Perdebatan publik dan hukum mengenai syarat pendidikan bagi calon anggota legislatif kembali menggema. Gugatan uji materi di Mahkamah Konstitusi menuntut agar syarat minimal pendidikan bagi wakil rakyat dinaikkan dari Sekolah Menengah Atas (SMA) menjadi Sarjana (S1). Tuntutan ini lahir dari keresahan yang tulus: keyakinan bahwa rendahnya kualitas legislasi dan maraknya pernyataan kontroversial dari Senayan berakar pada standar pendidikan yang dianggap terlalu longgar.
Namun, di tengah deru tuntutan ini, tersembunyi sebuah paradoks data yang ironis. Statistik Politik 2024 dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa dari 580 anggota DPR periode 2024–2029, sebanyak 63 orang (10,85%) memang berijazah terakhir SMA. Akan tetapi, angka yang jauh lebih mencengangkan adalah 211 anggota dewan (36,38%) yang tidak mencantumkan latar belakang pendidikannya sama sekali (BPS, 2025; Detik.com, 2025).
Perdebatan ini, meski beritikad baik, secara fundamental salah arah. Kita terjebak dalam serangkaian asumsi keliru bahwa ijazah sarjana adalah proksi andal untuk kapasitas berpikir kritis, bahwa capaian akademis berkorelasi lurus dengan integritas moral, dan bahwa menaikkan palang administratif ini secara otomatis akan memperbaiki kualitas tata kelola negara.
Artikel ini berargumen sebaliknya: obsesi pada “kredensialisme” atau pemujaan ijazah ini adalah distraksi berbahaya yang menutupi kegagalan sistemik dalam rekrutmen dan pengembangan politik kita. Ia adalah sebuah kekeliruan logika yang berisiko menciptakan bentuk baru eksklusi politik yang lebih halus tetapi tak kalah merusak (Sandel, 2020; Markovits, 2019).
Jebakan Prestise dan Kesenjangan Moral
Tuntutan akan ijazah S1 adalah manifestasi dari apa yang oleh filsuf Michael Sandel dan Daniel Markovits disebut sebagai “tirani meritokrasi” (Sandel, 2020; Markovits, 2019). Ideologi ini, yang pada awalnya mulia karena menentang aristokrasi dan feodalisme, kini telah terdegradasi menjadi kredensialisme—ketergantungan berlebihan pada kualifikasi formal sebagai satu-satunya ukuran nilai seorang individu.
Sistem ini, bahkan jika dijalankan secara adil sekalipun, memiliki “sisi gelap”. Ia menciptakan kombinasi beracun antara kesombongan di kalangan “pemenang” (mereka yang bergelar) dan penghinaan bagi “pecundang” (mereka yang tidak bergelar). Solidaritas sosial terkikis, digantikan oleh jurang pemisah antara elite terdidik dan massa.
Secara psikologis, desakan ini berakar pada credentials fallacy atau kekeliruan kredensial (Kahneman, 2011). Ini adalah sesat pikir di mana sebuah argumen ditolak bukan karena substansinya yang lemah, melainkan karena sang pembicara tidak memiliki gelar atau jabatan tertentu.
Dalam konteks politik Indonesia, ini menjadi senjata ampuh untuk membungkam kritik dari warga biasa atau politisi nonsarjana, dengan dalih “Anda bukan ahlinya”. Dengan mewajibkan gelar sarjana, kita secara tidak sadar melegitimasi kekeliruan logika ini, seraya merendahkan kebijaksanaan dan pengalaman yang lahir dari luar tembok universitas.
Karena akses terhadap pendidikan tinggi di Indonesia masih sangat berkorelasi dengan status sosial-ekonomi (UNESCO, 2022), menjadikan ijazah sebagai tiket masuk ke parlemen bukanlah langkah menuju pemerintahan yang lebih kompeten, melainkan langkah menuju aristokrasi kredensial yang diwariskan—sebuah sistem yang secara fundamental antidemokrasi.
Cerdas Kritis Vs Bijak Bestari
Penting untuk membedakan dua jenis kapasitas intelektual. Pertama adalah kecerdasan akademis dan berpikir kritis—keterampilan yang diajarkan dan diukur di perguruan tinggi. Kedua adalah kebijaksanaan praktis—atau phronesis dalam filsafat Aristotelian (Aristotle, trans. 2009)—yang mencakup empati, pertimbangan etis, dan kerendahan hati epistemik.
Tidak ada korelasi, apalagi kausalitas, antara tingkat pendidikan formal dengan integritas moral. Sebaliknya, data menunjukkan korelasi yang mengkhawatirkan. Sejumlah kasus korupsi paling merusak di negeri ini justru melibatkan para pejabat bergelar tinggi. Mahfud MD pernah menyatakan bahwa 84% pejabat korup adalah lulusan perguruan tinggi (Kompas.com, 2023).
Penjelasannya bersifat psikologis. Sistem pendidikan modern yang hiperkompetitif dapat menumbuhkan mentalitas “menang dengan segala cara” (Kahneman, 2011). Kesombongan meritokratis dapat bermetastasis menjadi rasa berhak yang membenarkan perilaku korup sebagai “bonus” atas prestasi.
Di sisi lain, figur seperti Susi Pudjiastuti menunjukkan bahwa kompetensi kepemimpinan dan keberanian mengambil keputusan berbasis data dapat ditempa melalui pengalaman praktis yang keras, bukan hanya di ruang kuliah.
Membangun Kapasitas, Bukan Sekadar Menyaring
Jika ijazah bukanlah jawaban, maka solusinya adalah reformasi rekrutmen politik berbasis kompetensi dan institusionalisasi pengembangan kapasitas purnapemilu (Norris & Lovenduski, 1995). Partai politik harus beralih ke model rekrutmen yang transparan dan berbasis kompetensi, serta mendirikan “Sekolah Parlemen” yang independen dan permanen.
Model ini meniru program pengembangan parlemen di berbagai negara, seperti Parliamentary Leadership Program di Inggris dan Legislative Fellows di AS (IPU, 2021).
Daftar Referensi
Aristotle. (2009). Nicomachean Ethics (trans. W.D. Ross). Oxford University Press.
Badan Pusat Statistik. (2025). Statistik Politik 2024. Jakarta: BPS.
Detik.com. (2025). “BPS: 63 Anggota DPR Lulusan SMA, 211 Tak Cantumkan Latar Belakang Pendidikan”. Diakses 14 Oktober 2025. https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-8117900
IPU. (2021). Parliamentary Capacity Development Toolkit. Geneva: Inter-Parliamentary Union.
Kahneman, D. (2011). Thinking, Fast and Slow. Farrar, Straus and Giroux.
Kompas.com. (2023). “Mahfud MD Sebut 84 Persen Koruptor Lulusan Perguruan Tinggi”. Diakses 14 Oktober 2025. https://regional.kompas.com/read/2023/12/17/121935078/mahfud-md-sebut-84-persen-koruptor-lulusan-perguruan-tinggi
Markovits, D. (2019). The Meritocracy Trap. Penguin Press.
Norris, P., & Lovenduski, J. (1995). Political Recruitment: Gender, Race and Class in the British Parliament. Cambridge University Press.
Sandel, M. (2020). The Tyranny of Merit: What’s Become of the Common Good?. Farrar, Straus and Giroux.
UNESCO. (2022). Global Education Monitoring Report. Paris: UNESCO.
***
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya berjudul “Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasi di Era Transformasi Sosio- Digital” (Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2025) dan buku yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.