Categories
Begini Saja

Saling Kelindan antara Kuasa dan Relasi

Kasus pemecatan Ketua KPU yang menimbulkan kontroversi publik mencerminkan fenomena yang sering ditemui dalam dunia politik, yakni interaksi yang kompleks antara kuasa dan relasi. Dalam konteks ini, kuasa bukanlah sekadar kemampuan untuk mempengaruhi atau mengendalikan orang lain, melainkan sebuah dinamika yang memanfaatkan posisi, jaringan, dan sumber daya untuk mencapai tujuan tertentu. Memahami dinamika ini menjadi penting untuk menganalisis isu-isu politik yang terjadi.

Menurut pandangan teoretis Steven Lukes, kekuasaan tidak hanya terlihat dalam tindakan nyata, tetapi juga dalam kemampuan untuk membentuk dan mengendalikan agenda politik (Lukes, 2005). Dalam kasus ini, diduga adanya upaya untuk menyingkirkan Ketua KPU yang dianggap mengancam kepentingan tertentu, dengan memanfaatkan relasi kuasa yang dimiliki oleh pihak-pihak terkait. Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan dapat digunakan untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan dan membatasi pilihan-pilihan yang tersedia.

Namun, dalam kasus ini, terdapat indikasi bahwa Ketua KPU juga telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan (power abuse) dengan memanfaatkan fasilitas negara dan jaringan relasi untuk kepentingan pribadi. Teori Foucault tentang kekuasaan juga relevan untuk memahami fenomena ini (Foucault, 1980). Foucault menekankan bahwa kekuasaan tidak hanya bersifat struktural, tetapi juga tersebar secara mikro dalam jaringan relasi sosial. Dalam kasus ini, diduga terdapat upaya Ketua KPU untuk memanipulasi jaringan relasi dan sumber daya untuk kepentingan pribadinya, menunjukkan bahwa kekuasaan dapat disalahgunakan.

Lebih lanjut, relasi kuasa yang terkait dengan pemecatan Ketua KPU juga dapat dipandang melalui perspektif teori hegemoni Gramsci (Gramsci, 1971). Gramsci menekankan bahwa dominasi tidak hanya terjadi secara paksa, tetapi juga melalui kepemimpinan moral dan intelektual. Dalam kasus ini, ditengarai adanya upaya untuk mempertahankan hegemoni tertentu di ranah politik melalui manipulasi relasi kuasa, di mana terlapor (Ketua KPU) memanfaatkan posisi publik untuk memanipulasi pelapor (korban); dan ini berdampak pada merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap KPU dan lembaga-lembaga demokrasi umumnya.

Fenomena penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik seperti Ketua KPU tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga dapat ditemukan di berbagai negara lain. Telaah psikologi politik menunjukkan bahwa interaksi antara kuasa dan relasi sering menjadi sumber konflik dan ketidakstabilan dalam sistem politik (Heywood, 2013). Oleh karena itu, penting untuk memahami dinamika ini secara lebih mendalam dan mencari solusi untuk memperkuat institusi-institusi demokrasi yang tangguh.

Dalam menghadapi tantangan ini, diperlukan upaya untuk memperkuat sistem checks and balances, meningkatkan transparansi, dan membangun kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga politik. Selain itu, penguatan pendidikan politik dan peningkatan partisipasi masyarakat juga menjadi kunci untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kuasa dan relasi dalam ranah politik. Dengan demikian, demokrasi yang sehat dan berbasis pada nilai-nilai keadilan dapat terwujud.

Bibliografi:

Foucault, M. (1980). Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972-1977. Pantheon Books.

Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. International Publishers.

Heywood, A. (2013). Politics (4th Ed.). Palgrave Macmillan.

Lukes, S. (2005). Power: A Radical View (2nd Ed.). Palgrave Macmillan.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

5 replies on “Saling Kelindan antara Kuasa dan Relasi”

Memperkuat sistem checks and balances, meningkatkan transparansi, dan membangun kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga politik.
Terhadap pemikiran tersebut, saya membayangkan kondisi sebagai berikut:
1. Setiap lembaga-lembaga politik secara berkala akan diaudit pengelolaan keuangan oleh Lembaga Audit Independen, yang bebas dari intervensi. Adapun hasil audit tersebut diumumkan secara terbuka kepada
publik.
2. Proses pembahasan dan persetujuan/pengesahan aturan dan kebijakan lembaga-lembaga politik tersampaikan secara terbuka.
3. Ketika hasil laporan audit dan ditemukan kecurangan dalam proses pengesahan, maka ada mekanisme etika, moral dan hukum untuk bertanggungjawab.

Terima kasih, Mas Sugeng.

Saya mencoba mengelaborasi gagasan yang Anda kemukakan.

Pertama, mengaudit lembaga-lembaga politik secara berkala oleh Lembaga Audit Independen memang langkah penting untuk memperkuat akuntabilitas dan transparansi. Pengumuman hasil audit kepada publik juga akan meningkatkan kepercayaan masyarakat, memastikan bahwa tidak ada praktik penggelapan dana atau korupsi yang ditutupi. Namun, efektivitas ini sangat bergantung pada independensi dan kredibilitas lembaga audit itu sendiri, yang harus benar-benar bebas dari intervensi politik. Tantangan lainnya adalah memastikan seluruh rekomendasi hasil audit diimplementasikan dan tidak hanya menjadi formalitas belaka. Keberadaan mekanisme untuk menindaklanjuti temuan audit juga krusial untuk mencegah penyalahgunaan.

Kedua, transparansi dalam proses pembahasan, persetujuan, dan pengesahan aturan serta kebijakan adalah cara efektif untuk memastikan bahwa keputusan politik dibuat secara objektif dan demi kepentingan publik. Proses yang transparan mendorong partisipasi masyarakat dan pengawasan yang lebih ketat, yang dapat mencegah korupsi dan kebijakan yang tidak adil. Namun, ada risiko bahwa transparansi ini bisa disabotase oleh pihak-pihak dengan kepentingan terselubung, sehingga perlu adanya pencegahan terhadap manipulasi informasi. Menjadi tugas media dan masyarakat untuk tetap kritis dan objektif dalam mengikuti serta memahami proses tersebut. Transparansi juga harus didukung oleh teknologi dan infrastruktur informasi yang memadai untuk memudahkan akses publik.

Ketiga, mekanisme etika, moral, dan hukum untuk mempertanggungjawabkan kecurangan dalam proses pengesahan adalah fondasi penting yang melengkapi sistem checks and balances. Adanya konsekuensi nyata bagi pelaku kecurangan dapat menjadi pencegah dan menunjukkan komitmen terhadap integritas politik. Namun, pelaksanaan mekanisme ini harus konsisten dan adil, tanpa pandang bulu, agar tidak justru menjadi alat politik untuk menjatuhkan lawan. Selain itu, masyarakat perlu diberi pendidikan hukum dan politik agar bisa memahami dan mendukung penerapan mekanisme ini dengan baik. Penegakan hukum yang tegas dan transparan akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap integritas lembaga-lembaga politik.

Terimakasih untuk elaborasi yang mendalamnya Mas Edy. Menarik untuk elaborasi lebih lanjut untuk kata kunci masyarakat juga mendapat pendidikan politik dan hukum yang kuat untuk melengkapi peran sebagai pengawas kebijakan lembaga politik.
Masyarakat luas untuk memperoleh pendidikan politik, melalui parpol, ormas, LSM. Selain itu peran media untuk menyebarluaskan pendidikan politik dan hukum.
Tantangan yang muncul yaitu media yang diharapkan memberikan pendidikan politik dan hukum berhadapan dengan kekuatan ekonomi untuk kelanjutan berdirinya media. Apabila media lebih banyak porsi untuk pendidikan politik dan hukum, maka dari sisi bisnis untuk kelanjutan media tersebut bisa jadi tidak dapat memperoleh keuntungan bisnis.
Sedangkan melalui parpol, ormas dan LSM juga muncul tantangan antara kekuatan ekonomi dan kekuatan memperkuat pendidikan politik dan hukum (dibaca: idealisasi moral). Maksudnya, apabila menjadi anggota parpol, LSM dan ormas yang tidak memiliki kekuatan dana sebagai donatur terbesar untuk menggerakkan organisasi dan maaf hanya mengandalkan kekuatan ide maka bagi individu-individu yang kuat dalam ide dan pemikiran akan tenggelam dengan individu-individu yang memiliki kekuatan dana tetapi maaf ide kurang.

Terima kasih poin diskusinya, Mas Sugeng.

Menurut hemat saya, pendidikan politik dan hukum bagi masyarakat adalah fundamental dalam mendorong partisipasi dan kesadaran sosial. Partai politik, organisasi massa, dan LSM menjadi sarana penting untuk menyampaikan pendidikan tersebut, sementara peran media dalam menyebarluaskannya juga vital. Namun, tantangan muncul ketika media dihadapkan pada tekanan ekonomi, yang sering kali membuat konten pendidikan ini tidak menguntungkan, sehingga prioritas bergeser ke konten yang lebih komersial.

Idealnya, kekuatan ekonomi tidak seharusnya menjadi satu-satunya penentu dalam penguatan pendidikan politik dan hukum. Individu dengan gagasan kuat namun tanpa kekuatan finansial harus tetap diberikan platform untuk mempengaruhi dinamika politik dan sosial. Partai politik, LSM, dan ormas harus membangun sistem yang lebih inklusif dan berkelanjutan, yang memungkinkan berbagai gagasan, baik dari yang berduit maupun tidak, berkonstribusi. Ini memerlukan kerjasama yang lebih baik antara masyarakat, lembaga politik, dan media untuk menyeimbangkan idealisme dan realisme ekonomi.

Terimakasih Mas Edy untuk mengingatkan kita semua untuk memiliki harapan agar idealisme dan realisme tetap seimbang. Semoga harapan-harapan tersebut semakin besar menjadi kenyataan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *