Categories
Begini Saja

Merakit Realitas Politik di Balik Angka Keramat

Analisis terhadap simbolisme politik sering kali terjebak dalam sebuah dilema: apakah pemimpin yang menggunakan simbol-simbol tersebut benar-benar “percaya” pada kekuatan mistisnya, atau apakah itu sekadar strategi sinis untuk memanipulasi publik?

Pertanyaan ini, yang mengandaikan sebuah pemisahan tegas antara keyakinan (irasional) dan strategi (rasional), mungkin merupakan pertanyaan yang keliru. Sebuah pendekatan yang lebih radikal dan produktif ditawarkan oleh Bruno Latour melalui Actor-Network Theory (ANT), yang mengajak kita untuk menggeser fokus dari intensi psikologis sang pemimpin ke efek performatif dari simbol itu sendiri di dalam sebuah jaringan relasi.

Dalam kerangka ANT, simbol-simbol politik seperti angka tidak lagi dilihat sebagai objek pasif yang sekadar digunakan oleh manusia, melainkan sebagai partisipan aktif—atau “aktan” (actants)—yang turut serta merakit dan menstabilkan realitas politik.

Inti dari ANT adalah “prinsip simetri umum” (principle of generalized symmetry), yang menuntut analis untuk memperlakukan aktor manusia (seperti presiden, menteri, atau pemilih) dan aktor nonmanusia (seperti angka, kalender, teknologi, atau simbol) dengan kerangka analitis yang sama.

Kekuasaan, dalam pandangan ini, bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh seorang individu, melainkan sebuah efek yang dihasilkan oleh sebuah jaringan heterogen yang terdiri dari berbagai macam aktan ini. Sebuah perombakan kabinet yang dilakukan pada tanggal yang signifikan secara numerologis, misalnya, bukanlah sekadar keputusan manusia yang diberi polesan simbolik. Peristiwa itu sendiri adalah sebuah rakitan (assemblage) yang terwujud melalui interaksi antara presiden (aktan manusia), para menteri baru dan lama (aktan manusia), media massa (aktan nonmanusia), dan angka itu sendiri (aktan nonmanusia).

Pendekatan ini dapat dilihat sebagai sebuah perluasan radikal dari konsep “multirealitas” yang dibahas oleh Suhardono & Audifax (2023). Jika realitas memang majemuk dan dikonstruksi melalui persepsi yang dibentuk oleh lingkungan (perceptual milieu), seperti yang dijelaskan Merleau-Ponty, maka ANT menyediakan sebuah metodologi untuk melacak secara empiris bagaimana realitas-realitas majemuk ini dirakit dan dipertahankan.

Konsep ini juga selaras dengan analisis Foucault tentang biopolitik, yang juga dibahas dalam buku tersebut, di mana kekuasaan beroperasi bukan dari satu pusat, melainkan melalui jaringan pengetahuan, institusi, dan praktik-praktik yang tersebar yang mengatur dan mendefinisikan kehidupan.

Dengan menggunakan lensa ANT, pertanyaan “Apakah angka itu benar-benar bekerja?” menjadi tidak relevan. Pertanyaan yang lebih tepat adalah, “Apa yang dilakukan oleh angka tersebut di dalam jaringan ini?”. Angka, sebagai sebuah aktan, melakukan banyak hal. Ia berfungsi sebagai “mediator” yang secara aktif mengubah relasi antar-aktan lain. Ketika sebuah perombakan kabinet dihubungkan dengan angka 8 atau hari Rabu Pahing, angka tersebut:

  1. Menghubungkan peristiwa politik kontemporer dengan tradisi kosmologi Jawa yang berakar kuat, memberinya lapisan legitimasi budaya.
  2. Memobilisasi jaringan media dan para analis politik untuk membahas makna simboliknya, sehingga mengalihkan sebagian diskursus dari substansi kebijakan ke interpretasi semiotik.
  3. Menciptakan sebuah narasi tentang keselarasan antara tindakan pemimpin dengan tatanan alam semesta, memperkuat citra pemimpin sebagai sosok yang memiliki kearifan dan legitimasi transenden.
  4. Menstabilkan keyakinan di kalangan pendukungnya dan bahkan sebagian publik bahwa tindakan tersebut “tepat” dan “sudah pada waktunya”.
  5. Memaksa lawan politik untuk merespons di ranah simbolik, bukan hanya di ranah politik pragmatis.

Dengan demikian, “kekuatan” angka tersebut tidak terletak pada esensi mistisnya, melainkan pada kemampuannya yang dapat didemonstrasikan untuk menjalin, memperkuat, dan menstabilkan jaringan relasi. Realitasnya bersifat performatif. Ia menjadi nyata karena efek-efek yang dihasilkannya di dalam jaringan.

Pendekatan ini memungkinkan kita untuk memahami bagaimana tindakan simbolik memiliki kekuatan politik yang riil tanpa harus membuktikan “keyakinan takhayul” dari sang pemimpin. Ia melarutkan biner tradisional antara tindakan rasional dan kepercayaan irasional, dan sebaliknya menunjukkan bahwa keduanya adalah bagian dari satu proses tunggal dalam merakit sebuah tatanan sosial-politik yang dapat berfungsi.

Konstruksi Sosial Negara Simbolik

Bagaimana praktik-praktik simbolik yang dilakukan oleh individu-individu pemimpin ini dapat mengkristal menjadi sebuah realitas politik yang objektif dan diterima secara luas? Jawaban atas pertanyaan ini terletak pada teori konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality), yang dipelopori oleh sosiolog Peter Berger dan Thomas Luckmann. Teori ini, yang secara eksplisit dirujuk oleh Suhardono & Audifax , menyediakan kerangka kerja yang sistematis untuk memahami bagaimana realitas sosial—termasuk realitas politik—dibangun melalui sebuah proses dialektis tiga tahap: eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.

Proses ini dimulai dengan eksternalisasi, di mana individu-individu (dalam hal ini, para pemimpin politik) memproyeksikan makna subjektif mereka ke dunia melalui tindakan dan bahasa. Ketika Presiden Joko Widodo secara konsisten memilih hari Rabu Pahing—sebuah hari yang memiliki makna khusus dalam primbon Jawa—untuk melakukan perombakan kabinet , ia sedang melakukan tindakan eksternalisasi. Ia mengambil sebuah keyakinan dari alam budaya dan mengekspresikannya dalam sebuah tindakan politik yang konkret. Demikian pula, penggunaan slogan seperti “Jokowi adalah kita”  atau pemakaian busana simbolik seperti jaket biru saat mengumumkan kabinet baru adalah bentuk-bentuk eksternalisasi makna.

Tahap kedua adalah objektivasi, di mana produk-produk eksternalisasi ini memperoleh status sebagai realitas objektif yang seolah-olah ada di luar individu yang menciptakannya. Proses ini sebagian besar dimediasi oleh institusi sosial, terutama media massa. Ketika media melaporkan dan menganalisis makna dari “Rabu Pahing”, tindakan tersebut diobjektivasi. Ia tidak lagi hanya menjadi pilihan pribadi presiden, tetapi menjadi sebuah “fakta politik” yang dapat didiskusikan, diperdebatkan, dan diinterpretasikan oleh publik. Ia menjadi bagian dari dunia objektif yang dihadapi oleh masyarakat.

Realitas ini kemudian dilegitimasi lebih lanjut melalui apa yang disebut Berger dan Luckmann sebagai “alam simbolik” (symbolic universes)—sistem kepercayaan, mitologi, dan kearifan tradisional yang memberikan makna tertinggi dan menempatkan “segala sesuatu pada tempatnya”. Dengan menghubungkan perombakan kabinet dengan kosmologi Jawa, tindakan tersebut dilegitimasi dalam sebuah alam simbolik yang lebih luas, membuatnya tampak bukan sebagai manuver politik biasa, melainkan sebagai tindakan yang selaras dengan tatanan yang lebih agung.

Tahap terakhir adalah internalisasi, di mana realitas yang telah diobjektivasi ini diserap kembali oleh individu dan menjadi bagian dari kesadaran subjektif mereka. Melalui sosialisasi yang terus-menerus oleh media dan diskursus publik, masyarakat mulai menerima dan memahami tindakan-tindakan simbolik ini sebagai sesuatu yang bermakna. Mereka menginternalisasi narasi bahwa pemilihan hari tertentu adalah tanda kearifan, bahwa slogan tertentu mencerminkan kedekatan pemimpin dengan rakyat, dan bahwa busana tertentu membawa pesan harapan. Proses ini, yang oleh Suhardono & Audifax disebut sebagai “subjektifikasi” (subjectification), adalah momen di mana individu mengadopsi realitas yang dikonstruksi secara sosial ini sebagai bagian dari identitas mereka sendiri dan cara mereka memahami dunia politik.

Siklus ini menciptakan sebuah putaran yang saling menguatkan (self-reinforcing loop). Semakin sering seorang pemimpin menggunakan simbol, dan semakin intens media dan publik membahasnya sebagai sesuatu yang signifikan, maka semakin “nyata” dan kuat pula realitas simbolik tersebut. Hal ini menciptakan sebuah arena politik di mana kompetensi simbolik menjadi sama pentingnya, atau bahkan lebih penting, daripada kompetensi teknokratis. Para pemimpin dinilai berdasarkan kemampuan mereka untuk menavigasi dan memanipulasi alam simbolik bersama ini.

Akibatnya, pertunjukan otentisitas budaya dapat menjadi pengganti bagi kebijakan yang substantif, dan debat politik bergeser dari ranah rasional-teknis ke ranah simbolik-interpretatif. Inilah mekanisme yang menjelaskan persistensi dan kekuatan politik simbolik di Indonesia, bahkan di tengah arus modernisasi yang deras. Ia bukanlah sisa-sisa masa lalu, melainkan sebuah realitas yang secara aktif dan terus-menerus dikonstruksi dan direproduksi di masa kini.

Menuju Hermeneutika Tata Kelola Hibrida

Analisis terhadap penggunaan numerologi dan simbolisme dalam politik Indonesia mengungkap sebuah kebenaran yang lebih dalam tentang sifat kekuasaan itu sendiri: tata kelola kontemporer di Indonesia adalah sebuah sistem hibrida yang secara inheren memadukan administrasi teknokratis-rasional dengan logika simbolik-intuitif. Upaya untuk membingkai fenomena ini dalam oposisi biner yang sederhana—antara “rasionalitas modern” dan “irasionalitas tradisional”—gagal menangkap dinamika yang sesungguhnya, di mana kedua modus realitas ini tidak saling meniadakan, melainkan hidup berdampingan, saling berinteraksi, dan sering kali saling memperkuat.

Pendekatan yang semata-mata didasarkan pada teori pilihan rasional (rational choice theory) akan kesulitan menjelaskan mengapa simbol-simbol yang secara instrumental tidak efisien terus memainkan peran sentral , sementara pendekatan kulturalis murni berisiko mengabaikan penggunaan simbol yang strategis dan diperhitungkan sebagai alat untuk mencapai tujuan politik.

Buku Suhardono & Audifax (2023) menjadi titik pijak yang krusial dalam menavigasi kompleksitas ini. Konsep kunci mereka tentang “reinterpretasi identitas” (identity reinterpretation) menawarkan jalan ke depan. Sebagaimana identitas individu tidak bersifat statis melainkan terus-menerus ditafsirkan ulang dalam konteks-konteks baru, demikian pula identitas politik Indonesia itu sendiri menuntut sebuah reinterpretasi. Kita harus bergerak melampaui pemahaman bahwa politik simbolik adalah sebuah anomali atau sisa-sisa masa lalu yang akan terkikis oleh modernisasi. Sebaliknya, ia harus dipahami sebagai fitur yang integral dan bertahan dari sebuah bentuk modernitas yang khas, di mana berbagai lapisan realitas—teknokratis, spiritual, budaya—secara aktif dan strategis dirajut menjadi satu.

Oleh karena itu, tantangan bagi para analis politik, pembuat kebijakan, dan masyarakat sipil bukanlah untuk menunggu “yang irasional” menghilang, melainkan untuk mengembangkan perangkat konseptual baru yang mampu memahami fungsi dan logikanya yang berkelanjutan. Hal ini menuntut sebuah hermeneutika baru—sebuah seni atau metode penafsiran—yang mampu membaca tata kelola hibrida ini. Hermeneutika ini harus “bilingual”, fasih dalam bahasa kebijakan dan statistik, sekaligus dalam bahasa simbol, mitos, dan arketipe. Ia harus mampu melacak bagaimana sebuah keputusan kabinet (sebuah fakta teknokratis) dan pemilihan hari Rabu Pahing (sebuah fakta kosmologis) berjalin menjadi satu peristiwa politik tunggal yang koheren.

Para intelektual Indonesia seperti Ignas Kleden telah lama menyuarakan perlunya pendekatan yang bernuansa, yang menghindari penerapan teori-teori Barat secara mentah-mentah dan sebaliknya menekankan pemikiran logis yang jernih, tetapi tetap peka terhadap konteks budaya lokal. Reinterpretasi yang diusulkan di sini sejalan dengan semangat tersebut. Pertanyaan fundamental yang diajukan pada akhirnya bukanlah apakah angka benar-benar bekerja, melainkan realitas politik seperti apa yang sedang dan akan terus kita bangun bersama. Sebagaimana dikatakan oleh Karen Barad, realitas adalah hasil dari “intra-aksi” yang terus-menerus antara berbagai elemen manusia dan nonmanusia. Angka, simbol, dan arketipe dalam politik Indonesia adalah bagian tak terpisahkan dari intra-aksi kompleks yang membentuk masa depan bangsa. Memahami cara kerjanya bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan untuk menavigasi lanskap kekuasaan yang sesungguhnya.

Daftar Referensi

Barad, K. (2007). Meeting the Universe Halfway: Quantum Physics and the Entanglement of Matter and Meaning. Duke University Press.

Berger, P.L. & Luckmann, T. (1966). The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. Anchor Books.

de Bono, E. (1967). The Use of Lateral Thinking. Penguin Books.

Goffman, E. (1956). The Presentation of Self in Everyday Life. University of Edinburgh.

Harari, Y.N. (2015). Homo Deus: A Brief History of Tomorrow. Harvill Secker.

Jung, C.G. (1952). Synchronicity: An Acausal Connecting Principle. Routledge.

Kuhn, T.S. (1962). The Structure of Scientific Revolutions. University of Chicago Press.

Latour, B. (2005). Reassembling the Social: An Introduction to Actor-Network-Theory. Oxford University Press.

Meillassoux, Q. (2008). After Finitude: An Essay on the Necessity of Contingency. Continuum.

Pemberton, J. (1994). On the Subject of “Java”. Cornell University Press.

Suhardono, E. & Audifax. (2023). Membaca Identitas, Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas: Tinjauan Filsafat dan Psikologi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Referensi Tambahan yang Disisipkan

Anderson, B. (1972). The Idea of Power in Javanese Culture. In C. Holt (Ed.), Culture and Politics in Indonesia. Cornell University Press.

Heryanto, A. (2015). Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia. KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

Kaufman, S. J. (2006). “Symbolic Politics or Rational Choice? Testing Theories of Extreme Ethnic Violence”. International Security, 30(4), 45–86.

Kleden, I. (2001). Indonesia sebagai Utopia: Menulis Politik. Pustaka Utama Grafiti.

Mulder, N. (1978). Mysticism and Everyday Life in Contemporary Java. Singapore University Press.

Wahid, A. (2006). Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama, Masyarakat, Negara, Demokrasi. The Wahid Institute.

***

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya berjudul “Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasi di Era Transformasi Sosio- Digital” (Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2025) dan buku yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *