Categories
Begini Saja

Antara “Jenazah” dan “Mayat”

Artikel ini diperiksa dan disunting ulang dari artikel Edy Suhardono yang pertama kali dipublikasikan di Facebook Edy Suhardono: ANTARA “JENASAH” DAN “MAYAT”, 19 Agustus 2014.

Dari cara seseorang berbicara dan memilih kata, kita dapat menangkap isyarat-isyarat sosial dan kecerdasan emosional. Demikianlah yang dilakukan Jeffrey Hancock, seorang profesor komunikasi di Cornell University. Untuk menentukan apakah seorang psikopatik atau bukan , ia menganalisis hasil wawancara terhadap para pembunuh yang terhukum.

Yang disorot oleh Hancock adalah bagaimana para pembunuh terhukum itu menggunakan bahasa tertentu dan pola bicara. Penelitian ini mengulas dua jenis fenomena bahasa, khususnya: ironi verbal dan kebohongan. Psikopatik adalah mereka yang hampir tidak pernah melakukan ikatan emosional sebagaimana orang normal. Hal ini dimanifestasikan dengan perilaku amoral dan antisosial, kurangnya kemampuan untuk mencintai atau menjalin hubungan pribadi yang bermakna, perilaku egoistik yang ekstrim, kegagalan untuk belajar dari pengalaman; sedemikian rupa sehingga psikopatik sulit berempati.

Terkait dengan pilihan kosakata untuk “orang yang sudah meninggal”, orang punya pilihan, antara lain dengan kosakata yang berpelangi emosi tentang pribadi, misalnya: “jenazah”, “almarhum/ almarhumah”, “mendiang”, “yang telah berpulang ke rahmatulah”; atau kosakata yang berkonotasi saintifik, seperti: “angka mortalitas”, “angka kematian”, “angka keguguran”; atau kosakata yang sama sekali berkonotasi bendawi dan nirpribadi, seperti: “mayat”, “bangkai”, “zombi”, “jerangkong”, atau “seonggok daging”. Psikopatik cenderung menggunakan kategori terakhir, yakni kosakata yang berkonotasi bendawi dan nirpribadi.

Selain ciri tersebut, psikopatik cenderung melihat orang lain orang sebagai sarana untuk mencapai tujuan mereka sendiri, bukan sebagai pribadi atau individu. Kelainan emosional psikopatik tampak pada pola bicara mereka, antara lain: menggunakan banyak frase kausal (sebab-akibat)seperti “jadi” dan “karena.” Kausalitas ini diartikan sebagai penjelasan bahwa kejahatan mereka adalah “hasil logis dari rencana atau sesuatu yang ‘harus’ dilakukan untuk mencapai suatu tujuan”. Sebaliknya, penjahat terhukum yang tidak psikopatik cenderung menggunakan bahasa yang lebih berkisar pada ranah agama dan rasa bersalah mereka.

Para peneliti mengamati, penyimpangan dalam percakapan para psikopatik juga nampak dari penyebutan kebutuhan dasar seperti makanan dan uang sebagai kata-kata kunci, selain kegemaran menggunakan “disfluencies” (ungkapan-ungkapan seperti “eh“, “ha“, atau “emm“) untuk menghubungkan antara ucapan kata mereka.

Merujuk pada tautan berikut ini, yang menarik untuk diulas adalah kenapa Prabowo Subianto mengungkapkan keheranannya dengan kalimat pertanyaan, “Bagaimana bisa di negara yang merdeka ini, negara yang terhormat ini, bisa ada mayat nusuk (memilih) sampai 6 kali? Hah? Orang yang sudah mati bisa nusuk 6 kali? Yang masih hidup aja hanya bisa nusuk 1 kali.”

Kenapa beliau tidak memilih kata “jenazah”, tetapi “mayat”? Bandingkan dengan kosakata yang kita temui pada papan penunjuk arah yang terpampang di sudut-sudur gang di rumah-rumah sakit yang lebih memilih KAMAR JENAZAH daripada KAMAR MAYAT. Silakan dibahas.

Tautan:

Prabowo: Bagaimana Mungkin Mayat Bisa Nusuk di TPS Sampai Enam Kali?

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *