Di banyak ruang pendidikan kita, inklusivitas masih dipahami sebagai toleransi pasif—membiarkan perbedaan hadir tanpa mengganggu. Sekilas tampak damai, tetapi di baliknya tersembunyi jarak yang tak pernah terjembatani. Toleransi semacam ini bukanlah penerimaan, melainkan penghindaran konflik. Ia menciptakan harmoni semu yang rapuh, di mana identitas minoritas tetap berada di pinggiran.
Ki Hadjar Dewantara pernah menulis bahwa pendidikan adalah jalan menuju “keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya”. Keselamatan berarti terbebas dari kebodohan dan ketidakadilan; kebahagiaan berarti mampu menentukan arah hidup sendiri. Maka pendidikan yang memanusiakan bukan hanya mencerdaskan, tetapi juga membebaskan—secara lahiriah dari ketimpangan struktural, dan secara batiniah dari ketakutan serta ketundukan.
Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed (1970), menyebut sistem pendidikan yang menempatkan guru sebagai penabung pengetahuan dan siswa sebagai celengan pasif sebagai “pendidikan gaya bank”. Dalam model ini, siswa hanya menerima, bukan berdialog. Pengetahuan menjadi transaksi satu arah, bukan proses pembebasan. Kritik Freire ini sejalan dengan semangat Ki Hadjar: pendidikan bukan alat kekuasaan, melainkan proses menuntun kodrat anak agar tumbuh sebagai manusia utuh.
Namun dalam praktiknya, sistem pendidikan kita masih terjebak dalam logika penyeragaman. Ujian nasional, kurikulum kaku, dan relasi guru-siswa yang hierarkis memperkuat model gaya bank. Siswa dinilai dari seberapa banyak mereka bisa mengulang informasi, bukan dari seberapa dalam mereka memahami. Ini seperti menilai tanaman hanya dari tinggi batangnya, tanpa memperhatikan akarnya.
Kurikulum Merdeka memang menjanjikan fleksibilitas, tetapi belum sepenuhnya mengubah relasi kuasa di ruang kelas. Guru masih dibebani target administratif, sementara siswa tetap dibayangi ranking dan ujian. Bahkan dalam ruang dialogis, seperti ditunjukkan oleh studi Jodi Kaufmann (2010), kekuasaan tetap beroperasi: siswa dominan cenderung memotong narasi minoritas dengan respons simpatik yang membungkam. Tanpa kesadaran akan dinamika ini, dialog justru memperkuat dominasi.
Inklusi sejati bukan sekadar memberi ruang bicara, tetapi memastikan setiap identitas didengar secara bermakna. Pendidikan harus menjadi arena perjumpaan yang adil, bukan sekadar panggung toleransi.
Kekosongan Kurikulum dan Ancaman Ideologis
Di tengah disrupsi teknologi dan globalisasi, sistem pendidikan kita justru menunjukkan kerapuhan. Kurikulum berganti seperti pakaian: dari KTSP ke Kurikulum 2013, lalu ke Kurikulum Merdeka. Perubahan yang cepat dan tidak berakar membuat sekolah kehilangan arah. Menggunakan teori sensemaking dari Karl Weick, para pendidik sebagai bagian dari “sistem yang terangkai longgar” (loosely coupled system) dipaksa menafsirkan ulang realitas yang terus berubah. Akibatnya, mereka kembali pada praktik mengajar yang paling aman dan familier.
Ketiadaan narasi kurikuler yang koheren dan berlandaskan etika menciptakan kekosongan makna. Ketika kementerian pendidikan dipisahkan dari kebudayaan, pendidikan kehilangan kompas nilai. Dalam kekosongan itu, ideologi yang menawarkan kepastian dan identitas dengan mudah masuk. Data dari Komnas HAM dan PPIM UIN Jakarta menunjukkan bahwa intoleransi dan radikalisme tumbuh subur di kalangan muda urban yang terdidik.
Sekolah, yang seharusnya menjadi benteng multikulturalisme, justru menjadi ladang subur bagi eksklusivisme. Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) sering dipromosikan sebagai solusi, tetapi di lapangan hanya menjadi latihan pencentangan dalam pendidikan karakter. Ia belum menjadi kompas etika yang hidup.
Pendidikan seharusnya membentuk identitas yang kuat, sehat, dan relasional. Melihat perbedaan sebagai sumber pertumbuhan, bukan sebagai ancaman. Tanpa itu, pendidikan hanya menjadi alat reproduksi sosial, bukan transformasi.
Inklusi Kritis: dari Kursi Tambahan ke Meja Sendiri
Wajah ketiga dari krisis ini adalah cara kita memperlakukan anak-anak dengan kebutuhan khusus, latar budaya minoritas, dan identitas non-mainstream. Kebijakan pendidikan inklusif kita, meski mulia dalam niat, secara filosofis masih berakar pada paradigma asimilatif. Anak-anak “berbeda” didorong untuk menyesuaikan diri dengan sistem “normal” yang sudah ada. Ini menciptakan hierarki antara pusat dan pinggiran, antara yang dianggap “layak” dan yang “menyimpang”.
Di lapangan, sekolah inklusi sering kali hanya menerima siswa dengan disabilitas ringan. Sistem yang kaku tidak dirancang untuk keragaman. Sumber daya terbatas, pelatihan guru minim, dan kurikulum tidak fleksibel. Akibatnya, inklusi hanya menjadi slogan.
Namun ada harapan. Noble Academy, misalnya, membalik paradigma: bukan anak yang menyesuaikan diri dengan kurikulum, tetapi kurikulum yang disesuaikan dengan anak. Melalui metodologi seperti Passion Project, siswa menjadi subjek pembelajaran. Mereka mengerjakan proyek yang mereka minati, belajar mengatur waktu, berinisiatif, dan menemukan harga diri. Ini adalah inklusi yang akomodatif, bukan asimilatif. Bukan sekadar menyediakan kursi tambahan di meja, tetapi membiarkan setiap anak membangun meja sendiri.
Kita tidak butuh kurikulum baru. Yang kita perlukan adalah sistem yang melakukan metamorfosis berdasarkan tiga pilar konkret:
- Pedagogi Perjumpaan: LPTK harus melatih guru sebagai fasilitator dialog kritis, bukan sekadar pengajar. Guru perlu memahami dinamika kekuasaan di kelas dan menciptakan ruang yang aman bagi semua suara.
- Kurikulum sebagai Kerangka Etis: Pemerintah cukup menetapkan kompetensi utama dan prinsip etis yang ramping, berakar pada Pancasila dan filosofi Ki Hadjar Dewantara. Konten diserahkan kepada sekolah dan komunitas lokal agar relevan dan kontekstual.
- Arsitektur Pemberdayaan: Dibutuhkan pusat sumber daya publik di setiap daerah yang menerapkan prinsip personalisasi dan menjadi laboratorium inovasi pendidikan. Tempat di mana guru, siswa, dan komunitas bisa bereksperimen dan belajar bersama.
Dengan itu, kita bisa mencetak manusia Indonesia yang cerdas, dewasa secara emosional, beretos kerja tinggi, dan merdeka lahir batin. Pendidikan bukan sekadar proses transfer pengetahuan, tetapi proses memanusiakan manusia.
***
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya berjudul “Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasi di Era Transformasi Sosio- Digital” (Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2025) dan buku yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.