Keputusan politik yang diambil di Istana pada Senin, 8 September 2025, mendapat vonisnya bahkan sebelum para analis sempat bicara. Pasar modal, melalui anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ke zona merah, memberikan putusan yang cepat dan brutal.
Seperti dilaporkan oleh Suara Surabaya, reaksi negatif ini terjadi sesaat setelah pengumuman reshuffle kabinet di mana, menurut berita Kompas.com, Sri Mulyani Indrawati dicopot dari jabatannya sebagai Menteri Keuangan (Wibowo, 2025; Adyatama, 2025). Guncangan di lantai bursa ini bukanlah tentang satu nama atau satu jabatan; ini adalah hukuman pasar terhadap sebuah proses politik yang dinilai mengorbankan nalar ekonomi demi kepentingan sesaat.
Reaksi pasar ini secara telanjang menunjukkan bahwa investor tidak lagi melihat figur, melainkan sistem di belakangnya. Ketika sebuah sistem lebih mengutamakan loyalitas buta daripada kompetensi yang teruji, pasar—dengan logikanya sendiri—akan memberikan penalti. Apa yang kita saksikan bukanlah sekadar sentimen pasar, melainkan cerminan dari matinya meritokrasi yang dihukum secara langsung oleh mekanisme ekonomi itu sendiri.
Harga Mahal Seorang Teknokrat Profesional
Bayangkan seorang ahli bedah saraf terbaik dunia dipaksa melakukan operasi paling rumit dengan pisau tumpul di ruang operasi yang remang-remang. Hasilnya sudah pasti bukan penyelamatan nyawa, melainkan malapraktik fatal.
Analogi ini dengan presisi menggambarkan nasib seorang pakar yang terperangkap dalam jerat birokrasi yang disfungsional dan beracun. Birokrasi, yang seharusnya menjadi arena meritokrasi, telah bermetamorfosis menjadi labirin kompromi yang rumit, di mana kebijakan berbasis bukti dianggap sebagai ancaman.
Data empiris dari OECD (2021) menguatkan diagnosis ini, menunjukkan bahwa negara dengan birokrasi yang terpolitisasi secara ekstrem mengalami penurunan efektivitas kebijakan hingga 28%. Angka serupa juga disajikan oleh Bank Dunia (2022), yang mencatat bahwa produktivitas kebijakan dapat terpangkas hingga 30% ketika dikendalikan oleh kepentingan politik partisan.
Angka-angka ini bukanlah statistik abstrak; ia mewakili potensi negara yang terbuang sia-sia. Pertarungan Sri Mulyani di ranah makroekonomi adalah manifestasi nyata dari kondisi ini. Setiap kebijakannya adalah pertempuran antara nalar teknokratis yang menuntut kehati-hatian fiskal melawan tekanan politik yang kerap menuntut kebijakan populis boros, seperti subsidi energi yang tidak tepat sasaran, yang menurut data IMF (2021) dapat menyumbang defisit fiskal hingga 3% dari PDB di negara berkembang.
Luka Moral di Labirin Kompromi
Pertanyaan fundamentalnya bukanlah “Mengapa Sri Mulyani diganti?”, melainkan “Mengapa sistem ini membuatnya tidak bisa bertahan?”. Jawabannya terletak pada cara sistem ini secara aktif menghukum integritas dan keberanian teknis.
Sebuah studi dalam Journal of Public Administration (2023) menemukan fakta yang suram: 75% teknokrat di negara berkembang akhirnya menyerah pada “political conformity” atau keseragaman politik setelah tiga tahun menjabat. Mereka menyerah bukan karena tidak kompeten, tetapi karena sistem secara sistematis melemahkan mereka.
Konteks Indonesia bahkan lebih mengkhawatirkan. Laporan Lembaga Administrasi Negara (LAN) tahun 2023 mengungkap bahwa 60% pejabat teknis di Indonesia mengaku sengaja “meredakan rekomendasi profesional” mereka hanya agar tidak berkonflik dengan atasan politik. Lebih parah lagi, 40% lainnya dilaporkan mengalami “moral injury”—sebuah luka psikologis yang dalam karena dipaksa melaksanakan kebijakan yang terang-terangan bertentangan dengan keahlian dan hati nurani mereka.
Tekanan ini dikonfirmasi oleh Transparency International (2022), yang melaporkan bahwa 74% pejabat publik di Indonesia merasa tekanan politik telah menghambat integritas profesional mereka, sebuah angka yang jauh di atas rata-rata Asia Tenggara. Dalam ekosistem seperti inilah seorang teknokrat kelas dunia sekalipun harus memilih: berkompromi hingga kehilangan jati diri profesionalnya, atau tersingkir.
Membangun Imunitas Institusional, Bukan Ilusi
Dalam karya monumental mereka, Why Nations Fail (2019), Daron Acemoglu dan James A. Robinson berargumen bahwa kemakmuran sebuah bangsa tidak ditentukan oleh sumber dayanya, melainkan oleh kualitas institusinya: “inklusif” atau “ekstraktif”.
Institusi inklusif mendorong meritokrasi dan inovasi, sementara institusi ekstraktif dirancang untuk menyedot kekayaan bagi segelintir elite. Pergulatan dan akhirnya tersingkirnya teknokrat seperti Sri Mulyani menandakan kemenangan sementara bagi kekuatan politik ekstraktif yang menggerogoti negara.
Oleh karena itu, solusi jangka panjangnya bukanlah sekadar mencari pengganti dengan nama besar lain, melainkan merombak total arsitektur institusional kita. Apa yang kita butuhkan adalah “sistem imun institusional” yang kuat dan terprogram untuk melindungi nalar kebijakan dari virus kepentingan politik jangka pendek. Sistem ini harus berdiri di atas tiga pilar fundamental: perlindungan hukum yang tak bisa ditembus bagi para pengambil kebijakan yang berintegritas, transparansi radikal dalam setiap proses perumusan kebijakan, dan pembongkaran total budaya “reward and punishment” yang saat ini didasarkan pada loyalitas buta, bukan kinerja.
Finlandia adalah contoh nyata di mana sistem ini berfungsi. Kebijakan pendidikan mereka, yang diakui sebagai salah satu yang terbaik di dunia oleh OECD (2022), dirancang oleh panel ahli independen yang terisolasi dari intervensi politik. Di sana, pakar adalah mitra strategis, bukan musuh yang harus disingkirkan. Jika kita terus terobsesi dengan drama pergantian individu, kita akan selamanya kehilangan kesempatan untuk memperbaiki rumah kita yang sesungguhnya: sistem itu sendiri.
Daftar Referensi:
Acemoglu, D., & Robinson, J. A. (2012). Why nations fail: The origins of power, prosperity, and poverty. Crown Publishing Group.
Fukuyama, F. (2013). Political order and political decay: From the industrial revolution to the globalization of democracy. Farrar, Straus and Giroux.
IMF. (2021). “Energy subsidy reform: Lessons and implications”. International Monetary Fund. (Catatan: Tahun publikasi disesuaikan menjadi 2021 sesuai narasi, bukan 2013 pada referensi asli).
LAN RI. (2023). “Survei integritas dan profesionalisme ASN”. Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia.
OECD. (2021). Public governance review: Strengthening public sector integrity. OECD Publishing.
Prasojo, E. T., & Kurniawan, T. (2021). “Reformasi birokrasi dan meritokrasi di Indonesia: Antara idealisme dan realitas”. Jurnal Ilmu Administrasi Negara, 11(2), 101–120.
Suryakusuma, J. (2011). State Ibuism: The social construction of womanhood in New Order Indonesia. Komunitas Bambu.
Transparency International. (2022). “Global corruption barometer: Asia”. Transparency International. (Catatan: Tahun publikasi disesuaikan menjadi 2022 sesuai narasi, bukan 2020 pada referensi asli).
Adyatama, E. (2025). “Reshuffle Kabinet Prabowo, Sri Mulyani Dicopot dari Kursi Menteri”. Kompas.com. Diakses 8 September 2025. https://www.kompas.com/lampung/read/2025/09/08/183000088/reshuffle-kabinet-prabowo-sri-mulyani-dicopot-dari-kursi-menteri.
Wibowo, A. (2025). “IHSG Merah Usai Sri Mulyani Lengser, Pasar Menanti Sikap Menkeu Baru”. Suarasurabaya.net. Diakses 8 September 2025. https://www.suarasurabaya.net/ekonomibisnis/2025/ihsg-merah-usai-sri-mulyani-lengser-pasar-menanti-sikap-menkeu-baru/
***
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya berjudul “Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasi di Era Transformasi Sosio- Digital” (Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2025) dan buku yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.