Categories
Begini Saja

Mempertanyakan Pahlawan, Merawat Ingatan Bangsa

Setiap kali bangsa ini—bangsa kita—terbelah dalam perdebatan emosional mengenai siapa yang pantas disebut pahlawan, ada sesuatu yang jauh lebih dalam sedang dipertaruhkan daripada sekadar gelar. Riuh rendah wacana penganugerahan gelar pahlawan kepada Soeharto pada November 2025 ini bukanlah pertarungan politik biasa.

Sebagai seseorang yang telah mengamati psikologi bangsa ini selama 40 tahun, saya melihatnya sebagai gejala dari luka ingatan kolektif yang belum kunjung sembuh. Kita sedang menyaksikan pertarungan mendasar: siapa yang berhak mendefinisikan masa lalu kita, dan dengan demikian, mengarahkan ke mana masa depan kita akan berlabuh.

Saat ini, kita menyaksikan benturan dua bingkai narasi (frames) yang mustahil didamaikan:

  1. Narasi Pro-Pahlawan (Manfaat Ekonomi): Bingkai ini, disuarakan oleh figur seperti Bahlil Lahadalia, berfokus murni pada hasil. Argumennya adalah Soeharto “sangat layak” karena jasanya selama 32 tahun, yang mencakup swasembada pangan dan energi, serta capaian “Macan Asia”. Ini adalah narasi konsekuensialis: tujuan (pembangunan) dianggap cukup untuk menutupi cara yang digunakan.
  • Narasi Kontra-Pahlawan (Moral-Legal): Bingkai ini, diusung oleh aktivis seperti Usman Hamid dan LBH Jakarta, berfokus pada proses dan pelanggaran fundamental.Penganugerahan ini dikecam sebagai “skandal politik” dan “bukti konkret” penyimpangan dari mandat Reformasi. Argumennya legal-moral: tindakan tersebut menabrak batas yuridis, khususnya TAP MPR No. XI/MPR/1998, dan menormalisasi kekerasan masa lalu.

Kontroversi ini melampaui pro-kontra. Tindakan semacam ini—baik seruan “jangan lupakan pahlawan” maupun penganugerahan gelar—harus dibaca sebagai “instrumentasi psikopolitik”. Ini bukan sekadar kenangan tulus, melainkan mekanisme pengaturan ingatan kolektif yang strategis, dirancang untuk mengarahkan kesetiaan emosional kita pada narasi tunggal yang diinginkan kekuasaan.

Paradoks yang diidentifikasi dalam analisis psikopolitik menjadi relevan: figur otoritas yang menyerukan ingatan akan pahlawan sering kali memiliki rekam jejak kontroversial yang menuntut “kelupaan” atas aspek lain. Penganugerahan gelar pahlawan kepada Soeharto oleh rezim pimpinan Prabowo Subianto bukanlah sekadar balas jasa. Dalam psikologi kepemimpinan, ini adalah tindakan legitimasi simbolik. Pemimpin menggunakan simbol sejarah yang kuat untuk melegitimasi agenda kontemporer mereka. Dengan “memutihkan” Soeharto, rezim saat ini secara retroaktif “memutihkan” seluruh aparatus Orde Baru. Ini adalah konsolidasi kekuasaan yang dicapai melalui konsolidasi ingatan.

Perdebatan yang membingkai “pembangunan ekonomi” (Bahlil) versus “HAM” (Usman Hamid) adalah pilihan biner yang palsu. Ini adalah taktik psikopolitik efektif: depolitisasi. Isu kejahatan kemanusiaan direduksi menjadi isu administrasi ekonomi. Publik diminta menukar ingatan akan pelanggaran HAM dengan ingatan akan swasembada pangan. Ini adalah warisan berpikir Orde Baru, dan penganugerahan gelar ini adalah upaya menjadikan trade-off palsu tersebut sebagai sejarah resmi.

Bahaya Sejarah yang Tunggal

Untuk memahami mengapa narasi tunggal ini berbahaya, kita perlu membongkar konsep “pahlawan” itu sendiri. Gelar pahlawan bukanlah fakta sejarah yang pasif; ia adalah konstruksi wacana yang sarat kuasa. Ia menciptakan “hierarki tersembunyi” yang mengukuhkan pengorbanan satu kelompok (elite politik-militer) sambil menghapus pengorbanan kelompok marjinal lainnya.

Filsuf Jean-François Lyotard (1979) menyatakan era kita ditandai oleh “ketidakpercayaan terhadap meta-narasi”—narasi besar dan tunggal yang mencoba menjelaskan segalanya. Narasi “Soeharto Pahlawan Pembangunan” adalah meta-narasi agung. Masalahnya, narasi agung ini, dengan kejam, menenggelamkan ribuan “petits récits” (cerita-cerita kecil)—jeritan hening para aktivis LBH yang menuntut keadilan, ingatan keluarga korban Tragedi Mei 1998 dan tahanan politik Pulau Buru, serta trauma lintas generasi keluarga korban 1965.

Cerita-cerita kecil ini adalah ancaman. Kehadiran mereka akan meruntuhkan bangunan logis meta-narasi “Pembangunan”. Oleh karena itu, penganugerahan gelar pahlawan ini adalah perang epistemologis: sebuah upaya negara untuk mendeklarasikan ribuan petits récits ini sebagai “tidak sah”, “tidak relevan”, atau “biasa saja” dalam sejarah nasional.

Di sinilah peringatan filsuf Theodor Adorno, dalam The Authoritarian Personality (1950), menjadi relevan. Kepatuhan buta (blind obedience) pada otoritas dan ketidakmampuan menoleransi ambiguitas moral adalah bibit fasisme. Seruan untuk menerima Soeharto sebagai pahlawan tanpa kritik—dan menganggap kritik sebagai “biasa saja”—adalah edukasi publik yang melatih masyarakat untuk memiliki “kepribadian otoritarian” kolektif. Ia melatih kita mengagungkan otoritas dan menolak ambiguitas. Secara satir, kita “justru mengkhianati semangat kritis” para pahlawan itu sendiri, yang pada masanya adalah “pembangkang terhadap status quo”.

Patriotisme Kritis, Bukan Patriotisme Buta

Apa yang sedang dipromosikan oleh narasi sejarah tunggal ini? Psikologi sosial menyebutnya “patriotisme buta” (blind patriotism).

Kita semua mencintai negeri ini. Namun studi klasik oleh Schatz, Staub, dan Lavine (1999) membedakan dua cara mencintai:17

  1. Patriotisme Buta: Didefinisikan sebagai “loyalitas tanpa kritik” dan “penerimaan mutlak terhadap versi sejarah yang dominan”. Tipe ini berkorelasi negatif dengan pemikiran kritis (critical thinking). Narasi “Soeharto sangat layak” adalah bahan bakarnya.
  • Patriotisme Konstruktif: Didefinisikan sebagai loyalitas yang “memungkinkan ruang untuk evaluasi kritis terhadap masa lalu bangsa untuk perbaikan di masa depan”. Tipe ini berkorelasi positif dengan keterlibatan politik dan pemikiran kritis. Narasi Usman Hamid, yang mengkritik demi menyelamatkan Reformasi, adalah praktiknya.

Dalam konteks Indonesia yang sangat multikultural, patriotisme buta bersifat destruktif. Narasi heroik yang tunggal—misalnya, hanya berfokus pada pahlawan dari kelompok dominan—secara implisit “mengabaikan kontribusi kelompok minoritas”. Ini mengikis kohesi sosial.

Multikulturalisme, dalam konteks ini, harus berfungsi sebagai “strategi epistemologis” aktif untuk “melawan monopoli makna sejarah” oleh penguasa.Kohesi sosial sejati tidak datang dari pemaksaan satu epistemologi (Soeharto pahlawan), tetapi dari negosiasi yang setara di antara epistemologi-epistemologi ini.

Mengapa rezim mendorong patriotisme buta? Studi tentang penggunaan simbol politik menunjukkan bahwa pemimpin cenderung menggunakannya untuk “meningkatkan legitimasi” justru di saat mereka menghadapi “krisis politik yang parah”. Ironisnya, desakan ini bukanlah tanda kekuatan. Itu adalah gejala dari kemungkinan krisis legitimasi. Rezim yang legitimasinya kuat tidak takut pada kritik. Hanya rezim yang rapuh yang menuntut “loyalitas tanpa kritik”.

Menyembuhkan Luka Ingatan, Merajut Masa Depan

Setiap kali kita diminta mengingat, kita harus bertanya: ingatan versi siapa yang kita pelihara, dan kepentingan apa yang dilayani oleh ingatan tersebut? Studi kasus Soeharto jelas menunjukkan ingatan yang sedang dipromosikan adalah ingatan kekuasaan, untuk konsolidasi kekuasaan.

Mengapa perdebatan ini terasa begitu emosional dan personal, bahkan bagi generasi yang tidak hidup di era Orde Baru? Jawabannya terletak pada konsep psikologi trauma, “Postmemory” (Post-Ingatan), yang diperkenalkan oleh Marianne Hirsch. Postmemory adalah trauma yang diwariskan dari generasi yang mengalaminya secara langsung (misal: korban 1965 atau aktivis 1998) ke generasi berikutnya melalui cerita, foto, dan keheningan keluarga.

Penganugerahan gelar pahlawan kepada Soeharto, bagi generasi postmemory ini, bukan sekadar “skandal politik”. Ini adalah tindakan retraumatization kolektif. Ini adalah kekerasan psikologis yang dilakukan negara, yang secara resmi menyangkal dan menertawakan trauma yang diwariskan dalam keluarga mereka. Ini menjelaskan mengapa resistensibegitu kuat dan berakar pada empati yang dalam.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang “berani menghadapi keseluruhan sejarahnya—yang terang dan yang gelap—dengan mata terbuka dan hati yang jujur”. Untuk beralih dari patriotisme buta menuju patriotisme konstruktif, diperlukan solusi yang sistemik dan visioner.

1. Visi Pendidikan: Dari Hafalan Menuju Nalar Kritis

Kita harus beralih dari “pendidikan sejarah” (pasif) menjadi “pendidikan critical thinking sejarah” (aktif).Kurikulum sejarah nasional harus diubah dari hero-centric (menghafal nama) menjadi socio-centric dan problem-centric. Pelajaran sejarah tidak boleh lagi menjadi “monolog yang diwariskan oleh kekuasaan”.

Secara sistemik, ini berarti memasukkan petits récits ke dalam kurikulum resmi. Siswa harus membaca argumen Bahlil Lahadalia bersamaan dengan argumen Usman Hamid dan studi kasus trauma keluarga korban 1965. Ujiannya bukanlah “Siapakah yang benar?”, melainkan “Analisislah mengapa kedua narasi yang bertentangan ini bisa eksis?”. Inilah pendidikan kritis.

2. Visi Politis: Rekonsiliasi Sejati Melalui Kebenaran

Kata “rekonsiliasi” sering dibajak oleh kekuasaan untuk berarti “lupakan dan maafkan”—amnesia kolektif yang dipaksakan. Ini adalah rekonsiliasi palsu.

“Rekonsiliasi Kritis” menuntut kebenaran sebelum rekonsiliasi. Secara konkret, ini berarti melaksanakan mandat TAP MPR XI/1998dan memproses pelanggaran HAM berat masa lalu melalui yudisial, bukan “memutihkannya” dengan gelar pahlawan. Secara sistemik, ini berarti membuka seluruh arsip negara terkait era Orde Baru. Transparansi adalah prasyarat psikologis untuk penyembuhan trauma kolektif.

3. Visi Kultural: “Arsip Digital Ingatan” Kita

Ingatan kolektif, dalam demokrasi yang matang, harus menjadi “hasil negosiasi yang inklusif”. Di era sosio-digital, kita tidak lagi membutuhkan monumen pahlawan yang monolitik.

Visi futurologisnya adalah penciptaan “Arsip Digital Ingatan”—sebuah platform yang didanai negara namun dikelola independen oleh akademisi, seniman, dan perwakilan korban (mirip inisiatif KontraS, tetapi berskala nasional). Di platform ini, petits récitsdapat diunggah oleh publik: surat, memoar, arsip keluarga. Sesuai filsafat Lyotard, platform ini tidak akan memberi tahu mana yang “benar”. Ia akan memetakan konflik ingatan secara visual. Ini adalah public history yang memungkinkan negosiasi makna terjadi secara terbuka.

Kesimpulan

Kontroversi gelar pahlawan untuk Soeharto1 adalah gejala dari luka sejarah yang belum sembuh. Memaksakan “lupa” (amnesia) atau “ingatan tunggal” (pembangunan2 sambil menghapus trauma) adalah kebijakan ingatan yang toksik. Ia hanya akan mewariskan trauma postmemory ini lebih jauh ke generasi mendatang.

Tugas kita sebagai bangsa bukanlah “pandai memilih-milih pahlawan”. Tugas kita adalah menjadi bangsa yang “berani menghadapi keseluruhan sejarahnya—yang terang dan yang gelap—dengan mata terbuka dan hati yang jujur”.

Hanya dengan kejujuran kritis dan empati yang radikal kita dapat beralih dari patriotisme buta yang memecah-belah menuju patriotisme konstruktif yang benar-benar menyatukan.

Daftar Referensi

Kompas.com. 2025. “Soeharto Bakal Diberi Gelar Pahlawan di Tengah Pro dan Kontra”. Diakses 10 November 2025. https://nasional.kompas.com/read/2025/11/10/05291901/soeharto-bakal-diberi-gelar-pahlawan-di-tengah-pro-dan-kontra-hari-ini

Kompas.com. 2025. “Bahlil: Soeharto Sangat Layak Diberi Gelar Pahlawan Nasional”. Diakses 10 November 2025. https://nasional.kompas.com/read/2025/11/09/21471801/bahlil-soeharto-sangat-layak-diberi-gelar-pahlawan-nasional

Kompas.com. 2025. “Aktivis Nilai Pemberian Gelar Pahlawan untuk Soeharto Langgar”. Diakses 10 November 2025. https://nasional.kompas.com/read/2025/11/09/22285521/aktivis-nilai-pemberian-gelar-pahlawan-untuk-soeharto-langgar-mandat

Kompas.com. 2025. “Pro-Kontra Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional”. Diakses 10 November 2025. https://nasional.kompas.com/read/2025/10/24/06505701/pro-kontra-soeharto-diusulkan-jadi-pahlawan-nasional?page=all

Tempo.co. 2024. Pro-Kontra Penghapusan Nama Soeharto dalam TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998. Diakses 10 November 2025. https://www.tempo.co/politik/pro-kontra-penghapusan-nama-soeharto-dalam-tap-mpr-nomor-11-tahun-1998-5097

Raymond R. Ott. 2017. Legitimation And The Leader-Follower Relationship: A Review. A Project Presented to the Faculty of California State University. Diakses 10 November 2025. https://scholarworks.calstate.edu/downloads/dz010q900

Fred M. Hayward and Ahmed R. Dumbuya. 2008. “Political Legitimacy, Political Symbols, and National Leadership in West Africa”. The Journal of Modern African Studies. Cambridge University Press & Assessment. Diakses 10 November 2025. https://www.cambridge.org/core/journals/journal-of-modern-african-studies/article/political-legitimacy-political-symbols-and-national-leadership-in-west-africa/3A93805169F02D6783323B0D274D4DCD

Arif Purnomo and Ganda Febri Kurniawan. 2023. “Politics of Memory and Legitimacy under Indonesia’s New Order and After”. Proceedings of the 1st Joint International Conference on Social and Political Sciences: Challenges and Opportunities in the Future (JICSPS 2023). Atlantis Press. Diakses 10 November 2025. https://www.atlantis-press.com/article/126007795.pdf

Métarécit – Wikipédia. Diakses 10 November 2025. https://fr.wikipedia.org/wiki/M%C3%A9tar%C3%A9cit

Metanarrative – Wikipedia. Diakses 10 November 2025. https://en.wikipedia.org/wiki/Metanarrative

Archimedes Attila P. M and Yuniardi Fadilah. 2024. “Memory Transmission: Political Trauma in the Short Story ‘The Last Night’ by Leila S. Chudori”. Proceedings of Universitas Diponegoro. Diakses 10 November 2025. https://proceedings.undip.ac.id/index.php/icocas/article/download/803/562

Ahmad Abdul Karim, Natanael Ricky Putra, Nurlina Amiruddin, Agung Rizki Juwi Handoko, Maylia Vinda Ekklesia, Nissa Vidyanita.. 2025. “Traumatic Memory and Family Dynamics of Political Prisoners in Leila S. Chudori’s Namaku Alam”. Jurnal Poetika, Vol. 13, No. 1, June 2025. ResearchGate. Diakses 10 November 2025. https://www.researchgate.net/publication/393231372_Traumatic_Memory_and_Family_Dynamics_of_Political_Prisoners_in_Leila_S_Chudori’s_Namaku_Alam

CNN Indonesia. 2025. “Bahlil soal Penolakan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional: Biasa Saja”. CNNIndonesia.com. Diakses 10 November 2025. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20251106164208-20-1292695/bahlil-soal-penolakan-soeharto-jadi-pahlawan-nasional-biasa-saja

PsychStory. 2025. The Authoritarian Personality. Social Influence. Psychstory.co.uk. Diakses 10 November 2025. https://www.psychstory.co.uk/social-influence/the-authortarian-personality

Theodor W. Adorno – Wikipedia. Diakses 10 November 2025. https://en.wikipedia.org/wiki/Theodor_W._Adorno

Robert T. Schatz, Ervin Staub, Howard Lavine. 2003. “On the Varieties of National Attachment: Blind Versus Constructive Patriotism”. Political Psychology 20(1):151 – 174. Request PDF. Diakses 10 November 2025. https://www.researchgate.net/publication/227739541_On_the_Varieties_of_National_Attachment_Blind_Versus_Constructive_Patriotism

Mehmet Melik Kaya. 2022. “Blind patriotism is out and constructive patriotism is in: Critical thinking is the key to global citizenship”.  Journal of Social Studies Education Research. 2022: 13 (2), 103-124. ERIC. Diakses 10 November 2025. https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ1355462.pdf

Okta Hadi Nurcahyono. 2018. “Pendidikan Multikultural di Indonesia: Analisis Sinkronis Dan Diakronis”. Habitus: Jurnal Pendidikan, Sosiologi dan Antropologi, Vol. 2 No.1 Maret 2018 p.105-115. Diakses 10 November 2025. https://jurnal.uns.ac.id/habitus/article/download/20404/15840

Kontras. 2024. Diskusi Publik #MeiLawan: “Jalan Buntu Penuntasan Penghilangan Paksa di Indonesia”. Kontras.org. Diakses 10 November 2025. https://kontras.org/aktivitas/diskusi-publik-meilawan-jalan-buntu-penuntasan-penghilangan-paksa-di-indonesia

Bambang Alfred Sipayung. 2011. Exiled Memories: The Collective memory of Indonesian 1965 exiles. Institute of Social Studies. Diakses 10 November 2025. https://thesis.eur.nl/pub/10793/20111115_final-research-paper-bambang.pdf

***

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya berjudul “Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasi di Era Transformasi Sosio- Digital” (Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2025) dan buku yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *