Categories
Begini Saja

‘Sampul-Sampul’ di Media Sosial

Artikel ini diperiksa dan disunting ulang dari artikel Edy Suhardono yang pertama kali dipublikasikan di Facebook Edy Suhardono, ‘SAMPUL-SAMPUL’ DI MEDIA SOSIAL, 21 Maret 2019.

Kesibukan melakukan posting selfie dan pengeditan foto mungkin menegaskan, betapa “sampul lebih perlu ditonjolkan ketimbang isi buku”.

Ada dua alasan mengapa orang mem-posting foto selfie di situs media sosial: mereka narsis atau malahan psikopat, atau sekadar melakukan objektifikasi diri dalam tingkatan tertentu, mulai dari narsisme, psikopati, hingga machiavellianism.

Narsisme adalah semacam egosentrisme ekstrem dan cara memandang diri yang terlalu muluk, seolah sangat butuh dan berhak dikagumi oleh orang lain, terutama karena seseorang merasa ‘lebih’ daripada kebanyakan orang yang karena alasan ini lantas mencari kesempatan untuk memamerkan kelebihannya. Biasanya seorang narsisis mengokang sisi pada dirinya yang menurutnya orang lain awam. Pelabelan diri ini ia sembunyikan secara rapi seolah menegaskan, “Tidakkah/belumkah Anda tahu bahwa saya filsuf?”

Psikopati ditandai dengan pola perilaku impulsif dan hampir tanpa empati. Pada pola perilaku ini seorang psikopatik cenderung mereaksi apa pun dan siapa pun dengan reaksi atau pembalasan secara lebih cepat, lebih drastis, atau lebih menyakitkan. Misalnya melalui pertanyaan, “Kenapa Anda tak menunjukkan yang lebih dungu dari yang Anda tunjukkan sekarang?”

Machiavellianism ditandai dengan kecenderungan manipulatif dan tak menghiraukan kebutuhan orang lain, terutama dengan menunjukkan ketakpatutan moral yang disengaja. Misalnya lewat pernyataan, “Dengan kritik Anda yang ujungnya menempatkan saya sebagai pihak yang bersalah, itu hanya menunjukkan kegagalan paham dan kedunguan Anda”.

Fox, J., & Rooney, M. C. (2015), dalam tulisannya yang dimuat pada jurnal Personality & Individual Differences, 76, 161-165, berjudul “The Dark Triad and trait self-objectification as predictors of men’s use and self-presentation behaviors on social networking sites” menunjukkan, narsisme dan objektifikasi diri berkorelasi dengan penghabisan lebih banyak waktu di situs jejaring sosial dan pengeditan foto diri. Dari sini dapat disimpulkan, banyaknya posting selfie berkorelasi dengan tingginya tingkat narsisme dan psikopati.

Narsisis lebih cenderung pamer dengan selfie dan melakukan upaya ekstra agar dirinya terlihat baik melalui foto-foto. Psikopat mem-posting lebih banyak selfie, tetapi cenderung tidak mengeditnya. Boleh jadi, psikopat tidak memiliki cukup kontrol diri dan tidak berusaha menyaring secara cermat apa yang mereka masukkan di pengeditan foto. Ini merupakan pembeda antara narsisis dan psikopati, di mana narsisis menunjukkan tingkat presentasi diri yang lebih cermat dibandingkan psikopati.

Objektifikasi diri cenderung dikaitkan dengan harga diri yang rendah, sementara narisisis berkorelasi dengan harga diri yang tinggi, meski baik mereka yang berkecenderungan narsis, maupun memiliki tingkat harga diri yang rendah sama-sama menunjukkan penggunaan media sosial yang lebih intensif. Sementara, tinggi objektifikasi diri tidak berkorelasi dengan tingginya frekuensi selfie yang di-posting, tetapi dengan tingginya tingkat kesadaran tentang penampilan melalui posting. Kecenderungan objektifikasi diri lebih kuat pada wanita dibanding pria, salah satu penjelasannya, dibanding pria, wanita lebih terobsesi dengan diri sendiri melalui posting selfie mereka.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *