Kasus korupsi yang melibatkan Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto telah menjadi titik simpul kontroversi tajam di ranah hukum dan politik Indonesia. Vonis penjara masing-masing 4,5 tahun dan 3,5 tahun, kemudian diikuti dengan keputusan presiden memberikan abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto, telah memicu perdebatan luas mengenai politisasi hukum versus penegakan hukum murni.
Esai ini mengembangkan analisis kritis dan reflektif dari perspektif psikologi politik dan transitional justice guna memahami dinamika sosial dan institusional yang melingkupi kasus ini. Sebagai penutup, disodorkan konklusi yang menantang paradigma umum.
Polarisasi Narasi dan Psikologi Politik
Perseteruan narasi antara kubu yang menyebut kasus ini sebagai politisasi versus yang menilai sebagai penegakan hukum murni sangat kental berdasarkan psikologi politik. Teori identitas sosial oleh Tajfel dan Turner (1986) menjelaskan bahwa kelompok-kelompok politik membangun dan mengokohkan identitasnya melalui bias konfirmasi, yaitu kecenderungan mencari dan menafsirkan fakta yang menguatkan pandangan kelompoknya.
Dalam konteks kasus ini, kubu yang skeptis melihat waktu pengusutan yang terkesan lambat, serta pemberian abolisi dan amnesti oleh Presiden Prabowo Subianto pasca vonis, sebagai bukti politisasi yang ditujukan untuk kompromi politik pragmatis jelang HUT RI ke-80. Sebaliknya, kubu pendukung sistem peradilan menempatkan fokus pada putusan pengadilan tipikor yang menegaskan bukti dan prosedur hukum telah dipenuhi tanpa intervensi.
Psikologi kolektif masyarakat Indonesia juga mengalami dilema antara keinginan memperoleh keadilan substansial dengan kebutuhan menjaga stabilitas sosial-politik. Bar-Tal, Halperin, dan de Rivera (2007) mengemukakan bahwa konflik kolektif memicu emosi bersama yang dapat menimbulkan ketidakpercayaan terhadap institusi, sekaligus keinginan meredam konflik demi kohesi sosial.
Kesimpulan bahwa pemberian amnesti dan abolisi bertujuan menjaga persatuan nasional memperlihatkan kompromi nilai antara keadilan dan perdamaian, meski memicu skeptisisme publik dan pegiat antikorupsi terbesar. Menurut Hughes (2023) ini melahirkan retorika kritis tentang potensi runtuhnya “rule of law” digantikan oleh “rule by law”, kondisi di mana hukum dipakai sebagai alat kekuasaan, bukan instrumen keadilan.
Transitional Justice dan Hambatan Institusional
Dalam kerangka transitional justice, kasus ini mencerminkan problematika besar dalam upaya memperbaiki masa lalu yang kelam dan reformasi kelembagaan di Indonesia. Konsep transitional justice meliputi empat pilar utama: pencarian kebenaran (truth-seeking), pengadilan, reparasi, dan reformasi institusi. Namun, pelaksanaan mekanisme itu sulit dikerjakan secara simultan dan tuntas karena hambatan struktural, seperti keterkaitan elit politik dan militer dengan sistem peradilan serta resistensi terhadap transparansi (Saibih et al., 2023).
Pemberian abolisi dan amnesti bagi kasus korupsi adalah fenomena langka yang menyulitkan legitimasi keadilan transisional. Pengampunan tersebut secara formal legal dan sah melalui persetujuan DPR, tetapi menimbulkan dilema etis serius karena berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi dan menimbulkan impresi impunitas.
Dalam praktik transitional justice, keberhasilan bergantung pada komitmen institusi untuk mengadili pelanggaran tanpa diskriminasi politik, sebuah hal yang masih menjadi tantangan besar di Indonesia. Hambatan-hambatan ini memberi ruang politisasi hukum dan kompromi politik dalam proses peradilan, yang pada akhirnya dapat menghambat reformasi kelembagaan yang seharusnya memperkuat supremasi hukum.
Menembus Pola Lama: Konklusi yang Unthinkable
Melampaui pandangan yang hanya melihat kasus ini dari sudut pandang politisasi versus penegakan hukum, kita perlu memahami bahwa keberlangsungan pemberantasan korupsi di Indonesia juga sangat bergantung pada transformasi psikologis kolektif dan reformasi institusional mendalam.
Pertama, kasus ini adalah medan peperangan memori kolektif dan simbolisme politik, di mana hukum digunakan sebagai alat untuk memperbaiki narasi identitas nasional dan kekuasaan. Tanpa dialog nasional yang inklusif dan pengakuan kebenaran secara transparan, polarisasi psikologis dan sosial akan terus menjadi akar ketidakpercayaan publik terhadap sistem hukum (Jost, 2017).
Kedua, agar keadilan transisional berhasil, perlu ada pendekatan restoratif yang menempatkan korban dan masyarakat sebagai pusat reformasi hukum korupsi. Ini berarti keadilan bukan hanya soal hukuman bagi pelaku, tetapi juga rekonsiliasi budaya, transparansi prosedur, dan pendidikan politik yang mengubah norma sosial terkait korupsi dan legitimasi kekuasaan (Braithwaite, 2002).
Ketiga, inovasi institusional perlu didorong melalui pengadilan hibrida yang melibatkan lembaga nasional dan pengawasan masyarakat sipil serta lembaga internasional sebagai pengawas. Mekanisme ini berpotensi mengurangi politisasi internal dan meningkatkan transparansi serta akuntabilitas secara substansial.
Konklusi ini menuntut keberanian untuk mengakui bahwa solusi hukum formal saja tidak cukup. Transformasi psikologis kolektif dan reformasi struktural yang radikal adalah kunci agar siklus polarisasi narasi, politisasi hukum, dan kompromi politik yang merugikan pemberantasan korupsi dapat dihentikan dan diganti dengan sistem keadilan demokratis dan berkelanjutan.
Daftar Referensi
International Center for Transitional Justice & KontraS. (2011). Derailed: Transitional Justice in Indonesia since the Fall of Soeharto. https://www.ictj.org/sites/default/files/ICTJ-Kontras-Indonesia-Derailed-Report-2011-English_0.pdf
Saibih, J., Danil, E., Warman, K., & Mulyati, N. (2023). “The Analysis of Transitional Justice Initiatives and The Flaw of Prosecution on the Past Human Rights Violation in Indonesia”. International Journal of Indonesian Law, 17(2). https://scholarhub.ui.ac.id/cgi/viewcontent.cgi?article=1627&context=ijil
Hughes, R. (2023). “Human Rights and Corruption in Settling the Accounts of the Past”. World Development. https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2023.106000
Tajfel, H., & Turner, J.C. (1986). “The social identity theory of intergroup behavior. In S. Worchel & W.G. Austin (Eds.)”, Psychology of Intergroup Relations (pp. 7-24). Chicago: Nelson-Hall.
Bar-Tal, D., Halperin, E., & de Rivera, J. (2007). “Collective Emotions in Conflict Situations: Societal Implications”. Journal of Social Issues, 63(2), 441–460. https://doi.org/10.1111/j.1540-4560.2007.00522.x
Jost, J.T. (2017). “Ideological Asymmetries and the Essence of Political Psychology”. Political Psychology, 38, 167-208. https://doi.org/10.1111/pops.12307
Braithwaite, J. (2002). Restorative Justice and Responsive Regulation. Oxford University Press. Available via open access sources.
CNN Indonesia. (2025, July 31). Apa Pertimbangan Prabowo Beri Abolisi Tom Lembong dan Amnesti Hasto? https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250801060619-32-1257417/apa-pertimbangan-prabowo-beri-abolisi-tom-lembong-dan-amnesti-hasto
Bloomberg Technoz. (2025, August 1). Pengamat Kritik Keputusan Pembebasan Hasto dan Tom Lembong. https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news/79198/pengamat-kritik-keputusan-pembebasan-hasto-dan-tom-lembong/2
***
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya berjudul “Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasi di Era Transformasi Sosio- Digital” (Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2025) dan buku yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.