Jika penulis menilik sinyal-sinyal yang tersebar di berbagai media, belum muncul alasan kuat bahwa Gibran sebagai cawapres Prabowo akan merusak aliansi Jokowi-Megawati. Sejauh ini, baik Jokowi maupun Megawati telah menunjukkan komitmennya terhadap kepentingan partai dan rakyat serta kekuatan persatuan politik. Argumen penulis adalah bahwa keputusan politik individu tidak memengaruhi hubungan politik di antara mereka berdua.
Pertama, baik Jokowi maupun Megawati adalah politisi berpengalaman dengan visi politik yang kuat. Kerja sama jangka panjang mereka telah membuktikan kemampuan mereka dalam menghadapi sejumlah tantangan politik. Terpilihnya Gibran sebagai calon wakil presiden dari Prabowo tidak bisa dianggap sebagai faktor yang cukup kuat untuk melemahkan kemitraan politik mereka.
Kedua, meski Gibran adalah cawapres Prabowo, tetapi hal itu merupakan keputusan politik yang diambil Gibran secara pribadi, bukan keluarga Jokowi secara keseluruhan. Penulis berpendapat bahwa Jokowi dan Megawati mampu memisahkan hubungan pribadi dengan tanggung jawab politik dan faktor pribadi tidak memengaruhi kemitraan politik mereka.
Ketiga, meski Gibran punya hubungan keluarga dengan Jokowi, tetapi bukan berarti ia punya pengaruh signifikan terhadap keputusan politik Jokowi dan Megawati. Keputusan politik sering kali didasarkan pada pertimbangan yang lebih luas seperti ideologi politik, kepentingan nasional, dan rencana pembangunan di masa depan. Oleh karena itu, tidak beralasan jika Gibran yang menjadi cawapres Prabowo bisa menimbulkan keretakan antara Jokowi dan Megawati.
Keempat, Jokowi dan Megawati telah menunjukkan loyalitas terhadap partai politik dan ideologi tertentu. Mereka mendahulukan kepentingan partai dan bangsa di atas kepentingan individu dan keluarga. Oleh karena itu, penulis tidak menemukan alasan sah untuk menyatakan aliansi Gibran dengan Prabowo menjadi alasan putusnya hubungan politik kuat mereka.
Selain keempat ulasan tersebut, hal kelima terkait dampak jika kedua belah pihak bisa bercerai. Keretakan antara Jokowi dan Megawati akan berdampak negatif signifikan terhadap stabilitas politik dan kohesi pemerintahan. Jokowi dan Megawati menyadari hal tersebut dan akan bekerja sama untuk menjaga aliansi politik yang kuat terlepas dari keputusan politik masing-masing keluarga.
Hipotesis
Dalam konteks psikologi politik, hubungan politik yang solid, identifikasi partai, persamaan nilai politik, pertimbangan rasional, dan solidaritas partai dapat menjadi faktor utama yang mendorong Jokowi dan Megawati untuk tetap bersama dan tidak berseberangan hanya karena keputusan politik yang diambil oleh Gibran.
Meminjam perspektif Teori Identifikasi Partai (Party Identification Theory), orang cenderung memiliki afiliasi dan identifikasi emosional dengan sebuah partai politik dan tokoh-tokoh yang terkait dengannya. Dalam hal ini, Jokowi dan Megawati telah lama terafiliasi dengan PDI-P, yang merupakan partai politik yang sama-sama mereka dukung dan perjuangkan. Dengan demikian, hipotesis pertamanya adalah “Keputusan Gibran untuk menjadi cawapres Prabowo tidak secara otomatis mendorong Jokowi dan Megawati untuk berseberangan, karena mereka memegang identifikasi partai yang lebih kuat daripada hubungan keluarga.”
Sulit dibantah, orang cenderung berkumpul dan berinteraksi dengan orang lain yang memiliki nilai-nilai, pandangan politik, dan preferensi yang serupa. Sama halnya, Jokowi dan Megawati, sebagai bagian dari lingkungan politik yang serupa, kemungkinan besar telah mengembangkan hubungan yang kuat dan saling mendukung berdasarkan persamaan keyakinan politik mereka. Perspektif teori Efek Homogenisasi Teman (Friendship Homophily Effect) ini memadai untuk menarik hipotesis kedua: “Faktor personal Gibran tidak akan secara drastis memengaruhi hubungan politik di antara keduanya yang telah terbentuk lama sebelumnya.”
Akankah para pemimpin politik memutuskan perkara publik setelah dipicu sentimen atau kondisi emosi tertentu? Teori Keputusan Rasional (Rational Choice) memberikan perspektif bahwa para pemimpin politik cenderung membuat keputusan yang didasarkan pada pertimbangan rasional, baik tentang kepentingan pribadi, partai, maupun nasional. Menurut hemat penulis, Jokowi dan Megawati tidak akan segera berseberangan hanya karena anak Jokowi menjadi anggota tim kampanye Prabowo, sehingga hipotesis ketiga adalah sebagai berikut: “Mereka cenderung menilai setiap keputusan berdasarkan implikasi politik yang lebih luas, konsekuensi bagi partai, dan dampak pada dukungan publik, daripada hanya dengan mempertimbangkan faktor personal.”
Partai-partai politik memiliki kepentingan kolektif untuk tetap kompak dan aktif. Sama halnya, Megawati dan Jokowi sebagai pemimpin dan anggota kunci PDI-P akan berusaha untuk mempertahankan kesatuan dan solidaritas partai yang diperlukan untuk mencapai tujuan politik mereka. Bahkan jika Gibran menjadi wakil presiden Prabowo, mereka akan mempertahankan hubungan dekat mereka daripada tiba-tiba saling berhadapan dan memecah belah partai yang telah mereka perjuangkan bersama.
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.
4 replies on “Pecah Aliansi”
Perbedaan tafsir atau bahkan ideologi, sejatinya hal yang lazim dalam jagad politik Indonesia. Sebagian bersikukuh dengan ideologi lama, akhirnya terjerembab dengan kekinian: Masyumi, Bulan Bintang, sampai sejarah lama Partai Nasionalis Bung Karno.
Kekinian menuntut fleksibilitas tinggi dan kecepatan membaca selera publik.
Saat ini yang namanya vetsin adalah identik dengan nama tertentu, dan rasanya gurih nikmat sambil berdebar ada risiko kena tekanan darah tinggi. Namanya juga vetsin alias micin.
Demokrasi mencari bentuk ideal di negara kita, dan ideal dalam saat ini adalah fleksibilitas dalam konteks positif, atau pragmatis ideologis praktis dalam bahasa yang lebih terang.
Mas Dr. Nugroho Depe,
Terima kasih atas perspektif Anda yang kenyal tetapi nendang.
Saya sepakat bahwa berbagai perspektif dapat digunakan untuk mengenali fleksibilitas dan kecepatan selera pembaca fenomena politik.
Pertama, terdapat argumen tandingan yang menyatakan bahwa fleksibilitas dan pragmatisme kontekstualisasi politik dapat mengesampingkan prinsip-prinsip ideologis yang mendasarinya. Kubu pemikiran ini berpendapat bahwa jika kita terlalu fleksibel dalam menafsirkan realitas politik, kita berisiko kehilangan landasan yang kuat untuk memahami politik dengan benar.
Oleh karena itu, konstruksi “pragmatisme ideologis” dapat dilihat sebagai upaya untuk membenarkan segala bentuk aktivitas politik, meskipun bertentangan dengan prinsip-prinsip yang harus dianut dalam lembaga demokrasi. Di sisi lain, konstruksi “pragmatisme ideologis” diyakini secara luas dapat menjadi alternatif yang efektif untuk menyelaraskan kebutuhan akan fleksibilitas dan kontekstualisasi politik.
Kubu ini juga berpendapat bahwa untuk mencari bentuk demokrasi yang ideal, kita harus mampu beradaptasi dengan perubahan dinamika politik dan mampu menafsirkan realitas politik dengan cara yang paling tepat. Dengan mempertimbangkan situasi tertentu dan mempraktikkan ideologi secara fleksibel, kita dapat menemukan solusi yang lebih baik dengan tetap menjaga prinsip-prinsip dasar demokrasi.
Namun, perlu dicatat juga bahwa orang yang berbeda mungkin menafsirkan struktur ini secara berbeda. Setiap orang mempunyai pemahaman dan cara pandang berbeda dalam menafsirkan dan mencerna realitas politik. Oleh karena itu, diskusi dan perdebatan cerdas mengenai ide-ide ini sangat penting untuk lebih memahami keberlanjutan demokrasi Indonesia.
Semoga Indonesia tetap Jaya, berbeda pilihan capres itu biasa bahkan berbeda pilihan dalam keluarga sekalipun, yang terpenting tetap bersatu setelah berakhirnya pesta demokrasi ini.
Terima kasih, Mas James.
Pernyataan-pernyataan senada menunjukkan sikap positif dan optimis terhadap proses demokratisasi di Indonesia. Menghormati preferensi politik yang berbeda dan meningkatkan persatuan pasca pemilu merupakan hal yang penting untuk membangun masyarakat yang harmonis dan demokratis.
Kalau sikap seperti yang Anda pegang ini juga dipegang oleh 35% dari populasi orang muda, niscaya Indonesia sebagai negara maju akan tercapai sebelum 2045.