Perilaku kekerasan kolektif seringkali dipicu oleh adanya polarisasi kelompok, deindividuasi, dan pengaruh konformitas. Solomon Asch (1951) menunjukkan bahwa perilaku individu menyimpang lebih karena tekanan sosial yang membuat mereka mengikuti perilaku kolektif. Tekanan ini memperkuat kecenderungan untuk berperilaku serupa dengan kelompok. Anonimitas dalam suatu kelompok juga mendorong agresi, karena individu terjebak ke dalam deindividuasi. Menurut Philip Zimbabwe (1969), berada di tengah orang banyak mengurangi tanggung jawab pribadi dan meningkatkan perilaku menyimpang. Selain itu, anonimitas ini mengurangi kesadaran diri individu dan memungkinkan mereka untuk melakukan tindakan kekerasan yang seharusnya dapat dicegah jika mereka sendirian. Dalam lingkungan yang padat penduduk, individu mungkin terpengaruh oleh tekanan kelompok, kehilangan kendali, dan mudah tersulut untuk melakukan tindakan kekerasan.
Dari sudut pandang psiko-politik, kekerasan kolektif dapat dilihat sebagai cerminan dari situasi sosial-ekonomi. Johan Galtung (1990) menjelaskan bahwa kekerasan struktural, seperti ketidaksetaraan dan ketidakadilan sosial, seringkali secara langsung menyebabkan kekerasan. Dalam konteks mobbing, frustrasi terhadap kondisi sosial ekonomi dapat menjadi pendorong penting perilaku agresif. Menurut Adi Susanto, ketimpangan ekonomi, rasa diperlakukan secara tidak adil dan polarisasi politik, dapat menghasut kekerasan sebagai pemantik kemarahan massal (Susanto, 2023). Perilaku kepemimpinan juga memainkan peran penting. Hannah Arendt (1963) menyatakan bahwa otoritas, selain menormalisasi kekerasan, juga menciptakan legitimasi bagi perilaku agresif. Jika ada sosok otoritas yang mendukung atau tak menentang kekerasan, hal ini dapat memperkuat rasa legitimasi tindakan di antara anggota masyarakat.
Pengeroyokan yang dialami bos rental di Pati (Kompas 16/06) bisa jadi contoh nyata dari interaksi kompleks antara konformitas, deindividuasi, kondisi sosial-ekonomi, dan kepemimpinan. Pemahaman mendalam terhadap faktor-faktor ini sangat penting untuk merumuskan strategi pencegahan kekerasan di masyarakat. Dalam menyikapi kasus pengeroyokan di Pati, pendekatan holistik yang mempertimbangkan aspek psikologi sosial dan psikopolitik menjadi penting. Pemahaman yang mendalam tentang dinamika kelompok, identitas diri, dan faktor-faktor kontekstual dapat membantu mengembangkan strategi pencegahan dan penanganan yang lebih efektif. Upaya ini tidak hanya berfokus pada penanganan kasus individual, tetapi juga pada pengembangan kebijakan dan program yang dapat mempromosikan kohesi sosial dan keadilan di masyarakat.
Referensi:
Arendt, H. (1963). Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil. The Viking Press.
Asch, S. E. (1951). Effects of group pressure upon the modification and distortion of judgments. Groups, leadership and men; research in human relations, 222-236. Carnegie Press.
Galtung, J. (1990). Cultural Violence. Journal of Peace Research, 27(3), 291-305.
Kompas.com. (2024). “Peran 6 Tersangka Baru Kasus Pengeroyokan Bos Rental di Pati”. Diakses 19 Juni 2024. https://regional.kompas.com/read/2024/06/16/160327878/peran-6-tersangka-baru-kasus-pengeroyokan-bos-rental-di-pati
Susanto, A. (2023). Psikopolitik: Memahami Interaksi Psikologi dan Politik. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Zimbardo, P. G. (1969). The human choice: Individuation, reason, and order versus deindividuation, impulse, and chaos. In Nebraska symposium on motivation. University of Nebraska Press.
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.
5 replies on “Pengeroyokan Massal di Sukolilo”
Mantap Mas Eddy
Menarik ini Pak Edy. Tapi bagaimana ini kedepannya Pak, kalau pemimpin kita di masa depan saja seringkali menormalisasi (bahkan terlibat) kekerasan 😆
apakah mungkin terjadi lebih banyak kasus yang seperti ini?
Terima kasih telah membaca dan membuka poin diskusi, Mas Gustomo.
Jika para pemimpin seringkali menormalisasi atau bahkan terlibat dalam kekerasan, hal ini dapat semakin mengikis kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan keadilan. Ketidakpercayaan ini bisa memicu semakin banyaknya tindakan main hakim sendiri, karena masyarakat merasa harus mengambil tindakan secara langsung tanpa menunggu aparat hukum, seperti yang terjadi pada insiden pengeroyokan massal di Sukolilo, Pati.
Normalisasi kekerasan oleh pemimpin juga menciptakan budaya di mana kekerasan dianggap sebagai cara yang sah untuk menyelesaikan konflik atau masalah. Ini berpotensi membuat kekerasan semakin lazim dan diterima dalam kehidupan sehari-hari, yang pada akhirnya meningkatkan risiko ketidakstabilan sosial dan memperdalam polarisasi di dalam masyarakat.
Tantangan dan peluang kepada aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim Peradilan) untuk memberikan bukti nyata bahwa hukum tetap menjadi acuan untuk membangun kehidupan bermasyarakat yang adil, aman dan semakin beradab.
Permasalahan yang boleh jadi dirasakan yaitu aparat penegak hukum belum menunjukkan proses penegakkan hukum yang terbuka, berlandaskan keadilan dan kesamaan hukum bukan dengan dasar kekuasaan uang dan posisi kedudukan jabatan. Sehingga, bisa jadi beberapa dari kita sudah merasakan kebuntuan dan mencari jalan lain yang mana kemungkinan akan cenderung kepada luapan emosi kekesalan dan mewujud ke kekerasan.
Terima kasih tanggapannya, Mas Sugeng.
Pernyataan Anda dengan tepat menggarisbawahi tantangan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum dalam menegakkan keadilan. Meskipun ada upaya untuk memperkuat sistem hukum, faktor-faktor seperti korupsi, nepotisme, dan ketidakadilan masih kerap menjadi penghalang utama. Transparansi dan integritas menjadi kunci dalam memperbaiki proses penegakan hukum yang inklusif dan adil. Namun, ketergantungan pada uang dan kekuasaan terus menggerogoti kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Ini mengakibatkan frustrasi dan ketidakpuasan yang dapat dengan mudah mencetuskan konflik sosial dan tindakan anarkis.
Disamping itu, diperlukan reformasi struktural dan pendidikan hukum yang komprehensif untuk mengubah paradigma ini. Aparat penegak hukum harus menjalani pelatihan yang ketat dan evaluasi yang berkelanjutan untuk memastikan bahwa mereka menjalankan tugasnya tanpa bias. Partisipasi masyarakat dalam pengawasan juga esensial untuk menciptakan akuntabilitas. Tanpa reformasi nyata, keinginan untuk membangun masyarakat yang adil, aman, dan beradab akan terus terhambat, merusak fondasi sosial yang sudah rapuh. Oleh karena itu, integrasi nilai-nilai keadilan dan kesamaan hukum dalam setiap tingkat penegakan hukum adalah imperatif yang tidak bisa ditawar lagi.