Asap itu mengepul tipis pada awalnya, merayap di atas pagar-pagar yang membatasi ilusi privasi kita. Baunya—campuran plastik terbakar yang pedas dan sisa organik yang lembap—menusuk hidung, menyelinap masuk melalui celah ventilasi.
Di satu rumah, seorang anak terbatuk. Di rumah lain, jemuran yang baru diangkat harus dicuci ulang. Di antara kedua rumah itu, sebuah pertengkaran siap meledak.
Inilah drama kecil yang terjadi setiap hari di ribuan lingkungan, dari pinggiran Jakarta hingga pedalaman Kalimantan: sengketa antartetangga karena praktik membakar sampah. Sebuah tindakan yang dianggap sepele oleh pelaku, tetapi dirasa sebagai agresi oleh penerima dampaknya.
Insiden yang tampak sederhana ini sesungguhnya adalah puncak gunung es dari krisis yang jauh lebih dalam. Ini bukan sekadar cerita tentang individu yang malas atau tidak peduli. Asap yang melintasi halaman tetangga adalah pesan terkirim tentang kegagalan sistemik, tentang psikologi kita yang bias, tentang struktur sosial yang rapuh, dan tentang kebijakan publik yang kehilangan ruhnya.
Mengapa, di tengah melimpahnya informasi tentang polusi dan penyakit, praktik yang secara harfiah meracuni diri sendiri dan komunitas ini terus bertahan? Jawabannya terletak pada jalinan kompleks berbagai perspektif, dari yang paling personal hingga yang paling politis.
Keliru Berhitung
Mari kita mulai dari sumbernya: keputusan seorang individu untuk menyalakan api. Dari kacamata Psikologi Lingkungan, tindakan ini adalah hasil dari persepsi risiko yang terdistorsi. Pakar psikologi Daniel Kahneman (2011), dalam bukunya berjudul Thinking, Fast and Slow, menunjukkan bahwa manusia cenderung meremehkan risiko yang bersifat kronis, lambat, dan tidak terlihat (seperti partikel PM2.5 yang masuk ke paru-paru) dibandingkan risiko yang akut dan dramatis (seperti kecelakaan).
Asap sampah adalah pembunuh yang senyap; ia tidak menyebabkan korban jatuh seketika. Akibatnya, ancaman kanker atau penyakit paru obstruktif kronis di masa depan terasa abstrak dan jauh, sementara manfaatnya—sampah lenyap, halaman bersih—terasa nyata dan instan.
Perspektif ini diperkuat oleh Ekonomi Perilaku. Richard Thaler, peraih Nobel Ekonomi, yang mempopulerkan konsep “Nudge” yang menjelaskan bagaimana pilihan kita dipengaruhi oleh “arsitektur pilihan” di sekitar kita.
Ketika tidak ada Tempat Penampungan Sementara (TPS) yang mudah dijangkau—fakta yang terjadi di lebih dari 80% desa di Indonesia menurut data KLHK tahun 2018—maka membakar sampah menjadi pilihan yang paling “mudah”. Ini adalah kalkulus biaya-manfaat yang keliru, tetapi rasional dalam jangka pendek (BPS, 2018).
Biaya (waktu, tenaga, atau uang) untuk membuang sampah dengan benar terasa lebih besar daripada manfaat kesehatan jangka panjang yang tidak pasti. Tanpa insentif positif (seperti bank sampah yang menguntungkan) atau “dorongan” (seperti penyediaan kantong sampah terpilah yang mudah), kita terperosok dalam pilihan yang paling merugikan secara kolektif.
Bukankah ironis, bahwa demi efisiensi sesaat, kita mengorbankan aset paling berharga: udara yang kita hirup bersama?
Norma Terbakar Gegara Ritual Usang
Jika kita melangkah mundur dari individu ke komunitas, kita akan melihat bagaimana praktik ini tertanam dalam struktur sosial. Sosiologi Lingkungan mengajarkan kita bahwa perilaku lingkungan tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia dibentuk oleh norma, relasi kekuasaan, dan ketimpangan akses.
Di banyak komunitas, membakar sampah adalah norma sosial yang diwariskan, sebuah “kearifan lokal” yang usang. Namun, “kearifan” ini menjadi malapetaka ketika kepadatan penduduk meningkat dan komposisi sampah berubah dari daun menjadi plastik.
Sosiolog lingkungan terkemuka, John Bellamy Foster, berpendapat bahwa krisis ekologis sering kali merupakan manifestasi dari “keretakan metabolik” antara manusia dan alam, yang diperparah oleh ketidaksetaraan sosial.
Ketiadaan TPS di satu wilayah dan ketersediaannya di wilayah lain yang lebih makmur adalah cermin nyata dari ketidakadilan lingkungan. Konflik antartetangga pun bukan lagi sekadar masalah personal, melainkan gejala dari struktur sosial yang gagal mendistribusikan beban dan fasilitas lingkungan secara adil.
Dari lensa Antropologi Ekologis, membakar sampah bisa dilihat sebagai sisa-sisa adaptasi budaya. Di masyarakat agraris, membakar sisa tanaman adalah bagian dari siklus ekologis. Namun, praktik ini kehilangan makna dan fungsinya ketika diterapkan pada sampah modern yang mengandung bahan kimia berbahaya.
Antropolog Roy Rappaport (1999) menekankan bagaimana ritual dan praktik budaya dapat menjadi adaptif atau maladaptif tergantung pada konteks lingkungannya. Membakar sampah plastik di halaman belakang adalah contoh sempurna dari praktik maladaptif—sebuah ritual usang yang terus dijalankan tanpa memahami konsekuensi barunya di ekosistem modern yang rapuh.
Absennya Negara dan Hukum yang Tumpul
Ketika individu dan komunitas gagal, kita secara alami menoleh pada negara. Namun, di sinilah ironi terbesar terungkap. Indonesia memiliki seperangkat hukum lingkungan yang mengesankan. UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan ancaman sanksi pidana dan denda yang berat.
Namun, apa artinya hukum tanpa penegakan? Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang dirilis Kemenkes menunjukkan fakta telak: 57,2% sampah rumah tangga di Indonesia masih dibakar. Ini adalah bukti empiris bahwa strategi yang hanya mengandalkan ancaman pidana telah gagal total.
Studi Kebijakan Publik menunjukkan bahwa efektivitas sebuah regulasi bergantung pada implementasi dan penerimaan sosial. Sanksi yang keras tanpa penyediaan alternatif yang layak hanya akan menciptakan pelanggaran massal dan apatisme.
Ini adalah “simbolisme kebijakan”, di mana hukum dibuat untuk memberi kesan bahwa masalah sedang ditangani, padahal di lapangan tidak ada yang berubah. Menurut pakar hukum lingkungan Indonesia, Mas Achmad Santosa, penegakan hukum lingkungan sering kali lemah karena kurangnya kemauan politik, kapasitas aparat, dan koordinasi antarlembaga.
Di sinilah Ekologi Politik memberikan perspektif yang paling kritis. Keputusan untuk tidak membangun TPS, atau kegagalan untuk menegakkan hukum secara serius, bukanlah kelalaian teknis semata; itu adalah sebuah keputusan politik.
Filsuf politik Erik Swyngedouw berteori bahwa semua proses lingkungan bersifat politis karena melibatkan distribusi sumber daya dan kekuasaan. Siapa yang mendapatkan udara bersih, dan siapa yang harus menghirup asap? Jawabannya sering kali ditentukan oleh kekuatan politik dan ekonomi.
Praktik membakar sampah menjadi solusi “murah” bagi pemerintah daerah yang tidak memprioritaskan anggaran untuk pengelolaan sampah, sebuah beban yang kemudian dieksternalisasi kepada paru-paru warganya, terutama yang paling rentan.
Menjahit Kembali Jaring yang Robek
Lalu, bagaimana kita keluar dari lingkaran setan ini? Jawabannya tidak terletak pada satu solusi tunggal, melainkan pada pendekatan spiral yang menyentuh setiap lapisan masalah. Psikologi Perilaku Kesehatan dengan Health Belief Model-nya menyarankan bahwa perubahan perilaku hanya terjadi jika individu merasa rentan (perceived susceptibility), menganggapnya serius (perceived severity), percaya pada solusi yang ditawarkan (perceived benefits), dan menghadapi sedikit hambatan (perceived barriers).
Di sinilah peran Komunikasi Lingkungan menjadi vital. Kampanye publik tidak cukup hanya dengan menakut-nakuti dengan data kanker atau ancaman penjara. Pesan harus di-frame secara personal: “Asap yang Anda bakar hari ini bisa menjadi pemicu asma bagi anak tetangga besok”. Komunikasi harus memberdayakan, bukan hanya menyalahkan, dengan menawarkan solusi konkret yang mudah diakses.
Dari perspektif Hukum dan Kriminologi Lingkungan, fokus harus bergeser dari sekadar penghukuman ke keadilan restoratif dan pencegahan. Penegakan hukum harus konsisten tetapi adil, mungkin dimulai dari sanksi sosial atau denda administratif yang ringan, yang kemudian meningkat jika pelanggaran berulang. Tujuannya bukan untuk memenjarakan rakyat kecil, tetapi untuk menegaskan bahwa merusak udara bersama adalah tindakan anti sosial yang tidak dapat diterima.
Pada akhirnya, asap dari halaman tetangga adalah sebuah referendum harian atas kontrak sosial kita. Ia memaksa kita bertanya: Apakah lingkungan yang sehat adalah hak atau kemewahan? Siapa yang bertanggung jawab untuk menjamin hak tersebut? Sengketa kecil ini, jika kita sudi mendengarkan pesannya, mengungkap kebenaran yang tidak nyaman: kita semua saling terhubung.
Udara tidak mengenal batas pagar. Keputusan satu orang di halaman belakang rumahnya adalah keputusan yang berdampak pada kesehatan kolektif kita. Jalan ke depan menuntut sebuah orkestrasi kebijakan yang cerdas: “dorongan” perilaku dari pemerintah, pemberdayaan komunitas untuk menciptakan solusi lokal, penegakan hukum yang adil dan konsisten, serta yang terpenting, kesadaran mendalam bahwa merawat lingkungan bukanlah sebuah pilihan, melainkan satu-satunya cara untuk merawat kemanusiaan kita bersama.
Pertanyaannya bukan lagi apakah kita mampu melakukannya, tetapi apakah kita memiliki kebijaksanaan untuk memulainya sebelum napas kita benar-benar sesak.
Daftar Referensi
Dasar Hukum Larangan Membakar Sampah (UU No. 18 Tahun 2008). Diakses 25 Agustus 2025. Tautan https://peraturan.bpk.go.id/Details/39988/uu-no-18-tahun-2008
Dasar Hukum Perlindungan Lingkungan (UU No. 32 Tahun 2009). Diakses 25 Agustus 2025. Tautan: http://jdih.menlhk.go.id/uploads/files/UU_32_2009_PPLH_UU_NO_11_TAHUN_2020.pdf
Data Statistik Pengelolaan Sampah oleh Rumah Tangga (Data Pendukung untuk SKI 2023). Diakses 25 Agustus 2025. Tautan: https://goodstats.id/article/pemerintah-terapkan-sanksi-pidana-bakar-sampah-sembarangan-bakal-efektif-GiF2T
Glanz, K., Rimer, B.K., & Lewis, F.M. (Eds.). Diakses 25 Agustus 2025. Health Behavior and Health Education: Theory, Research, and Practice. Akses: https://www.med.upenn.edu/hbhe4/part2-ch3-main-constructs.shtml
Heikki Pesonen – Innovation, Adaptation, and Maintaining the Balance. (2022). Diakses 25 Agustus 2025. Tautan: https://www.researchgate.net/publication/365273106
Kahneman, Daniel & Tversky, Amos. (1984). “Choices, Values, and Frames”. American Psychologist, 39(4), 341–350. Diakses 25 Agustus 2025. Tautan: https://archive.org/details/choicesvaluesfra0000unse
Kahneman, Daniel. (2011). Thinking, Fast and Slow. New York: Farrar, Straus and Giroux. Diakses 25 Agustus 2025. Tautan: https://archive.org/details/DanielKahnemanThinkingFastAndSlow
Palmer, Christian T. (2020). Culture and Sustainability: Environmental Anthropology in the Anthropocene. Perspectives: An Open Introduction to Cultural Anthropology, 2nd Edition. Pressbooks. Diakses 25 Agustus 2025. Tautan: https://pressbooks.pub/perspectives/chapter/culture-and-sustainability-environmental-anthropology-in-the-anthropocene/
Pendapat Pakar tentang Dampak Kesehatan dan Alternatif Pengelolaan Sampah. Diakses 25 Agustus 2025. Tautan: https://ugm.ac.id/id/berita/pakar-ugm-himbau-warga-tidak-membiasakan-bakar-sampah/
Rappaport, Roy A. (1999). Ritual and Religion in the Making of Humanity. Cambridge University Press. Diakses 25 Agustus 2025. Tautan: https://archive.org/details/ritualreligionin0000rapp
Sherman, B., Gallagher, A., & Kormanik, W. (2024). “Cultural Burns, Sustainability, and Agriculture: A Dying Art”. Platform: ArcGIS StoryMaps. Diakses 25 Agustus 2025. Tautan: https://storymaps.arcgis.com/stories/430cf9bce48b492c9e144feb1ce98124
Southwest Climate Adaptation Science Center (2021). Cultural Burning and the Relationship With Fire. SW CASC, University of Arizona.
Swyngedouw, Erik; Kaika, Maria; Castro, Esteban. (2002). “Urban Water: A Political-Ecology Perspective”. Built Environment. Vol. 28, No. 2 (2002), pp. 124–137. Diakses 25 Agustus 2025. Akses: https://www.jstor.org/stable/pdf/23288796.pdf
***
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya berjudul “Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasi di Era Transformasi Sosio- Digital” (Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2025) dan buku yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.