Categories
Begini Saja

‘Core’ yang Tersegmentasi

Era media sosial merayap dengan cepat, menghadirkan tren dan bahasa baru yang kian berkembang. Salah satu kata yang sedang menanjak popularitasnya adalah “core”. Secara harfiah, menurut Oxford English Dictionary, “core” berarti inti atau pusat dari sesuatu. Namun, di tangan pengguna media sosial, makna ini meluas dan tersegmenkan ke berbagai subkultur yang lebih spesifik. Dari “cottagecore” hingga “flowercore”, kata ini menjadi penanda identitas bagi komunitas yang berpusat pada minat tertentu. Fenomena ini menunjukkan kemampuan bahasa untuk beradaptasi dan berkembang seiring perubahan zaman.

Memaknai “core” dalam dunia maya mirip dengan pencarian jati diri dalam berbagai subkultur. “Core” bukan lagi sekadar inti, tetapi elemen dasar yang mencerminkan kesukaan dan gaya hidup seseorang. Istilah seperti “dark academia core” misalnya, menggambarkan kecintaan pada estetika yang gelap dan cendekia. Nancy Baym, seorang pakar komunikasi digital, menyatakan bahwa “identitas digital memungkinkan individu mengeksplorasi berbagai bagian diri mereka melalui komunitas yang mereka pilih” (Baym, 2015). Ini menunjukkan bahwa bahasa tidak hanya alat komunikasi, tetapi juga sarana pengembangan diri di dunia digital.

Di Indonesia, tren ini tidak kalah populer. Contoh penggunaan “core” bisa kita lihat pada judul video atau konten kreatif yang beredar di media sosial. “Viral core” sering kali menampilkan potongan-potongan momen menarik yang diambil dari satu kejadian besar, seperti perayaan Lebaran atau pesta pernikahan. Penggunaan “core” yang tersegmentasi ini tidak hanya memberi warna baru dalam komunikasi digital, tetapi juga memperkuat identitas komunitas berbasis hobi atau minat tertentu (Suhardono & Audifax, 2023).

Transformasi kata “core” ini memberikan dinamika baru dalam dunia budaya digital. Secara tidak langsung, hal ini juga memperlihatkan bahwa makna kata dapat berubah seiring perkembangan teknologi dan sosial budaya. Penggunaan “core” sebagai penanda subkultur dan identitas diri menegaskan bahwa bahasa adalah sesuatu yang dinamis, fleksibel, dan selalu berevolusi. Sarah Pink dalam bukunya “Digital Ethnography” menegaskan, “Platform digital mengubah cara kita berhubungan dengan makna dan identitas, menciptakan ruang bagi ekspresi diri yang tak terbatas” (Pink, 2016).

Melalui gaya bahasa yang tersegmentasi ini, kita bisa melihat bagaimana bahasa gaul mampu menciptakan ruang kreativitas dan personalisasi yang lebih besar. Pada akhirnya, tren “core” ini adalah cerminan dari evolusi budaya digital yang semakin inklusif, memungkinkan siapa saja untuk merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Di sinilah letak keindahan dan kekuatan bahasa dalam memotret zaman dan identitas sosial kita.

Referensi:

Baym, Nancy K. 2015. Personal Connections in the Digital Age. Polity Press.

Pink, Sarah. 2016. Digital Ethnography. SAGE Publications.

Suhardono, Edy dan Audifax. 2023. Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas, Gramedia Pustaka Utama.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

7 replies on “‘Core’ yang Tersegmentasi”

Terimakasih untuk berbagi pengetahuan Mas Edy tentang perkembangan dunia digital melalui bahasa. Hal baru bagi saya, perlu menyimak terlebih dahulu.

Salut atas sikap mau belajar tentang isu ini, Mas Sugeng.

Bersikap xenophobik atau takut terhadap media sosial adalah tindakan yang tidak adil, mengingat kita juga perlu memahami apa yang sebenarnya terjadi di dalamnya. Mengetahui atau memahami isi dan dinamika media sosial tidak berarti kita harus menyukai atau menyetujui segalanya.

Namun, dengan memiliki pemahaman yang lebih baik, kita akan memperoleh pertimbangan yang lebih matang dalam menentukan sikap dan keputusan terbaik terkait penggunaan media sosial. Hanya dengan bersedia terbuka mempelajari media sosial, kita dapat menghindari prasangka dan mencari solusi konstruktif atas berbagai persoalan yang ada.

Pada akhirnya, sikap saling memahami dan mencari jalan tengah merupakan pendekatan yang lebih produktif daripada sekadar menolak atau menyalahkan media sosial secara membabi buta.

Selamat sore, Pak Edy Suhardono, Tks atas tulisannya yang sangat inspiratif.

Menarik menyimaknya; bahasa ternyata mampu menjadi ekspresi subkultur kelompok tertentu yang kita tahu menjadi semacam ekspresi eksklusif dan karena itu berciri perlawanan.

Apakah fenomena ini bisa dibaca secara lain; bahwa perjuangan hidup yang semakin merumit menyebabkan kaum muda lebih mudah menjadikan bahasa sebagai sarana dan ekspresi perlawanannya? Dan jika mereka bertekad melakukannya secara lain, apakah upaya itu memungkinkan mengingat ruang publik kini benar-benar menjadi lahan terbuka sehingga siapapun bisa merasa diri menjadi raja di sana dan pihak yang lemah menjadi tersingkirkan?

Atau mungkinkah ekspresi perlawanan lewat bahasa bisa menjadi perlawanan intelektual dan sosial yang lebih membumi sekarang ini.

Oh ya apakah perlawanan itu sesuatu yang temporer; sesuatu yang lahir dari sikap sekedar “sok.” Tidak lahir dari kedalaman pikir dengan jejaring konsekwensi sosialnya.

Pak Jacobus, terima kasih dan jempol atas pertanyaan-pertanyaan yang substantif dan ‘nandhang’!.

Fenomena bahasa sebagai ekspresi perlawanan memang menggambarkan bagaimana kaum muda mencari identitas dan suara di tengah kompleksitas kehidupan modern. Bahwa mereka memilih bahasa sebagai sarana perlawanan tidak terlepas dari kemudahan akses dan keterampilan mereka dalam memanfaatkan teknologi dan media sosial. Ini menjadi ruang mereka untuk berekspresi bebas dan menyuarakan ketidakpuasan terhadap berbagai hal, mulai dari politik hingga kultur pop.

Namun, tak jarang perlawanan melalui bahasa tidak semata bersifat temporer. Perlawanan ini bisa menjadi bentuk intelektual dan sosial yang membumi jika disertai dengan kesadaran mendalam dan tujuan jelas. Sebagai contoh, periode Reformasi 1998 di Indonesia diwarnai oleh penggunaan bahasa kode, slang, dan simbol oleh mahasiswa untuk menyuarakan kritik terhadap rezim. Bahasa mereka, seperti “orde baru” dan “transisi demokrasi,” menjadi alat untuk menyatukan gerakan dan mengedukasi masyarakat luas mengenai pentingnya perubahan.

Contoh konkrit yang relevan bagi generasi usia di atas 50 tahun adalah penggunaan sindiran dan bahasa dalam lagu-lagu Iwan Fals pada era ’80-an. Melalui lirik lagu seperti “Bento” dan “Bongkar,” Iwan Fals menyampaikan kritik sosial yang tajam namun tetap bisa dikonsumsi oleh berbagai lapisan masyarakat. Berbeda dengan Iwan Fals, Gombloh tidak hanya mencipta lagu-lagu kritis dan bernuansa protes yang diracik secara jenaka, tetapi juga lagu-lagu yang membangkitkan nasionalisme (Ihwal ini sedang saya tulis bersama dengan Audifax. Kami mengelaborasi tentang “homo mensura” yang dalam salah satu bab membahas perbandingan ‘etika kritis’ antara Iwan Fals dan Gombloh [Sujarwoto Sumarsono] sebagai “seniman protestan” yang sebenarnya berbeda genre dalam sistem nilai). Generasi ini memahami bahwa bahasa dalam lirik lagu tersebut bukan sekedar ekspresi temporer, melainkan bentuk perlawanan intelektual yang berhasil menggugah kesadaran sosial dan menimbulkan perubahan nyata.

Dalam era digital ini, perlawanan melalui bahasa juga dapat lebih diperkuat melalui tulisan, blog, video, dan media sosial yang membawa pesan-pesan berbobot dan berdampak luas. Sebagai contoh, vlogger atau influencer yang menggunakan platformnya untuk mengkampanyekan isu lingkungan atau keadilan sosial bisa membuat perlawanan intelektual yang efektif.

Jadi, perlawanan lewat bahasa bisa melangkah lebih jauh dari sekedar fase sementara. Dengan strategi tepat dan pemahaman mendalam, ekspresi ini bisa menjadi bentuk perlawanan yang menciptakan perubahan sosial nyata dan relevan bagi masyarakat luas.

Tertarik untuk mendiskusikan pernyataan
“Dalam era digital ini, perlawanan melalui bahasa juga dapat lebih diperkuat melalui tulisan, blog, video, dan media sosial yang membawa pesan-pesan berbobot dan berdampak luas.”
Apa ukuran membawa pesan-pesan berbobot dan berdampak luas, dikarenakan di dunia digital, media sosial, vlog, blog… Ada juga yang menyampaikan pesan-pesan ” maaf” tidak berdasarkan fakta dan cenderung tidak berbobot menjadi berdampak dengan diikuti.
Hal apa yang perlu kita perhatikan dengan informasi di media sosial yg cenderung tidak faktual dan banyak menyampaikan kondisi “kebohongan”?

Mas Sugeng, terima kasih tanggapan dan pertanyaannya.

Pernyataan bahwa perlawanan melalui bahasa dapat diperkuat melalui tulisan, blog, video, dan media sosial memang benar adanya. Anda mengangkat keberatan yang valid terkait kualitas konten digital saat ini. Banyak sekali konten yang tidak berbobot, tidak faktual, bahkan menyampaikan kebohongan di dunia digital.

Untuk mengatasi hal ini, diperlukan standar kualitas dan kredibilitas yang jelas dalam memproduksi konten digital. Menurut pakar komunikasi digital, Cindy Royal, ada beberapa kunci agar pesan-pesan digital dapat berbobot dan berdampak luas, yaitu (Royal, 2017):

1. Akurasi informasi: Pastikan konten yang dibagikan berbasis fakta dan sumber yang kredibel.
2. Penggunaan bahasa yang jelas dan persuasif: Pesan harus disampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami, lugas, dan meyakinkan.
3. Kesesuaian dengan audiens: Konten harus disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik khalayak yang dituju.
4. Kemampuan menjangkau audiens yang luas: Platform digital yang dipilih harus mampu menjangkau target audiens secara efektif.
5. Kemampuan memicu interaksi dan keterlibatan: Konten yang baik harus mampu memicu respon, diskusi, dan aksi dari audiens.

Dengan menerapkan standar kualitas seperti ini, maka pesan-pesan berbobot dan berdampak luas di dunia digital dapat terwujud, sehingga perlawanan melalui bahasa dapat lebih efektif. Dibutuhkan upaya kolektif dari produsen konten untuk menjaga kualitas informasi yang disebarkan.

Referensi:
Royal, C., “Managing Digital Products in a Newsroom Context”. SOJ, Vol. ume 7, Number 1, Spring 2017. Diakses 26 Juni 2024 dari https://scholar.google.com/citations?view_op=view_citation&hl=en&user=GYA5rCEAAAAJ&citation_for_view=GYA5rCEAAAAJ:hC7cP41nSMkC

Terimakasih atas tanggapan dan informasi yang lebih lengkap Mas Edy. Diperlukan aksi untuk menerapkan kriteria di atas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *