Categories
Begini Saja

Dari Model Pendidikan Instruksional Ke Model Konstruksi Anak

1.    Diferensiasi dan Individuasi

Tiga dasawarsa silam, salah satu dari sekian karya penelitian yang diperhitungkan ialah yang dihasilkan oleh University of Virginia di negeri Paman Sam. Yang banyak disitir orang dari laporan ini ialah pernyataan: “Our contemporary society stresses, perhaps in an attempt to counteract the complexity and impersonalization of industrial society, the individual. Being a part of the general culture, the educational system is also attempting to emphasize individuality rather than conformity”.[1]

Menyelaraskan dengan kian kompleks dan meningkatnya sifat apribadi dari para anggota masyarakat industri, penekanan tindak kependidikan pun tertuju pada kepentingan individu; dengan demikian, sistem pendidikan sebagai bagian dari budaya pun lantas lebih menekankan individualitas ketimbang konformitas. Kini, hari ini, setelah lebih dari tiga dasawarsa sejak penelitian tersebut diterbitkan, pertanyaannya pun tetap sama: “Bagaimana kita harus menjawab kebutuhan khas-perorangan dari para pembelajar?”

Selama praktik layanan konsultasi dengan pada ribuan klien, saya lebih sering menemui kasus salah perlakuan kependidikan (educational mistreatment), di mana sebagian besar klien berhadapan dengan para guru sekolah yang resisten terhadap keinginan klien/orangtua/wali berkenaan dengan perlakuan kependidikan. Para orangtua menginginkan agar anak mereka diperlakukan sesuai kekhasan; sebaliknya, para guru berkilah bahwa model pendidikan yang mereka terapkan bukan pendidikan individual semacam home-schooling, tapi model pendidikan umum yang tidak memperlakukan anak menurut keistimewaan mereka.

Giliran saya melakukan advokasi dengan mengajukan pertanyaan reflektif kepada para guru: “Jika terhadap satu anak saja Anda gagal menangani, bagaimana mungkin Anda mampu menangani satu kelas anak, yang tentunya dengan sekian agregat keistimewaan?” Para guru pun diam, mencoba menegaskan lagi argumen sebelumnya, namun akhirnya mereka balik bertanya, “Benar juga, jadi selama ini sistem macam apa yang kami terapkan?” Artinya, dengan pemahaman bahwa diperlukan instruksi yang tepat sasaran, para pendidik –guru, tak terkecuali para orangtua— harus mau tahu perihal peta para pembelajar berkait dengan kesiapan, minat, dan profil pembelajaran anak; sebab kesiapan menentukan arah pertumbuhan, minat menentukan motivasi, dan profil pembelajaran menentukan efisiensi pembelajaran.

Apabila tujuan pendidikan ialah mempersiapkan seseorang agar tiba pada dunia orang dewasa, lantas konteks realia, atau terapan dan pengalaman “mundanae-realism (dunia nyata)” keseharian harus menjadi petimbangan. Instruksi langsung memang masih menjadi tetapan dalam praktik pendidikan bahkan cenderung dianggap sebagai cocok bagi semua pembelajar pada berbagai konteks; namun sebenarnya para guru juga menyadari adanya kesulitan memenuhi kebutuhan terapan praktis di kelas yang lebih menjawab keragaman siswa. Apa pun cara yang ditempuh: menganalisis masalah, membuat kliping, menulis puisi, membuat makalah, atau melakukan diskusi kelompok; persoalan yang hendak dijawab sama, yakni sejauh mana prosedur-prosedur ini relevan dengan kekhasan siswa sebagai pembelajar.

Jadi, apa pun prosedur yang diterapkan, terdapat empat asumsi berkenaan dengan hasil-hasil riset tentang otak manusia yang dilakukan Priscilla Theroux [2] yang salah satu rujukannya mengacu pada hipotesis Miriam Diamond, seorang profesor neuroanatomi pada University of California Berkeley, bahwa di dunia ini: (1) tidak ada dua anak yang sama persis; (2) tidak ada dua anak yang belajar dengan cara yang sama; (3) tidak ada fasilisasi atau pemerkayaan lingkungan yang diperlukan secara sama oleh dua anak berbeda; dan (4) di dalam suasana kelas, kepada anak harus diajarkan agar mereka berpikir menurut cara khas mereka.

Di bawah timbangan keempat asumsi, tugas para guru dan orangtua tak lain ialah menyediakan jalur pembelajaran yang dapat menghantar para pembelajar menuju tingkatan proses kognitif lebih tinggi dan pencapaian standar sesuai keberadaan atau konstruksi khas mereka. Terkait hal ini, meski “instruksi yang khas individu (II, individualized instruction)” sudah dikenali orang selama sejarah kependikan, terma “instruksi sesuai konstruksi anak (DI, differentiated instruction)” baru menapakkan kaki pertama kali tak lebih dari dua dasawarsa terakhir melalui konsep “self-paced learning.” [3] DI dan II sebagai terma dikenalkan oleh periset Barbara Clark di tahun 1993 sebagaimana disitir Bravmann, [4] di mana diferensiasi mengacu pada karakteristik anak dan individuasi merupakan proses pengakomodasian kurikulum seturut keberadaan anak:

“…Differentiation is the preparation that is made for the curriculum to respond to the characteristic needs of [gifted] children, such as allowing a faster pace of learning and choosing themes and content that allow for more complex investigation. Individualization is the process of adapting that curriculum to the needs and interests of a particular [gifted] student. A program requires both to be really successful” (Bravmann, 2004).

DI dimaksudkan guna membantu setiap pembelajar/siswa mencapai aktualisasi potensi seoptimal mungkin yang dapat mereka capai melalui metode atau filosofi pengajaran semacam “daftar pengejaan seturut kekhasan individu (individual spelling lists)”, “metode belajar melalui beraktivitas (methods/learning activities)”, “kontekstualisasi situasi (contextualized situations)”, “percobaan langsung (experimentalism)” dan pemecahan masalah (problem solving).

2.    Konstruksi Anak versi MI

Dengan risalah ini saya bermaksud memperlihatkan, betapa model pendidikan instruksional hampir selalu mengabaikan konstruksi anak. Sambil bermain metodologi riset melalui kreasi, validasi instrumen, dan praktik konsutasi/konseling, saya menguji ketahanan dan keluasan cakupan teori Kecerdasan Jamak (Multiple Intelligences) cetusan Howard Gardner, [5] yang secara khusus bersinggungan dengan gaya belajar individu. Gaya belajar dibagi ke dalam ke dalam sembilan tipe seturut sembilan kecerdasan jamak versi Gardner, yakni: logical linguistic, logical-mathematical, intrapersonal, spatial, musical, bodily-kinesthetic, interpersonal, naturalistic, dan existential.

Berpijak pada gagasan awal bahwa setiap orang paling efektif jika belajar sesuatu sesuai dengan gaya belajarnya, seorang guru dengan filosofi constructionist akan meretas kurikulum ke dalam banyak opsi teknologi pengajaran. Dari penerapan metode ini hingga tahun 1999 dihasilkanlah beberapa pilihan teknologi sesuai daftar aktivitas seturut sembilan komponen kecerdasan Gardner, seperti:

 

Tabel 1. Daftar Pilihan teknologi Menurut Komponen Kecerdasan Gardner. [6]

No

Komponen kecerdasan Gardner

Pilihan Teknologi
1. Logical/Mathematical Intelligences:

Math Skills Tutorials Spreadsheets, Map Making Tools, Data Bases, Logic Games, Science Programs, Problem-Solving Programs.

2. Verbal/Linguistic Intelligences:

Word Processing Programs, E-Mail Programs, Webpage Composers, Storybook CD’s, Foreign Language Programs, Electronic Libraries.

3. Visual/Spatial Intelligences:

Animation Programs, 3-D Modeling Languages, Clip Art

Programs, CAD Programs, Digital Cameras, Digital Microscopes, Draw And Paint Programs, Geometry Programs, Virtual Courseware.

4. Bodily/Kinesthetic Intelligence:

Motion Simulator Graphics, Virtual Reality System Software,

Eye-Hand Coordination Games, Haptic Tools.

5. Musical/Rhythmic Intelligence:

Music Literature Tutors, Singing Software, Tone Recognition, Musical Instrument Digital Interfaces, Create Your Own Music Programs.

6. Intrapersonal Intelligence:

Personal Choice Software, Career Counseling Software,

Self-Paced Curriculum.

7. Intrapersonal Intelligence:

Electron Bulletin Boards, Simulation Games, E-Mail Programs.

8. Naturalist Intelligence:

Scientific Plug-Ins (Google Earth), Classification Of Flora/Fauna Software, Animal Sound Identification Program.

9. Existential Intelligence:

Software That Could Simulate A Padeia Seminar or Socratic Method Might Be Appropriate (Carlson-Pickering, 1999).

 

Menyebutkan gugus teknologi penopang akselerasi kesembilan ragam kecerdasan jamak sebagaimana pada Tabel 1 di atas tidak saya maksudkan untuk “menambah persoalan”. Saya tidak sedang meminta Anda mengakomodasikan gagasan di atas karena hanya akan membawa konsekuensi berupa pengeluaran biaya pendidikan yang memang sudah mahal; tetapi saya maksudkan untuk menguatkan argumentasi bahwa:

(1)      Setiap anak adalah unik, khas, dan tak ada kembarannya; kendati ia memiliki saudara kembar sejati. Adalah wajar bahwa anak diperlakukan sebagaimana dirinya sendiri. Faktanya, kebanyakan dari kita –orangtua atau guru– memperlakukan anak/murid kita sebagaimana kita dulu diperlakukan oleh orangtua/guru kita. Kalau definisi sosial menempatkan kita sebagai “orang sukses”, maka kita gampang membuat klaim hubungan kausalitas bahwa perlakuan pendidikan yang kita peroleh berpengaruh langsung terhadap status sosial yang kita tempati. Akibatnya, kita menganggap diri sebagai berbukti kebenaran (justified), [1] dan dengan mantap mengambil langkah pembelajaran (positive lesson learned) positif, yakni memperlakukan anak sebagaimana dulu kita diperlakukan. Sebaliknya, jika kita mengamini definisi sosial bahwa kita ini “orang gagal”, maka kita berusaha menarik hikmah (negative lesson learned) dengan memperlakukan anak sesuai idealisasi sebagai perwujudan kekecewaan akibat kesalahan pendidikan orangtua/guru kita. Dengan demikian, kita tak sadar tentang fakta bahwa memperlakukan anak sama dengan cara orangtua/guru kita dulu memperlakukan kita adalah identik dengan fakta bahwa kita menyamakan –tidak membedakan, tidak mempertimbangkan kekhasan– antara anak kita dan diri kita. Peta kecerdasan jamak memudahkan kita memahami bukan saja komposisi kecerdasan anak, tetapi juga kerancuan dan ketakmatangan kita yang cenderung berandai-andai model “seandainya A adalah saya”; padahal seharusnya menggunakan model “seandainya saya adalah A”.

(2)      Setiap anak memiliki cara berlajar tersendiri. Jika kita memaksa anak menerapkan cara kita bukan dengan alasan yang seharusnya berlaku bagi anak, maka hal ini sama saja dengan kita menganggap bahwa ada dua anak yang belajar dengan cara yang sama persis. Kasus I: Dn (11 tahun), seorang anak kelas 5 SD sekolah ternama di Bogor, dengan kecerdasan dominan pada Logika Matematika (poin 92) dan Kinestetik (poin 86) dan kecerdasan submisif pada Musik (14) dan Interpersonal (poin 20) terancam tinggal kelas karena perolehan nilai Matematika yang di bawah standar toleransi. Hal ini mengejutkan dan mengherankan bagi orangtua Dn sehingga mereka mempertanyakan validitas instrumen yang saya ciptakan dan selama ini senantiasa saya uji validasi. Setelah saya usut, ternyata guru wali kelas Dn yang juga guru pelajaran Matematika menguji Matematika para siswa di kelas yang ia kelola dengan menerapkan metode mencongak. Melalui surat advokasi yang saya layangkan ke kepala sekolah dan saya tembuskan ke guru bersangkutan, saya merekomendasikan agar Dn diuji bukan dengan metode mencongak, tetapi dengan ujian lisan. Saran diterima, dan nilai kumulatif Dn berhasil melewati titik kritis dan akhirnya naik kelas. Jadi, anak tidak mampu mengerjakan soal yang dikemas dalam cara mencongak bukan karena tak cerdas logik-matematik, tetapi karena tak cerdas musik dan interpersonal.

(3)      Karena tiada komposisi kecerdasan jamak yang persis sama antara dua anak, maka juga tidak ada cara memfasilisasi atau memberikan pemerkayaan lingkungan yang sama untuk dua anak. Pada Kasus Dn, boleh jadi Dn bukan satu-satunya korban dari penerapan uniformitas metode perlakuan evaluasi kemampuan Matematika sebagaimana dipraktikkan gurunya. Dalam kasus anak-anak kembar sejati (lahir dengan satu plasenta) yang pernah saya tangani pun terbukti, komposisi kecerdasan jamak mereka berbeda. Penelitian-penelitian berbasis IQ membenarkan kesamaan antar-mereka berdua, sebab instrumen IQ menyorot terutama dua kecerdasan: verbal dan non-verbal (performance) saja, yang di dunia pendidikan kita dikenali lewat tiga skor nilai: Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia. Sementara, penelitian saya tentang skor IQ Skolastik dari data-base para klien saya menunjukkan, meski secara quotient sama, tidak ada satu anak pun yang memiliki kesamaan komposisi antarunsur kecerdasan Skolastik.

(4)      Keragaman komposisi kecerdasan antaranak membawa konsekuensi berupa kekhasan cara menangkap, merespon, mengolah, mencerna, atau menuju pemahaman dan akhirnya menguasai pengetahuan. Kebanyakan guru dan orangtua yang saya temui punya keluhan serius yang hampir sama, yakni tentang cara dan daya konsentrasi anak/siswa; sementara konsentrasi cenderung dimaknai secara seragam sebagai kemampuan melakukan pemusatan tunggal (single-focusing) dan pembawaan tenang baik secara tanpa suara maupun tanpa gerak. Di sinilah sebenarnya misleading yang terjadi, di mana kemampuan berkonsentrasi telah dicerabut dari tujuan utamanya, yakni terjadinya penguasaan bahan sebagai langkah konkrit penguasaan kompetensi tertentu.

3.    Keyakinan Saya Tentang Kebenaran MI

Risalah ini adalah ungkapan keyakinan saya tentang kebenaran MI dan BUKAN kebenaran saya tentang keyakinan MI. Benar bahwa secara teoritik MI diperdebatkan di kalangan ilmuwan/wati psikologi, tak terkecuali di Indonesia, namun nampaknya MI lebih diterima di kalangan pendidik dan pembuat kebijakan publik karena relevansi teori ini menjawab persoalan di dunia pendidikan sekolah dan rumah; dan dapat diterapkan untuk menjawab kebutuhan perlakuan pendidikan di masa pre-school, higher education, atau peruntukan vocational preferences dan adult education initiatives.

Pertanyaan yang sering muncul, “apakah kecerdasan dapat diajarkan?” Jawabnya sudah pasti: tidak! Dan jawaban ini menjadi semacam reason d’tre yang mendasari keberatan orang jika MI hendak diterapkan guna menjawab persoalan pendidikan. Jika mengajarkan satu saja sulit, apalagi sembilan kecerdasan. Namun, bukankah mengajarkan hal yang dianggap dapat diajarkan pun tidak selalu mudah, bukankah hal ini justru mengabarkan, betapa kita memerlukan terobosan guna meretas batas tebal yang menyeliputi misteri dunia kognisi dan pembelajaran manusia? Inilah jawaban cerdas Gardner. [7] Psikologi memang bukan untuk mendikte pendidikan, tetapi, menyitir Gardner, “psikologi lebih untuk membantu orang memahami kondisi dalam mana pendidikan berada (it merely helps one to understand the conditions within which education takes place)”. [8]

Demikian pula, alih-alih memperdebatkan obyek material tentang kecerdasan –hal yang dimiliki dan disadari semua orang sebagai kualitas yang ada dalam dirinya– melalui segala posisi argumentatif dan disputasi konseptual tentang kecerdasan (obyek formal), adalah jauh lebih baik untuk memperlakukan kecerdasan secara cerdas. Setelah menilik dan merangkum definisi tentang kecerdasan atau inteligensia, yang selama ini diartikan sebagai suatu kapasitas seragam (uniformal) sejak manusia dilahirkan di dunia; kemudian membandingkan dengan pandangan Gardner, bahwa kecerdasan adalah kapasitas untuk menciptakan produk efektif guna menjawab segala sesuatu yang dianggap bernilai dalam suatu budaya, suatu perangkat keterampilan yang memungkinkan seseorang memecahkan masalah dalam kehidupannya, dan potensi untuk menemukan dan menciptakan pemecahan masalah; saya menyandingkan kedua obyek formal tentang kecerdasan pada tabel 2 berikut:

Tabel 2. Perbandingan

No

Pandangan Tradisional, yang lebih muram

Pandangan Kecerdasan Jamak, yang lebih optimistik

1.

Manusia dilahirkan dengan jumlah inteligensi yang sudah tertentu (fixed amount of intelligence).

Manusia memilki semua inteligensi, namun masing-masing orang memiliki kombinasi atau profil yang unik dan tak ada kembarannya.

2.

Tingkatan inteligensi tidak berubah dari waktu ke waktu sepanjang masa hidup manusia.

Setiap komponen inteligensi dapat diperbaiki, namun sementara orang akan memperbaiki secara lebih siap di salah satu komponen inteligensi dibandingkan orang lain.

3.

Inteligensi terdiri dari kemampuan logika dan bahasa.

Terdapat berbagai tipe inteligensi yang mencerminkan ragam cara berinteraksi dengan dunia.

Saya mulai menapaki pemahaman tentang MI yang kemudian saya terma-kan sebagai Kecerdasan Jamak (bukan sekadar Kecerdasan Majemuk) dengan sikap skeptis saya sebagai periset. Yang saya lakukan, pertama kali, adalah membaca berbagai sumber dan buku induk; kedua, me-reka dan merancang instrumen; memvalidasi dan mematutnya ke dalam sajian instrumen asesmen; ketiga, menerapkannya sebagai instrumen asesmen dan mengantisipasikan kelemahan validitas empiris yang mungkin terjadi dengan mengoreksinya lewat paket asesmen-konsultasi dengan orangtua. Lebih dari ini semua, saya adalah seorang suami dan ayah dari dua anak yang bermasalah mulai dari penderitaan alergi sampai kejadian konflik-konflik subkultural dan personal yang kami atasi bersama; sehingga saya, pasangan saya dan anak saya adalah manusia biasa yang menghadapi masalah, berusaha mengatasi, dan berhasil melewati krisis-krisis. Sejak awal saya sangat kritis terhadap kemungkinan sikap “jaim” (jaga imej) pada diri saya sebagaimana kebanyakan rekan saya yang berprofesi sebagai psikolog.

Setelah kasus yang saya dampingi dan selesaikan melewati angka tiga ribu, saya kian meyakini kebenaran Kecerdasan Jamak karena sifatnya yang lebih “berpihak pada hidup” dan menawarkan kebenaran empiris. Setiap hari saya menghayati, mulai dari merasakan langsung, pengakuan pada staf ahli saya, masukan dan dorongan para teman dekat saya, telepon dan umpan-balik dari para klien saya, dan orang-orang baru yang saya temui di setiap event perjalanan saya.

Kata orang, nobody is perfect; setiap orang punya kekuatan dan kelemahan yang sebenarnya dapat diubah menjadi kekuatannya, sejauh ia tahu dari kecerdasan mana memasukinya. Setiap kita juga belajar dengan cara yang berbeda-beragam, namun menjadi conflicted manakala salah satu dari kita memaksakan sebuah cara belajar dengan embel-embel kebenaran tentang keyakinan kita masing-masing.

Anda sendiri, meski bukan seorang psikolog atau pendidik formal, dapat meningkatkan pengalaman belajar siapa pun yang Anda jumpai sejauh tahu cara yang sesuai kecerdasannya. MI atau KJ menyingsingkan fajar harapan bagi siapa pun yang pernah terpuruk ke dalam ketakpastian akibat informasi IQ yang diperlakukan sebagai kepastian. Juga harapan bagi Anda yang mau memastikan diri di tengah kesadaran Anda tentang ketakpastian hidup. Sebab, memperbaiki masa lalu yang tak dapat diperbaiki sama saja bertahan hidup di masa lalu; sebaliknya menerima masa depan yang tak pasti membuat hari ini adalah hari depan.

CATATAN AKHIR

[1] Chastain, K. (1975). “An Examination of the Basic Assumptions of “Individualized” Instruction.” Modern Language Journal, Vol. 59, No. 7, hal.334-344.

[2] Theroux, Priscilla. (2004, April 26th). “Enhance Learning with Technology: Differentiating Instruction.” Ditelusur pada 4 Agustus, 2008: http://members.shaw.ca/priscillatheroux/differentiating.html.

[3] Didefinisikan sebagai “Learning that is done asynchronously, such as from CD-ROMs or over the Internet without an instructor, where the user controls the flow of course material. Ditelusur pada 5 Agustus, 2008 dari http://www.hull.ac.uk/studyadvice/resources/acadw/01pdfs/glossary.htm#_S#_S.

[4] Bravemann, S. (2004, December). “Two, Four, Six, Eight, Let’s All Differentiate Differential Education: Yesterday, Today, and Tomorrow. New Horizons for Learning. Ditelusur pada 5 Agustus 2008 dari http://archive.education.jhu.edu/PD/newhorizons/strategies/topics/Differentiated%20Instruction/differentiate/index.html.

[5] Gardner, H. (1983). “The Frame of Mind: The Theory of Multiple Intelligences”. New York, NY: BasicBooks. Dilengkapi dengan Gardner, H. (1999). “Intelligence Reframed: Multiple intelligences for the 21st century”. New York,  NY: BasicBooks.

[6] Carlson-Pickering, J. (1999). “MI & Technology: A Winning Combination!” The University of Rhode Island and the Rhode Island Foundation: Teachers in Technology Initiative. Ditelusur pada 5 Agustus 2008 dari http://www.ri.net/RITTI_Fellows/Carlson-Pickering/MI_Tech.htm.

[7] Gardner, Howard (1983; 1993). “Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences”, New York: Basic Books. (Terbitan kedua dipublikasikan oleh Fontana Press. Dengan 466 + xxix halaman).

[8] Ibid.

DAFTAR PUSTAKA

“Learning that is done asynchronously, such as from CD-ROMs or over the Internet without an instructor, where the user controls the flow of course material”. http://www2.hull.ac.uk/. Ditelusur pada 5 Agustus, 2008 dari http://www.hull.ac.uk/studyadvice/resources/acadw/01pdfs/glossary.htm#_S#_S.

Bravemann, S. (2004, December). “Two, Four, Six, Eight, Let’s All Differentiate Differential Education: Yesterday, Today, and Tomorrow. New Horizons for Learning. Ditelusur pada 5 Agustus 2008 dari http://archive.education.jhu.edu/PD/newhorizons/strategies/topics/Differentiated%20Instruction/differentiate/index.html.

Carlson-Pickering, J. (1999). “MI & Technology: A Winning Combination!” The University of Rhode Island and the Rhode Island Foundation: Teachers in Technology Initiative. Ditelusur pada 5 Agustus 2008 dari http://www.ri.net/RITTI_Fellows/Carlson-Pickering/MI_Tech.htm.

Chastain, K. (1975). “An Examination of the Basic Assumptions of “Individualized” Instruction.” Modern Language Journal, Vol. 59, No. 7, hal.334-344.

Gardner, H. (1983). “The Frame of Mind: The Theory of Multiple Intelligences”. New York, NY: BasicBooks.

Gardner, H. (1999). “Intelligence Reframed: Multiple intelligences for the 21st century”. New York, NY: BasicBooks.

Gardner, Howard (1993). “Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences”. New York: Fontana Press.

Theroux, Priscilla. (2004, April 26th). “Enhance Learning with Technology: Differentiating Instruction.”  Ditelusur pada 4 Agustus, 2008 dari http://members.shaw.ca/priscillatheroux/differentiating.html.

Tulisan di atas diperiksa dan disunting ulang dari naskah asli. Tulisan aslinya merupakan materi yang disampaikan oleh DR Edy Suhardono sebagai salah satu pembicara/narasumber untuk Seminar Para Orangtua Siswa SMA Bhakti Prima, 16 Agustus, 2008.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Ia juga penggagas Soalsial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *