Categories
Begini Saja

Galaknya Pemasaran Politik Identitas

Kenapa politik identitas kian galak dalam praktik bermasyarakat dan bernegara? Karena politik identitas adalah bentuk perlawanan terhadap politik liberal, di mana konsensus di kalangan politisi partai menghasilkan pemerintah yang sangat memprioritaskan pertumbuhan ekonomi melalui pasar kompetitif yang minim peraturan. Prioritas ini mengakibatkan kebaikan nasional semata diukur dari pertumbuhan ekonomi yang menempatkan nilai pribadi berdasarkan tingkat partisipasi dalam aktivitas ekonomi.

Adapun politik identitas berfokus pada perlakuan terhadap kelompok minoritas yang menempatkan tugas utama pemerintah adalah memperbaiki kesalahan yang telah mereka derita. Dukungan perwakilan politik kaum minoritas yang beragam, yang didefinisikan berdasarkan identitas etnis, agama, ras, gender, dan ekonomi; kurang memungkinkan mereka untuk diandalkan menciptakan kebijakan yang bertujuan lebih luas, terlebih jika kebijakan itu hanya dilandaskan pada ideologi tertentu.

Andaikan pun politik identitas mampu meningkatkan ekonomi dengan akibat kebaikan nasional sekalipun, efeknya cenderung tak bertahan lama karena digerogoti oleh tarik-ulur antara tuntutan dan sabotase yang diakibatkan kurangnya konsensus di antara kelompok-kelompok yang saling bertentangan ini.

Meskipun masalah yang dituding sebagai musuh bersama adalah ekonomi neo-liberal yang ditandai persaingan ekonomi tanpa batas yang dianggap telah memperkaya orang kaya dan memarjinalkan orang-orang yang kurang beruntung, politik identitas –sebagai manifestasi dari politik anti-liberal– memiliki asumsi kerdil tentang identitas pribadi dan nasional, yang pada ujungnya cenderung menempatkan kepentingan pribadi sebagai tujuan akhir.

Dengan demikian, hasil kinerja ekonominya pun bukan kesetaraan, tetapi justru ketidak-setaraan yang gilirannya mengikis kepercayaan yang dibutuhkan bagi pertumbuhan ekonomi dan pengecilan peran pasar. Mitos tentang kebaikan universal yang diindikasikan dengan pertumbuhan ekonomi dengan merk “Oce Oke” atau “DP Nol Rupiah” pun tak lebih merupakan jelmaan lain dari pengaturan ekonomi yang memberi penghargaan pada keserakahan dan keuntungan orang kaya.

Yang dimanipulasi melalui politik identitas adalah kelompok minoritas yang mungkin melihat diri mereka sebagai pihak yang terobek-robek oleh orang-orang yang memperkaya diri mereka sendiri, sehingga mereka mudah tergiur oleh mitos tentang ekonomi yang adil bagi semua orang; sembari menggunakan identitas minoritas yang kurang beruntung sebagai payung justifikasi dan legitimasi.

Politik identitas secara khas juga digunakan sebagai baju oleh orang-orang yang merasa terkucil karena cara kerja ekonomi liberal. Karenanya, identitas suku, ras, agama, atau golongan tertentu sengaja dipasarkan untuk meraup keuntungan politik dari –dan sekaligus menyembunyikan kepentingan pribadi dari– tindak korupsi.

Lebih dari itu, politik identitas menjadi strategi untuk menghubungkan antara identitas yang terhina atau yang kurang beruntung dalam persaingan dengan yang memiliki keberagamaan tertentu. Secara sederhana hal ini juga menjelaskan mengapa kebanyakan para artis, musisi, penulis, atau seniman dari kalangan minoritas memperkaya diri mereka sendiri karena berhasil menggoreng identitas minoritas sebagai komoditi.

Terlepas dari pilihan, politik liberal atau politik identitas, yang sejatinya diperlukan adalah terciptanya hubungan ekonomi dalam pemahaman lebih lengkap, di mana diberlakukan iklim persaingan sekaligus batasannya dalam tata ekonomi; sehingga pola hubungan dan iklim ini mampu menawarkan pemahaman lebih luas tentang identitas dan kaitannya dengan pasar, masyarakat sipil, dan negara.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

 

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *