Fenomena korupsi di kalangan legislatif sering kali dikaitkan dengan berbagai faktor, salah satunya adalah gender. Berdasarkan artikel yang dirilis oleh Kompas (11/07/24), Puskapol UI mengungkapkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan yang memegang jabatan legislatif menunjukkan perilaku koruptif yang relevan. Dalam telaah psikologi politik, perbedaan gender dalam perilaku koruptif sering kali diasosiasikan dengan norma sosial dan struktur kekuasaan yang berbeda. Namun, studi menunjukkan bahwa perbedaan ini tidak selalu mencolok. Misalnya, di studi lain, riset oleh Dollar, Fisman, dan Gatti (2001) menyatakan bahwa wanita cenderung kurang koruptif dibandingkan pria di negara-negara tertentu, tetapi tidak berlaku secara universal.
Psikologi politik memperlihatkan bahwa korupsi berkaitan erat dengan dinamika kekuasaan dan kesempatan yang dimiliki individu, terlepas dari gender mereka. Struktur kekuasaan sering memberikan akses yang lebih luas bagi laki-laki untuk melakukan korupsi, tetapi ketika perempuan mencapai posisi yang setara, peluang untuk korupsi pun meningkat. Teori tersebut didukung oleh pandangan Heidenheimer (2002) yang menyatakan bahwa korupsi lebih ditentukan oleh struktur kelembagaan dan kesempatan yang ada daripada atribut personal seperti gender. Oleh karena itu, meskipun stereotipe gender dapat mempengaruhi persepsi publik mengenai perilaku koruptif, bukti empiris menunjukkan bahwa kesempatan dan kekuasaan memainkan peran lebih utama.
Lebih jauh, psikologi politik juga menelaah aspek-aspek motivasional yang memengaruhi perilaku koruptif. Teori kekuasaan McClelland (1985) menunjukkan bahwa dorongan untuk memperoleh kekuasaan bisa menjadi motivator yang kuat menjadi figur koruptif, tanpa memandang gender. Ini berarti bahwa di dalam lingkungan yang sama, baik laki-laki maupun perempuan bisa memperlihatkan perilaku koruptif yang serupa jika terpapar oleh dorongan dan kesempatan yang sama.
Namun demikian, adanya persepsi bahwa perempuan kurang rentan terhadap korupsi bisa menciptakan bias dalam proses seleksi dan promosi dalam institusi legislatif. Seperti yang dijelaskan oleh Sanyu Mojola (2014), pandangan gender yang bias dapat menyebabkan ketidakadilan dalam penilaian performa dan potensi individu dalam jabatan publik. Oleh karena itu, mengurangi korupsi harus lebih difokuskan pada reformasi kelembagaan dan transparansi proses alih-alih pada perbedaan gender.
Dengan demikian, dalam psikologi politik, perilaku koruptif lebih dihubungkan dengan kesempatan dan struktur kekuasaan daripada faktor gender. Meski beberapa studi menunjukkan bahwa perempuan mungkin kurang koruptif dari laki-laki dalam konteks tertentu, bukti empiris lebih mendukung pandangan bahwa korupsi adalah hasil dari struktur kelembagaan dan dorongan individu untuk berkuasa. Reformasi kelembagaan, transparansi, dan minimnya kesempatan untuk korupsi adalah kunci utama untuk mengurangi perilaku koruptif di kalangan legislatif.
Bibliografi:
Dollar, D., Fisman, R., & Gatti, R. (2001). Are women really the ‘fairer’ sex? Corruption and women in government. Journal of Economic Behavior & Organization, vol. 46, issue 4, 423-429.
Heidenheimer, A. J. (2002). Perspectives on the Perception of Corruption. in A.J. Heidenheimer and M.
Johnston (eds.), Political Corruption: Concepts and Contexts (Transaction Publisher, New Bruns wick, NJ), PP.141-154.
McClelland, D. (1985). Human Motivation. NY: Cambridge University Pr.
Mojola, S. (2014). Love, Money, and HIV: Becoming a Modern African Woman in the Age of AIDS. Oakland: University of California Press.
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.
6 replies on “Gender dan Perilaku Koruptif”
Sy punya temen yg pernah menjadi pemimpin di sebuah lembaga pemth.
Temenku bilang bahwa wanita lebih banyak yg korupsi.
Alasan utamanya untuk memenuhi permintaan pacarnya
Kasus tersebut kocak dan menarik dibahas, Pak Rus.
Saya memahami komentar teman Anda tersebut. Pada dasarnya, perilaku korupsi tidak dapat digeneralisasi berdasarkan jenis kelamin. Faktor-faktor seperti kekuasaan, kesempatan, dan tekanan sosial dapat memengaruhi individu untuk terlibat dalam tindakan korupsi, terlepas dari jenis kelamin.
Penelitian menunjukkan bahwa budaya organisasi, sistem pengawasan, dan integritas pemimpin dapat lebih berperan dalam menentukan kecenderungan korupsi daripada jenis kelamin. Selain itu, adanya tekanan seperti yang disebutkan teman Anda (untuk memenuhi permintaan pacar) merupakan salah satu contoh faktor psikologis yang dapat mendorong perilaku korupsi.
Namun, perlu hati-hati dalam menyimpulkan, karena justifikasi berdasarkan stereotip jenis kelamin dapat berpotensi memicu bias dan diskriminasi.
Penelitian menunjukkan bahwa budaya organisasi, sistem pengawasan, dan integritas pemimpin dapat lebih berperan dalam menentukan kecenderungan korupsi daripada jenis kelamin.
Menambahkan aspek penegakan hukum yang kuat dan adil dalam menindak korupsi juga diperlukan.
Aspek pendidikan dan budaya malu korupsi dengan mundur dari jabatan dan bertanggung jawab diperlukan juga.
Mas Sugeng,
Terima kasih poin diskusi dan masukannya.
Penegakan hukum yang kuat dan adil serta pendidikan anti-korupsi sangat penting dalam mengurangi kecenderungan korupsi. Setidaknya Rose (2019) menyatakan bahwa sanksi yang tegas dan kepastian hukum dapat mengurangi keinginan untuk korupsi karena risiko yang tinggi. Pendidikan mengenai etika dan tanggung jawab sosial sejak dini membangun generasi yang lebih sadar akan pentingnya integritas. Selain itu, Nijman (2018) menunjukkan bahwa budaya malu dan tanggung jawab publik yang kuat dapat mendorong pejabat publik untuk bertindak lebih etis, mengurangi insentif untuk korupsi.
Budaya malu dan tanggung jawab publik, seperti yang dipraktekkan di Jepang, di mana pejabat tinggi sering mundur setelah skandal, adalah contoh baik. Transparency International (2020) mengemukakan bahwa kombinasi ini membentuk lingkungan yang meminimalisir peluang dan keinginan untuk berbuat curang. Pendidikan yang menekankan nilai-nilai moral dan sosial memberikan fondasi yang krusial. Sementara itu, Chang (2017) menekankan bahwa budaya organisasi yang mendukung transparansi dan akuntabilitas juga berperan penting. Kombinasi penegakan hukum, pendidikan, dan budaya malu menciptakan ekosistem anti-korupsi yang lebih kuat.
Mungkin, gender perempuan lebih berperan sebagai variabel mediator.
Terima kasih atas pandangannya tentang kemungkinan gender sebagai variabel mediator. Saya akan mencoba memberikan pandangan lain yang objektif berdasarkan temuan-temuan penelitian yang ada.
Memang, beberapa penelitian menunjukkan bahwa perilaku korupsi tidak berbeda secara signifikan berdasarkan gender. Misalnya, studi yang dilakukan oleh World Bank pada tahun 2001 menemukan tidak ada perbedaan yang signifikan antara perilaku korupsi laki-laki dan perempuan (Dollar et al., 2001).
Namun, ada juga sejumlah penelitian yang menunjukkan bahwa gender dapat berperan sebagai variabel mediator atau moderator dalam perilaku korupsi. Salah satu contohnya adalah studi yang dilakukan oleh Alatas et al. (2009) yang menemukan bahwa perempuan cenderung lebih jujur dan kurang korup dibandingkan laki-laki, terutama dalam konteks-konteks tertentu seperti di sektor publik.
Selain itu, penelitian Esarey dan Chirillo (2013) juga menunjukkan bahwa dalam masyarakat dengan tingkat kesetaraan gender yang rendah, perempuan cenderung lebih korup dibandingkan laki-laki. Namun, pada masyarakat yang lebih setara, perempuan justru lebih jujur dan kurang korup.
Jadi secara umum, dapat disimpulkan bahwa gender memang dapat menjadi variabel yang mempengaruhi perilaku korupsi, namun pengaruhnya bergantung pada konteks sosial-budaya dan institusional tertentu. Diperlukan lebih banyak penelitian untuk memahami dinamika yang lebih kompleks terkait hal ini.