Menurut cara pandang psikoanalitik, ‘pengingkaran’ merupakan sebentuk pertahanan psikologis yang digunakan pada waktu tertentu untuk mengurangi kecemasan. Orang yang tampaknya terpelajar dan waras sekali pun, termasuk para figur publik dan politisi kondang, tanpa kecuali, dapat saja dengan keras mengingkari kebenaran meskipun ada data yang tak terbantahkan.
Pengingkaran mirip dengan “kebenaran” sebagaimana ditulis Stephen Colbert, di mana orang yang mengingkari dengan tegas menolak untuk menerima fakta-fakta ilmiah yang terverifikasi karena fakta-fakta ini akan menghalangi ide-ide kaku mereka. Pengingkaran atas kebenaran di sini dapat merupakan antitesis terhadap tesis mereka melalui hoax, di mana “kebenaran” ada pada “pasca-kebenaran” yang telah mereka perkosa sekaligus mereka sebarkan ke orang lain sebagai sebuah “keyakinan tak boleh terbantahkan”.
Secara psikiatri, hoax adalah “khayalan” yang dapat diartikan sebagai keyakinan yang kuat pada beberapa gagasan yang diketahui salah, dan ini bisa merupakan sebentuk gejala paranoia atau psikosis. Orang yang percaya pada ketidakbenaran mungkin saja tidak sakit secara mental. Penampakan dan pola awalnya hanya berupa terlalu bersikukuh teguh pada keyakinan palsu mereka meskipun ada bukti jelas yang bertentangan dengan yang disajikan kepada mereka, terutama jika didasarkan pada temuan faktual.
Para pengingkar ini adalah juga “pemercaya sejati” yang “mengakui hanya ada satu kebenaran mutlak”. Mereka dapat disebut setara dengan “fundamentalis” yang dapat ditemui di semua agama dan ideologi, yang biasa menafsirkan ayat, ajaran, dan adagium apa pun secara harfiah atau mentafsirkan ulang sesuai dengan prasangka dan kebencian mereka.
Konsep “pengingkaran psikologis” merupakan penolakan untuk meyakini kebenaran yang berakibat tidak nyaman. Peminum berat, pedoyan makanan, perokok, atau pengguna narkoba biasa berkata, “Saya bisa kapan saja saya mau,” atau seseorang dengan penderita batuk kronis berkata, “Tidak perlu dikhawatirkan, ini ‘khan hanya batuk.” Penekanan yang dilakukan para pengingkar pada celah yang jelas antara kenyataan dan keyakinannya biasanya menghasilkan banyak alasan tipis yang mendukung posisi mereka dan dapat memicu ledakan kemarahan jika dilanjutkan secara jangka panjang.
Mekanisme pengingkaran mengabdi pada tujuan yang berguna dalam membantu orang mengatasi perubahan mendadak, dan bisa dikatakan tidak berbahaya selama tidak dipertahankan terlalu lama. Namun pengingkaran kronis bisa menjadi berbahaya ketika mengganggu kemampuan seseorang untuk mengatasi secara efektif tantangan yang dihadapinya.
Dalam jangka panjang pengingkaran dapat berkembang menjadi “Anosognosia”. Ini bukan hanya penolakan masalah, tetapi juga ketidakmampuan untuk mengenali bahwa masalah secara objektif ada dan nyata. Dalam banyak kasus, Anosognosia merupakan konsekuensi dari cedera otak, dan terjadi pada berbagai tingkat gangguan seperti skizofrenia, gangguan bipolar, dan penyakit Alzheimer.
Orang-orang yang menderita anosognosia cenderung menolak menghadapi kebenaran. Mereka benar-benar tidak dapat percaya bahwa yang mereka derita sebenarnya adalah penyakit. Akibatnya, mereka tidak melihat alasan untuk minum obat yang dapat mengendalikan penyakit mereka. Banyak orang yang menderita anosognosia cenderung menolak untuk minum obat skizofrenia atau gangguan bipolar, karena mereka tidak percaya mereka sakit. Dan, jika berhasil didorong pun, mereka dapat memberikan kesan kerjasama, tetapi diam-diam membuang obat mereka.
Dalam berbagai kasus skizofrenia paranoid, di mana para pasien percaya orang lain sedang berkonspirasi untuk menyakiti atau mengendalikan hidup mereka, kombinasi anosognosia dan paranoia dapat memprovokasi mereka untuk melakukan tindakan kekerasan dalam upaya untuk melarikan diri dari, atau menyerang sama sekali, para “penganiaya”. Ini menjelaskan beberapa kasus, termasuk Kasus Ratna Sarumpaet atau Kasus Najib dari Karawang, di mana persekusi atau aniaya menjadi kata kunci mereka untuk mendefinisikan orang lain.
Dalam dunia hukum dan kedokteran, anosognosia memainkan peran penting. Pasien dapat melakukan pengobatan atas dasar kebijakan sendiri, dengan mana mereka bebas mencari, memilih, atau menolak pengobatan, yang menurut mereka tak tepat. Tak jarang hak individu untuk mengendalikan perawatan medis sendiri bertentangan dengan prinsip-prinsip penting lainnya, yaitu, kesucian hidup dan perlindungan orang lain dari bahaya dan sebagainya. Akibatnya, jika seseorang berada dalam cengkeraman episode psikotik parah sehingga dinilai cenderung membahayakan dirinya sendiri atau orang lain, secara hukum dapat dirumah-sakit-jiwakan untuk keperluan evaluasi dan perawatan.
Masalahnya, secara komunal, jika jumlah penderita anosognosia ini berjamaah, bahkan berhimpun dalam wadah kekuatan sosial-politik-kemasyarakatan tertentu, mereka tidak mungkin dirumah-sakit-jiwakan. Mereka pun bergentayangan dalam masyarakat sebagai “the troops of the unhospitalized psychiatric sick people” (pasukan orang sakit jiwa yang tidak dirumah-sakit-jiwa-kan). Bahaya bukan dari keinginan para psikosis ini (terutama, mereka dengan skizofrenia) untuk menyakiti, tetapi dari halusinasi dan delusi yang dapat mendorong tindakan kekerasan.
Jadi tidak mengherankan bahwa mereka di satu sisi menyadari sifat penyakit mereka, juga risiko bahaya yang datang dari mereka; tetapi, di sisi lain, mereka mengingkari perawatan yang dapat mencegah insiden kekerasan. Demikian pula, para penderita menjadi berbahaya karena mereka tidak percaya bahwa ada yang salah pada diri mereka. Kepercayaan ini membuat mereka menolak perawatan, dan tetap berbahaya dan mengancam masyarakatnya; sementara mekanisme kelembagaan mana pun tidak mungkin mengumumkan secara publik bahwa seseorang atau sekelompok orang yang sudah terdefiniskan sebagai penderita anosognosia perlu dicegah, misalnya, untuk mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif atau eksekutif.
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.