Menurut Spiros Simitis, tindakan pemerintah melakukan pengawasan elektronik terhadap warga negaranya dilandasi oleh premis bahwa privasi bukanlah tujuan dari demokrasi itu sendiri. Privasi hanyalah sarana untuk mencapai cita-cita politik demokratis tertentu, di mana warga negara dipercaya untuk menjadi lebih dari sekadar pemasok informasi untuk memuaskan sendiri. Dalam konteks demokrasi warga negara juga harus memuaskan semua orang, yakni warga negara selain dirinya.
Tentang hal itu, Simitis mengajukan tiga argumentasi. Pertama, hampir setiap bidang interaksi sosial telah dimediasi oleh teknologi informasi dengan justifikasi bahwa pengambilan data pribadi secara intensif dari hampir setiap karyawan wajib pajak, pasien, nasabah bank, penerima santunan kesejahteraan, atau pengemudi mobil; sebab privasi tidak lagi semata-mata sebagai masalah beberapa orang, tetapi masalah semua orang. Kedua, teknologi baru seperti smart card atau videotex tidak hanya memungkinkan untuk merekam dan merekonstruksi kegiatan individu dalam detail menit, tetapi juga menempatkan pengawasan terhadap rentetan kejadian keseharian sebagai hal normal dan bukan pelanggaran privasi. Ketiga, informasi pribadi yang direkam oleh teknologi baru memungkinkan lembaga-lembaga sosial untuk menegakkan standar perilaku dan memicu strategi jangka panjang untuk manipulasi, membentuk, dan menyesuaikan perilaku individu dengan tuntutan situasi.
Alasan yang dijustifikasi oleh paham efisiensi dan urgensi kebutuhan ini memaksa lembaga-lembaga modern untuk mendapatkan data pribadi. Perusahaan asuransi, rumah sakit, dan industri farmasi bisa menyesuaikan penghematan biaya program dengan kebutuhan dan tuntutan pasien. Polisi bisa menggunakan database baru yang tersedia dan berbagai profil mobilitas untuk mengidentifikasi penjahat potensial dan menemukan tersangka. Lembaga pemberi santunan kesejahteraan bisa mengungkap perilaku penipuan.
Tapi bagaimana teknologi mempengaruhi warga negara yang berpartisipasi dalam memahami dan mereformasi dunia sekitar, dan bukan sekadar sebagai konsumen atau pelanggan yang hanya mendapatkan keuntungan dari itu? Menurut Simitis, warga negara telah ditempatkan pada pihak yang selalu kalah. Alih-alih mendapatkan konteks yang lebih baik untuk melakukan pembuatan keputusan, warga negara justru lebih banyak kebingungan karena pengambilan keputusan itu menjadi otomatis dan mereka tidak tahu bagaimana sebenarnya sistem perangkat lunak bekerja. Hal ini menambah kerunyaman lebih dari akibat dari sekadar tidak ditepatinya janji personalisasi dan pemberdayaan, sementara janji tentang sistem interaktif hanya akan memberikan ilusi tentang partisipasi. Sistem interaktif tak lain dan tak bukan adalah aktivitas individu di mana pada kenyataannya warga hanya mereaksi semua yang terjadi.
Privasi Versus Demokrasi
Ternyata demokrasi tidak menawarkan jaminan bagi privasi. Privasi bisa mendukung tetapi juga merusak demokrasi. Jika semua warga negara sepenuhnya menggunakan hak mereka untuk privasi, masyarakat akan kehilangan data transparan yang tersedia dan dibutuhkan, sehingga warga dapat mengevaluasi masalah membentuk opini, dan memperdebatkan informasi dalam relevansinya dengan suatu kepentingan.
Pemikiran kontemporer tentang kaitan privasi dan demokrasi dikemukakan sejarawan dan filsuf Perancis, Marcel Gauchet. Menurutnya, ketika semua warga menuntut hak privasi mereka, tetapi tidak menyadari tanggung jawab mereka, yang tersisa adalah pertanyaan-pertanyaan politik yang telah didefinisikan terkait kehidupan demokrasi selama berabad-abad. Menitikberatkan hanya pada hak privasi akan membuat demokrasi menjadi korban karena ulahnya sendiri, karena pelembagaan hak privasi secara hukum membuat warga negara hanya mengejar kepentingan pribadi mereka sendiri tanpa mengacu pada kepentingan masyarakat dan masyarakat pun tidak berkembang.
Jadi, bagaimana seharusnya kita hidup bersama? Apa yang harus kita pedulikan dalam kaitannya dengan kepentingan umum? Bagaimana cara menyeimbangkan antara kepentingan sendiri dan kepentingan umum? Bukankah demokrasi tanpa warga yang terlibat tidak akan menjadi praktik demokrasi sehingga sistem demokrasi macet? Apakah ketiadaan partisipasi ini akan berakhir bersamaan dengan berakhirnya akses warga negara terhadap informasi dengan dimulainya pelembagaan privasi melalui perundangan? Dan, apakah hal ini berarti bahwa negara demokrasi tidak akan berjalan baik?
Keseimbangan antara privasi dan transparansi membutuhkan penyesuaian dalam masa perubahan teknologi yang cepat. Politik harus diredefinisikan menjadi keseimbangan itu sendiri yang akan diselesaikan melalui debat publik dan dibiarkan terbuka untuk dinegosiasikan. Hal ini tidak dapat diselesaikan sekali gebrak. Di sana perlu dilakukan kombinasi baik antara pendekatan teori politik, pasar, dan teknologi. Sebab, menurut Simitis, privasi muncul sebagai kontradiksi yang harus ditoleransi lebih dari sekadar sebagai unsur konstitutif dari masyarakat demokratis.
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.