Pada 23 Oktober 2025, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan bahwa Bahasa Portugis akan menjadi prioritas dalam kurikulum pendidikan nasional. Pernyataan ini disampaikan dalam pertemuan bilateral dengan Presiden Brasil sebagai bentuk penghormatan terhadap hubungan diplomatik kedua negara. “Ini bukti bahwa kami memandang Brazil sangat penting,” ujar Presiden (Kompas, 2025). Namun, keputusan tersebut memicu perdebatan publik yang tajam: apakah ini langkah strategis dalam diplomasi budaya atau justru blunder pedagogis yang mengabaikan kebutuhan pendidikan nasional?
Bahasa, dalam kerangka politik, bukan sekadar alat komunikasi, melainkan instrumen diplomasi dan simbol aliansi (Phillipson, 1992). Dalam konteks ini, pengutamaan Bahasa Portugis tampak sebagai gestur simbolik yang ingin menegaskan pentingnya hubungan Indonesia-Brasil. Namun, jika ditinjau dari perspektif kebijakan publik berbasis bukti, gestur ini tampak lebih sebagai sandiwara diplomatik daripada strategi pendidikan yang rasional.
Jika pengajaran bahasa asing didasarkan pada logika ekonomi, maka Bahasa Portugis bukanlah pilihan yang paling strategis. Data Badan Pusat Statistik (2023) menunjukkan bahwa Indonesia mengalami defisit perdagangan sebesar USD 3,7 miliar dengan Brasil. Sementara itu, volume perdagangan dengan Portugal relatif kecil, dengan investasi hanya USD 1,65 juta pada 2021. Bandingkan dengan Amerika Serikat dan India, yang masing-masing mencatat surplus perdagangan lebih dari USD 14 miliar.
Fraksi PDIP di DPR menyarankan agar Bahasa Mandarin diprioritaskan karena relevansi ekonominya jauh lebih tinggi (Kompas, 2025b). Kritik ini mencerminkan pendekatan pragmatis yang mempertimbangkan kepentingan nasional secara lebih komprehensif. Tanpa dukungan data ekonomi yang kuat, pengutamaan Bahasa Portugis tampak sebagai keputusan yang lahir dari diplomasi simbolik, bukan kebutuhan strategis.
Beban Kognitif dan Disorientasi Pedagogis
Dampak kebijakan ini terhadap proses belajar mengajar juga patut dikritisi. Teori Beban Kognitif (Sweller, 1988) menjelaskan bahwa memori kerja manusia memiliki kapasitas terbatas. Ketika siswa dihadapkan pada materi baru yang kompleks, seperti struktur gramatikal dan fonologi Bahasa Portugis, beban kognitif intrinsik meningkat. Jika guru tidak memiliki kompetensi yang memadai, maka beban kognitif ekstrinsik juga akan melonjak, mengganggu efektivitas pembelajaran.
Studi oleh Paas dan van Merriënboer (1994) menunjukkan bahwa beban kognitif yang berlebihan dapat menurunkan performa siswa dalam mata pelajaran inti seperti Matematika dan Sains. Dalam konteks Indonesia, di mana kualitas pengajaran bahasa asing masih menghadapi tantangan struktural, pengenalan Bahasa Portugis berisiko menciptakan disorientasi pedagogis yang merugikan siswa dan guru.
Cara kebijakan ini diumumkan menunjukkan lemahnya proseduralisme dalam tata kelola pendidikan. Idealnya, kebijakan publik mengikuti tahapan logis: identifikasi masalah, penyusunan agenda, formulasi alternatif, adopsi, implementasi, dan evaluasi (Dunn, 2017). Namun, kebijakan Bahasa Portugis tampak melompati tiga tahap pertama, muncul sebagai keputusan top-down dari pucuk pimpinan.
Pengamat pendidikan Retno Listyarti menyatakan bahwa “kebijakan pendidikan tidak bisa didasarkan hanya pada kemauan presiden” (Kompas, 2025). Pola ini melanjutkan tradisi “ganti rezim, ganti kurikulum” yang menciptakan instabilitas dan kelelahan kebijakan di kalangan pendidik. Tanpa partisipasi publik dan kajian multidisiplin, kebijakan ini berisiko menjadi simbol diplomatik yang cacat secara prosedural dan berbahaya secara pedagogis.
Politik Bahasa dan Krisis Identitas Nasional
Bahasa adalah medium konstruksi identitas. Ketika negara memprioritaskan bahasa asing dalam kurikulum, pesan implisit yang dikirimkan adalah bahwa bahasa leluhur kurang bernilai. Kajian vitalitas bahasa oleh Badan Bahasa (2017) menunjukkan bahwa 11 bahasa daerah telah punah, 4 berstatus kritis, dan 19 lainnya terancam punah. Ini menciptakan paradoks identitas: di satu sisi pemerintah mengklaim komitmen terhadap Bhinneka Tunggal Ika, tetapi di sisi lain mengabaikan pelestarian bahasa daerah.
DPR telah memperingatkan bahwa kebijakan bahasa asing harus tetap menjaga prioritas Bahasa Indonesia dan bahasa daerah sebagai identitas bangsa (Kompas, 2025). Tanpa strategi revitalisasi yang konkret, pengutamaan Bahasa Portugis justru mempercepat erosi identitas linguistik nasional.
Pengalaman India dengan Formula Tiga Bahasa menunjukkan kompleksitas politik bahasa dalam negara multikultural. Kebijakan tersebut memicu resistensi politik dan beban belajar yang tidak seimbang (Annamalai, 2001). Indonesia perlu belajar dari pengalaman ini: pengenalan bahasa asing harus mempertimbangkan kapasitas sistem pendidikan, relevansi strategis, dan dampak terhadap identitas nasional.
Untuk menghindari dampak negatif jangka panjang, beberapa langkah konkret perlu segera diambil:
- Moratorium dan Kajian Komprehensif: Pemerintah harus menunda implementasi kebijakan ini dan membentuk tim ahli multidisiplin untuk mengkaji biaya dan manfaat pengajaran Bahasa Portugis.
- Revitalisasi Bahasa Daerah: Alihkan sumber daya dari proposal ini ke program darurat nasional untuk merevitalisasi bahasa-bahasa daerah yang terancam punah.
- Penguatan Bahasa Strategis: Fokuskan energi pada peningkatan kualitas pengajaran Bahasa Indonesia dan bahasa asing yang memiliki kepentingan global yang jelas, seperti Bahasa Inggris dan Mandarin.
Kebijakan bahasa adalah cerminan jiwa bangsa. Ruang kelas bukan panggung diplomasi, melainkan tempat memelihara akal budi dan identitas kolektif. Bahasa Portugis, dalam bentuk kebijakan saat ini, adalah simbol yang terlalu mahal untuk ditanggung oleh generasi muda Indonesia.
Daftar Referensi:
Annamalai, E. (2001). Managing Multilingualism in India: Political and Linguistic Manifestations. SAGE Publications.
Badan Bahasa (2017). Pemetaan Vitalitas Bahasa Daerah di Indonesia 2011–2017. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Badan Pusat Statistik. (2023). Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Diakses 27 Oktober 2025. https://www.bps.go.id.
Dunn, W. N. (2017). Public Policy Analysis: An Integrated Approach (6th ed.). Routledge.
Kompas.com. (2025). “Prabowo minta menteri masukkan Bahasa Portugis ke kurikulum sekolah dan kampus”. Kompas.com, 23 Oktober 2025. Diakses 27 Oktober 2025. https://www.kompas.com/edu/read/2025/10/23/173948371/prabowo-minta-menteri-masukkan-bahasa-portugis-ke-kurikulum-sekolah-dan.
Kompas.com. (2025). “Hubungan Indonesia-Brasil makin spesial, Bahasa Portugis masuk kurikulum”. Kompas.com, 25 Oktober 2025. Diakses 27 Oktober 2025. https://nasional.kompas.com/read/2025/10/25/09340031/hubungan-indonesia-brasil-makin-spesial-bahasa-portugis-masuk-kurikulum.
Kompas.com. (2025). “Komisi X DPR: Kalau Bahasa Portugis masuk sekolah, siapa yang ngajar?”. Kompas.com, 27 Oktober 2025. Diakses 27 Oktober 2025. https://www.kompas.com/edu/read/2025/10/27/123537471/komisi-x-dpr-kalau-bahasa-portugis-masuk-sekolah-siapa-yang-ngajar.
Kompas.com. (2025). “Perlukah Bahasa Portugis jadi prioritas di pendidikan Indonesia? Ini kata pengamat”. Kompas.com, 26 Oktober 2025. Diakses 27 Oktober 2025. https://www.kompas.com/edu/read/2025/10/26/183948771/perlukah-bahasa-portugis-jadi-prioritas-di-pendidikan-indonesia-ini-kata.
Kompas.com. (24 Oktober 2025). “Soal pelajaran Bahasa Portugis, anggota DPR minta Bahasa Indonesia dan daerah tetap jadi prioritas”. Kompas.com, 24 Oktober 2025. Diakses 27 Oktober 2025. from https://nasional.kompas.com/read/2025/10/24/11051001/soal-pelajaran-bahasa-portugis-anggota-dpr-minta-bahasa-indonesia-dan-daerah
Paas, F., & van Merriënboer, J. J. G. (1994). “Instructional control of cognitive load in the training of complex cognitive tasks”. Educational Psychology Review, 6(4), 351–371. https://doi.org/10.1007/BF02213420
Phillipson, R. (1992). Linguistic Imperialism. Oxford University Press. Sweller, J. (1988). “Cognitive load during problem solving: Effects on learning”. Cognitive Science, 12(2), 257–285. https://doi.org/10.1207/s15516709cog1202_4.
***
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya berjudul “Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasi di Era Transformasi Sosio- Digital” (Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2025) dan buku yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.