Categories
Begini Saja

Apa dan Siapa Yang Masih Anda Percaya?

Artikel ini diperiksa dan disunting ulang dari artikel Edy Suhardono yang pertama kali dipublikasikan di Facebook Edy Suhardono: APA DAN SIAPA YANG MASIH ANDA PERCAYA?, 13 Agustus 2014.

Meski belakangan ini kita dibombardir dengan ketidakpastian dalam menggantangkan kepercayaan kita pada berbagai cerita, berita, pernyataan atau kesaksian yang berseliweran, saya berani memastikan, bagi kita kepercayaan dan keandalan adalah inti dari berlangsungnya interaksi sosial. Kita tidak mungkin melakukan komunikasi tanpa asumsi bahwa kita bisa mempercayai orang yang sedang kita hadapi. Lebih sering, orang memutuskan siapa yang harus dipercaya sekadar mendasarkan pada narasi seseorang, cerita-cerita yang kita tahu tentang orang itu dan, yang paling penting, pada cerita yang ia tuturkan kepada dirinya sendiri.

Sementara penutur seharusnya menghasilkan narasi yang handal dan dapat dipercaya, kita yang menjadi pendengar dan pembaca kian menghadapi teka-teki tentang bagaimana mengetahui apakah cerita sang penutur dapat dipercaya dan meyakinkan, atau apakah penutur harus kita sebut sebagai pembohong.

Keputusan menyangkut kebohongan seseorang tidak hanya menyebabkan kita menganulir kepercayaan, tetapi juga mengarah kita ke upaya untuk mengukur mengapa penutur menceritakan cerita seperti itu. Apakah hanya karena dia naif atau lebih tepatnya secara psikologis “gila” atau bahkan sengaja melakukan penipuan dan pengkhianatan? Di sini kemampuan untuk mendeteksi sejauh mana narasi dapat diandalkan merupakan keterampilan sosial yang penting bahkan menjadi sangat penting dan menantang dalam pergaulan saat ini. Kegilaan yang berlangsung pada saat ini, baik pembaca maupun penonton layar kaca senang ketika menemukan bahwa pencerita ‘tidak-cukup-terpercaya’. Kita seolah mendapatkan kelegaan dahaga jiwa dengan letupan gusar sembari mengumpat, “Ah, pembohong kau!”

Pertanyaan tentang apakah perlu mempercayai penutur mungkin telah merebak dalam spektrum yang luas di berbagai bidang, mulai dari ekonomi ke politik, dan dari psikologi ke karya sastra. Kita bahkan kebingungan membedakan infomasi, apakah itu suatu cerita, berita, atau fiksi. Meskipun demikian, pembahasan tentang konsep ketakkeandalan sebagian besar terbatas pada disiplin tertentu, dimana masing-masing disiplin memiliki metode sendiri dan pendekatan untuk menganalisis fenomena ini. Bahkan tidak cukup jelas untuk menarik adanya hubungan antara istilah ‘trust’ atau ‘dapat dipercaya’, yang digunakan dalam sejumlah disiplin ketika harus memutuskan apakah pencerita adalah pembohong atau mitra terpercaya.

Meskipun demikian, pertanyaan apakah seorang narator dapat dipercaya atau tidak, ini menjadi isu penting di berbagai bidang, terutama di bidang jurnalistik, historiografi, hukum, kedokteran dan psikologi. Dalam berbagai ekspose terkait sidang sidang sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi, misalnya, adalah sangat penting untuk memutuskan apakah hakim akan mempercayai saksi; dalam dunia kedokteran hampir 80% dari informasi diagnosis diarahkan oleh narasi pasien yang diteruskan oleh orang awam; dan dalam politik masalah keandalan Capres-cawapres menjadi isu utama dalam pemilu.

Mengingat pentingnya narasi yang dapat diandalkan dalam berbagai bidang, maka bisa dipastikan bahwa banyak disiplin ilmu akan memperoleh keuntungan dari konseptualisasi yang lebih tepat tentang keterandalan narasi yang dilambari prosedur metodologis untuk mengukur derajat ketidakhandalan. Dan terlepas dari signifikansi pentingnya tinjauan kritis terhadap fenomena tersebut, sangat sedikit penelitian antar-disiplin sejauh ini yang telah dilakukan.

Baru-baru ini perdebatan psikiatrik versus legal/law yang diwakili oleh pengacara OC Kaligis terkait gangguan bipolar yang diduga dialami oleh artis Marshanda mengusik untuk mengulas secara komprehensif tentang ketakandalan penutur. Dan tampaknya perlu didiseminasikan kriteria implisit dan eksplisit dalam upaya memperbaiki, memodifikasi atau memperluas pengertian tentang ketidakandalan cerita yang gilirannya membawa ke keputusan bahwa seorang pencerita adalah pembohong.

Silahkan Anda mengeksplor isu ketakandalan ini dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:

  1. Apa pengertian/konseptualisasi /definisi Anda tentang ketidakandalan dan ketidakpercayaan dari suatu cerita, berita, pernyataan atau kesaksian?
  2. Kriteria apa yang Anda terapkan untuk menilai apakah seorang pencerita, pemberita, pembuat pernyataan, atau saksi adalah tak terpercaya dan tidak dapat diandalkan?
  3. Fungsi apa saja yang membuat suatu cerita, berita, pernyataan atau kesaksian tidak dapat diandalkan atau dipercaya?

Di tengah semua cerita, berita, pernyataan atau kesaksian yang berseliweran saya akan mencatat masukan-masukan Anda. Kita memerlukan keutuhan interaksi sosial di antara kita agar kelak tidak satu pun di antara kita jatuh ke dalam krisis identitas yang gilirannya menghantar kita ke kegilaan dalam arti lurus dan sesungguhnya.

Salam.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *