebuah negara itu digerakan oleh kaum minoritas. Otak sederhana kita pun mudah menerima; kaum minoritas memang harus berjuang lebih sungguh karena dia tidak bisa mengandalkan siapa-siapa untuk bisa hidup.
Sebagai minoritas, Anda harus bekerja lebih keras agar bisa makan dengan keyakinan seorang raja. Celakanya, perjuangan dan keberhasilan yang Anda capai bisa membuat orang jengah. Bukan sekedar bertanya-tanya, tetapi bisa saja menjadi iri. Bahkan juga prasangka. Dan kita pun, tahu prasangka itu berbahaya. Dia skema. Karena Anda tidak mudah dimasukan dalam skema pemikiran seseorang, maka Anda pun mudah dinilai sebagai penjahat.
Politik kita masa kini tidak abai dari prasangka. Apalagi jika terkait dengan kaum minoritas. Karena itu, meski dipermak dengan rumusan yang aduhai, ia adalah konsistensi intrik dengan insting sebagai daya pendorongnya yang paling murni.
Ketika kita punya lembaga yang khusus mengurus pendidikan bahkan perguruan tinggi, kita menjadi sedih. Sedih karena sebagai bangsa kita berubah kerdil. Kita menjadi primitif karena membiarkan hidup kita ditentukan oleh intrik dan insting. Yang lebih menyedihkan lagi, insting berkuasa di negeri ini dengan jubah mewah bernama agama.
Tentang Penulis: * Jacobus E. Lato adalah kontributor untuk Lembaga Kajian Middle East Forum (Philadelphia, AS) serta Lembaga Kajian Gatestone Institute (New York, AS).