Categories
Begini Saja

Hukuman Buat Koruptor: Legal atau Moral?

Oleh Edy Suhardono

 

Menurut Saldi Isra , pesan di balik putusan kasasi Angie ialah bahwa hakim mengombinasikan antara  pidana maksimal dan memiskinkan koruptor. Jika kombinasi itu ditambah lagi dengan pencabutan beberapa hak terpidana korupsi, misalnya, hak untuk mendapatkan remisi, menurutnya putusan serupa akan menjadi semangat baru untuk menghentikan laju praktik korupsi yang kian masif. Benarkah? Kenapa tidak ada opsi hukuman mati sebagaimana yang diterapkan pada teroris?

Korupsi merajalela di negara-negara dengan tatanan hukum yang tidak mampu membedakan antara persoalan moral, etika, dan legal. Standar moral yang berlaku adalah “principle of double effect” (PDE), dimana pelaksanaan hukuman terhadap penjahat korupsi ditargetkan memiliki dua efek sekaligus. Pertama, efek buruk, yaitu merenggut kehidupan manusia;  dan, kedua, efek baik, yakni memberlakukan keadilan dan melindungi masyarakat.

Dalam PDE, hukuman terhadap para koruptor harus memiliki justifikasi moral, antara lain: (1) bertujuan baik, yakni melakukan keadilan dan melindungi masyarakat, (2) tujuan baik yang dimaksud (melindungi masyarakat dan menjalankan keadilan) diupayakan agar lebih baik daripada tujuan buruk (membunuh manusia); dan (3) tujuan baik tersebut (melindungi masyarakat dan keadilan) bukan merupakan akibat langsung dari kegagalan melaksanakan tujuan yang buruk, dimana tujuan yang baik tidak dikerjakan melalui tindakan yang pada hakikatnya buruk.

Melumpuhkan penjahat sebagai upaya menghentikan kriminal dengan menjatuhkan hukuman yang setimpal  efektif sejauh memenuhi tujuan legal; dan tujuan legal ini sebenarnya dapat dicapai tanpa membunuh. Pilihan membunuh dengan hukuman mati sering diambil sebagai alternasi dari pemenjaraan seumur hidup yang secara operasional tidak praktis, sebab gagasan pemenjaraan seumur hidup muncul di masyarakat yang tinggal dalam wilayah teritori yang relatif menetap, pun dengan tingkat kemakmuran tertentu.

Dengan lain ungkap, jika tujuannya adalah melumpuhkan kriminal, sementara negara dimana kasus korupsi terjadi adalah negara miskin, logis bahwa hukuman mati adalah satu-satunya pilihan; sebab dalam keterbatasan semacam ini penahanan seumur hidup bukanlah pilihan lantaran tidak operasional. Di negara-negara miskin, dimana tidak tersedia penjara yang aman, atau di negara-negara dimana pemerintahnya sangat korup yang tidak mampu menjamin keamanan penjara, mungkin hukuman mati perlu menjadi pilihan moral.

Jadi, benar bahwa membunuh seorang manusia adalah kesalahan besar, sama salahnya dengan negara yang tidak melakukan keadilan dan tidak melindungi masyarakat. Kalau harus dilakukan, hukuman mati adalah pilihan moral, bukan pilihan legal; kecuali jika (1) para penegak hukum meyakini bahwa tindak korupsi adalah sekadar pelanggaran legal; dan (2) pejabat pemerintah di negara di mana korupsi itu merajalela tetap meyakini bahwa negara itu tidak akan miskin karena korupsi.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Ia juga penggagas Soalsial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *