Aku masih teringat kejadian awal bulan lalu. Pak Stanley menelepon dengan suara terbata-bata, “Pak Edy, Peter ngadat lagi, tak sekolah, mengunci kamarnya sejak kemarin pagi; dan sekarang; mengancam mau bunuh diri! Saya kira ia cuman kasih gertak sambal, ternyata isteri saya tidak menemukan satu pun dari lima pisau dapur yang kami punya. Bagaimana ini, Pak? Apapun kata Bapak, saya akan kerjakan sekarang. Harus bagaimana saya, Pak Edy?”
Sangat gawat! Aku berpikir keras, apa yang terjadi dengan Peter? Masih adakah rentetan kejadian ini dengan kasus dia tiga bulan lalu?
Kedua orangtuanya memang “over-demanding” terkait soal prestasi akademik Peter yang masih duduk di kelas dua SMP itu. Betapa tidak, Pak Stanley adalah profesor doktor di suatu bidang langka yang beberapa karya penelitiannya banyak dirujuk di kalangan ilmuwan, di kawasan se-Asia-Pasifik. Sedang Bu Ida, mama Peter, adalah seorang peneliti senior di sebuah lembaga penelitian nasional di ibukota.
“Pak Stanley, ada kejadian apa sebelum akhirnya Peter tak mau keluar dari kamar?” tanyaku menyelidik sekaligus berusaha meredakan kepanikannya.
“Tayangan ulang, Pak Edy. Pagi-pagi, sebelum berangkat sekolah, ia emoh sarapan, malah main game. Mamanya meradang. Tanpa “ba-bi-bu”, ia langsung melepas colokan listrik yang berhubungan dengan komputer yang sedang dipakai main game Peter. Peter langsung menutup pintu kamarnya keras-keras dan menguncinya dari dalam. Apa yang harus kami lakukan sekarang, Pak Edy? Katakan, Pak!” ungkapnya nerocos meski terbata-bata.
“Baik, Pak Stanley. Saya minta Bu Ida membeli satu CD game yang Peter belum punya. Rapikan koleksi CD game Peter, pak masing-masing CD pada sampulnya, ketuk pintu kamar Peter, dan katakan kepadanya, ‘Peter, mama belikan game baru. Ajarin mama, dong.
“Apa? Mamanya harus belajar main game? What’s your explanation, Mr. Edy? It will be so strange for me,” celoteh Pak Stanley seolah mengigau, “but, never mind. I will do what you suggest us to do. Thanks a lot, Mr. Edy,” akhirnya ia mengiakan dan mengakhiri kontak teleponnya.
Siang kemarin, Pak Stanley dan Bu Ida datang ke ruang konsultasi setelah mem-booking jadual konsultasi dua hari sebelumnya.
“Kejadian-kejadian dramatis dan kronis di keluarga kami tidak muncul lagi, Pak Edy. Kami mengucapkan banyak terima kasih, meski melalui kedatangan ini kami mau meminta penjelasan, mengapa Pak Edy menyarankan ‘ide aneh’ itu,” kata Pak Stanley membuka pembicaraan.
“Bisa sedikit diceritakan, apa reaksi Peter saat Bu Ida mengetuk pintu dan memintanya untuk mengajari main game?” aku balik bertanya sebelum menjawab pertanyaan Pak Stanley.
“Kalau saya menceritakan kejadian itu, saya…,” bu Ida menyahut sambil berlinang air mata, “hati saya runtuh berkeping-keping, Pak Edy. Peter memeluk saya, saya mendekapnya seperti saat ia masih bayi berumur setahun. Luar biasa! Saya sulit mengungkapkannya,” tutur Bu Ida sembari tersedak menahan perasaan harunya.
“Jadi, kenapa efek dari ajakan mamanya bisa begitu, Pak Edy?” Pak Stanley menukas tak sabaran.
“Pak Stanley, Bu Ida, senang saya mendengar kabar perkembangan terakhir Peter. Pada konsultasi terakhir kita mendiskusikan, bagaimana implementasi dari profil kecerdasan Peter. Dengan kecerdasan Logika Matematika, Spasial dan Intrapersonalnya yang sangat dominan, ia cenderung menyerap informasi lewat cara-cara strategik, gamik, dan serba well-accomplished,” aku berhenti sesaat, “
“maka, wajar kalau ia menolak diultimatum, diintimidasi, ditakut-takuti, dipaksa melakukan, apalagi diintervensi. Baginya tidaklah masuk akal bahwa orang-orang lain, termasuk orang-orang dekatnya, melarang, mengarahkan, dan membuatkan keputusan, sementara mereka tidak memahami dan menyelami apa yang sedang ia lakukan. Dengan Bu Ida mau bermain game bersamanya, bagi Peter Bu Ida menjadi pribadi yang pantas memberikan pendapat tentang hal yang dipahami bersama. Dengan melepas colokan listrik, sementara Bu Ida tidak mau menyelami apa yang sedang ia hayati, Bu Ida menjadi bukan orang yang ia ijinkan berpendapat; apalagi Bu Ida melakukan “sabotase” sebagaimana bangsa Barbar menyerang kerajaan Romawi. Ha ha ha,” jelasku. (ES)
sumber foto: theatlantic.com
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di laman MayaAksara.com