Ketika Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) menyatakan bahwa meritokrasi di tubuh TNI telah rusak di era Jokowi dan makin keliru di era Prabowo, mereka bukan sekadar mengkritik prosedur. Mereka sedang menyalakan api perdebatan tentang masa depan institusi pertahanan yang seharusnya menjadi benteng terakhir integritas nasional.
Meritokrasi, secara ideal, adalah sistem yang menjunjung tinggi prestasi dan kompetensi. Namun, seperti diingatkan oleh Michael Sandel dalam The Tyranny of Merit (2020), sistem ini bisa menjadi tirani ketika digunakan untuk menutupi ketimpangan struktural. Ia menciptakan ilusi bahwa siapa pun bisa sukses jika berusaha keras, padahal titik awal dan hambatan sistemik sering kali tak terlihat.
Dalam tubuh TNI yang sangat hierarkis, meritokrasi semu ini berkelindan dengan kultur senioritas dan politisasi. Peraturan Panglima TNI Nomor 40 Tahun 2018 menetapkan Masa Dinas Perwira (MDP) sebagai dasar promosi reguler. Sistem ini memberikan prediktabilitas dan stabilitas. Namun, ketika muncul mekanisme seperti “Kenaikan Pangkat Reguler Percepatan” (KPRP) yang tidak dikenal dalam regulasi, meritokrasi berubah menjadi dalih untuk melanggengkan patronase.
Klaim “prestasi luar biasa” menjadi alat legitimasi yang ambigu. Tanpa heroisme tempur yang kasat mata atau inovasi strategis yang tak terbantahkan, promosi yang melompati linimasa normal akan dipersepsikan sebagai favoritisme. Meritokrasi yang seharusnya menjadi antitesis dari nepotisme justru menjadi topengnya yang paling efektif.
Dampak paling merusak dari politisasi berkedok meritokrasi bukanlah pada citra publik, melainkan pada jiwa prajurit. Ketika aturan main yang jelas diterabas oleh mekanisme abu-abu, ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini adalah pengkhianatan institusional yang melahirkan “luka moral”—penderitaan psikologis dan spiritual akibat pelanggaran nilai oleh institusi yang dipercaya.
Luka ini menghancurkan dua pilar utama efektivitas militer: kohesi vertikal (kepercayaan pada komandan) dan kohesi horizontal (solidaritas antarrekan). Ketika promosi tidak lagi mencerminkan dedikasi dan kompetensi, melainkan kedekatan politik, maka pengorbanan kehilangan makna. Sinisme tumbuh, dan perwira ambisius lebih fokus pada lobi daripada keunggulan profesional.
Politik, Senioritas, dan Regresi Demokrasi
Fenomena ini bukanlah insiden tunggal. Ia adalah bagian dari regresi demokrasi dalam hubungan sipil-militer. Reformasi 1998 berusaha menghapus Dwifungsi ABRI dan menegakkan supremasi sipil. Namun, dua dekade kemudian, kita menyaksikan kembalinya militer ke ranah sipil melalui jalur yang lebih subtil: penempatan perwira aktif dan purnawirawan di jabatan strategis sipil, dari kementerian hingga komisaris BUMN.
Ini bukan lagi kontrol militer terhadap sipil, melainkan kontrol sipil subjektif—di mana elite politik menarik militer ke dalam arena kekuasaan demi citra dan kapasitas organisasional. Sebagai imbalan, terbuka jalur karier nontradisional bagi figur militer yang memiliki koneksi politik. Batas antara domain sipil dan militer pun kembali kabur.
Fenomena ini menandai kemunduran demokrasi melalui relasi simbiosis yang baru. Elite politik “menggoda” dan “mengundang” militer ke ranah sipil, dan sebagai imbalannya, terbukalah jalur-jalur karier yang tidak berbasis kompetensi, melainkan koneksi. Akibatnya, profesionalisme TNI terancam oleh politisasi yang merusak.
Praktik ini menciptakan sistem karier jalur ganda: jalur lambat berbasis aturan untuk mayoritas, dan jalur cepat yang buram untuk segelintir orang. Ini menihilkan esensi meritokrasi dan menumbuhkan ketidakpercayaan. Dalam jangka panjang, sistem ini akan mengikis profesionalisme dan mengubah TNI dari institusi pertahanan menjadi arena kompetisi politik.
Jalan Pemulihan
Untuk menyembuhkan luka ini, diperlukan langkah sistemik:
Pertama, Benteng Legislatif berupa revisi UU No. 34/2004 tentang TNI harus dilakukan. Promosi percepatan harus diatur setingkat Peraturan Pemerintah agar akuntabel dan diawasi publik. Penempatan prajurit aktif di jabatan sipil harus dibatasi secara ketat.
Kedua, Kontrol Sipil Demokratis, di mana Kementerian Pertahanan harus membangun sistem manajemen talenta perwira yang transparan. Belajar dari reformasi militer di Chile dan Korea Selatan, kontrol sipil atas promosi harus diperkuat untuk mencegah politisasi.
Ketiga, Reformasi Internal TNI. Dalam hal ini pimpinan TNI harus menegaskan kembali bahwa MDP/MDDP adalah dasar promosi reguler. Promosi luar biasa hanya untuk tindakan kepahlawanan yang nyata. Transparansi Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti) harus ditingkatkan.
Jika meritokrasi telah berubah menjadi alat kekuasaan, dan senioritas menjadi tameng stagnasi, maka pertanyaannya bukan lagi “Siapa yang naik pangkat?”, melainkan “Apa yang sedang kita pertahankan?”. Apakah kita masih menjaga TNI sebagai benteng profesionalisme, atau telah menjadikannya cermin dari politik yang kita kritik?
Jawabannya terletak pada keberanian untuk menolak kenyamanan prosedural dan menuntut keadilan substantif. Karena pangkat bukan sekadar simbol, melainkan janji kepada republik. Dan janji itu harus ditepati bukan oleh bisikan kekuasaan, melainkan oleh suara pengabdian.
Daftar Referensi:
Barany, Z. (2012). The Soldier and the Changing State: Building Democratic Armies in Africa, Asia, Europe, and the Americas. Princeton University Press.
Bukamata.co. (2025). “KMS Nilai Bobroknya Meritokrasi di Tubuh TNI”. Diakses 8 Oktober 2025. https://bukamata.co/politik/501314443/kms-nilai-bobroknya-meritokrasi-di-tubuh-tni-dirusak-dizaman-jokowi-tambah-keliru-di-era-prabowo.
Feaver, P. D. (1999). Civil-Military Relations and the Problem of Agency. Armed Forces & Society.
JDIH TNI. (2018). Peraturan Panglima TNI No. 40 Tahun 2018. Diakses 8 Oktober 2025. https://jdih.tni.mil.id
Sandel, M. J. (2020). The Tyranny of Merit: What’s Become of the Common Good?. Harvard University Press.
JDIH Kementerian Pertahanan. (2004). Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Diakses 8 Oktober 2025. https://jdih.kemhan.go.id
Young, M. (1958). The Rise of the Meritocracy. Penguin Books.
***
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya berjudul “Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasi di Era Transformasi Sosio- Digital” (Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2025) dan buku yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.