Categories
Begini Saja

Gema “Pro-Kontra” dan Kesejatian Peran

Di era digital yang serba cepat, kita sering merasa terombang-ambing. Berbagai podcast, unggahan media sosial, dan berita daring seolah menyeret kita ke dalam pusaran pro-kontra yang tak berkesudahan, terutama menyangkut isu-isu politik atau figur publik. Kita diajak untuk “peka” dan “peduli”, tetapi sering kali, emosi kita terkuras habis untuk perkara yang sesungguhnya bukan ranah kita.

Energi mental dan waktu kita habis terkuras dalam debat kusir, saling serang komentar, dan validasi emosional yang justru menjauhkan kita dari pemahaman mendalam. Mengapa hal ini terjadi, dan bagaimana kita bisa menjadi lebih selektif, distingtif, dan proporsional dalam menyikapi noise informasi ini?

Fenomena “hajar mantan presiden” yang muncul dalam percakapan informal, beserta konsep enigmatis “mat-mat-an” dari Solo, menawarkan sebuah cerminan menarik. Pertanyaan sederhana, “apa ya motif sebenarnya dari gerakan ‘hajar mantan presiden’ ini?” menunjukkan inti permasalahan: ketidakpahaman.

Kita sering kali bereaksi terhadap permukaan, tanpa menggali motivasi dan makna yang lebih dalam. Konsep “mat-mat-an” yang digambarkan sebagai sesuatu yang “jauh lebih mendalam dari sekadar politik” dan tidak berhasil didefinisikan, justru menunjuk pada adanya realitas sosial yang kaya, kompleks, dan tidak bisa disederhanakan oleh narasi tunggal yang diusung berbagai podcast partisan. “Mat-mat-an” ini, yang melibatkan “senyum dan rasa” dari “rakyat jelata sampai Raja”, mungkin adalah bentuk pengamatan sosial yang unik, sarat makna budaya, yang melampaui analisis politik formal yang kering dan sering kali manipulatif.

Dalam psikologi politik, kita belajar bahwa persepsi bukanlah penerimaan pasif informasi. Sebaliknya, individu secara aktif menginterpretasikan setiap data yang mereka terima, dan interpretasi ini sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai, keyakinan, serta pengalaman pribadi mereka. Daniel Kahneman dan Amos Tversky, dengan teori heuristik dan bias mereka, menjelaskan bahwa otak kita cenderung menggunakan jalan pintas mental dalam memproses informasi. Ini sangat efisien, tetapi juga rentan terhadap bias.

Saat menghadapi narasi “hajar mantan presiden” atau fenomena “mat-mat-an” yang tak terdefinisi, publik mungkin mengandalkan pintasan mental atau bias yang sudah ada, daripada melakukan analisis rasional yang mendalam. Akibatnya, kita mungkin melompat pada kesimpulan yang keliru, atau terjebak dalam echo chamber yang memperkuat pandangan sempit kita.

Selain itu, memahami motivasi di balik perilaku politik menjadi krusial. Psikologi politik mengeksplorasi alasan di balik tindakan politik individu atau kelompok. Apakah mereka didorong oleh kepentingan pribadi, identitas kelompok, ideologi yang kuat, atau sekadar respons emosional yang dipicu? Ketidakpahaman akan motif sebenarnya sering kali memicu spekulasi liar, misinformasi yang beredar luas, dan pada akhirnya, polarisasi yang merugikan. Berbagai podcast pro-kontra, dengan narasi peyoratifnya, sengaja membakar emosi kita, mengarahkan perhatian pada motif-motif yang mungkin disederhanakan atau bahkan dipelintir, hanya untuk memenuhi agenda mereka sendiri.

Fenomena “mat-mat-an” juga mengungkap kesenjangan signifikan antara realitas politik formal dan realitas sosial lokal. Sementara media sosial dan podcast mendengungkan “dunia heboh dan politik dalam negeri juga dinamis”, ada kehidupan yang sesungguhnya berlangsung di Solo, yang dicirikan oleh “mat-mat-an” —sebuah cara pandang dan interaksi yang jauh lebih subtil dan sarat nilai budaya.

Ini adalah pengingat penting dari psikologi politik bahwa konteks sosial-budaya secara fundamental membentuk bagaimana politik dipahami dan dijalankan di berbagai komunitas. Model-model politik Barat atau narasi mainstream sering kali gagal menangkap nuansa ini, sehingga menghasilkan pemahaman yang dangkal dan reaksioner.

Pembentukan opini publik juga merupakan area di mana kita harus lebih kritis. Pernyataan, “orang yang bertanya-tanya seperti itu kah yang disebut mat-mat-an?” menunjukkan bahwa individu sering kali mencari validasi dan penjelasan melalui interaksi sosial. Dalam lingkungan digital yang serba terbuka tetapi minim filter, proses ini bisa menjadi bumerang.

Opini kita mudah terbentuk oleh validasi dari kerumunan daring, bukan dari refleksi kritis dan informasi terverifikasi. Herbert Blumer, dengan Teori Interaksi Simbolik, mengingatkan kita bahwa makna dibangun melalui interaksi sosial. Jadi, jika interaksi kita didominasi oleh narasi yang bias dan peyoratif, makna yang kita bangun tentang dunia politik pun akan ikut terdistorsi.

Untuk menjadi lebih selektif, distingtif, dan proporsional dalam menyikapi noise informasi ini, kita perlu mengadopsi pendekatan kritis-reflektif. Pertama, kita harus menyadari adanya bias kognitif dalam diri kita sendiri dan dalam sumber informasi yang kita konsumsi. Bertanyalah: apa motif tersembunyi di balik narasi ini? Siapa yang diuntungkan atau dirugikan oleh sudut pandang ini?

Kedua, penting untuk membedakan antara informasi faktual, opini, dan manipulasi emosional. Banyak podcast pro-kontra sengaja mengaburkan batas-batas ini, demi mempertahankan engagement pendengar. Sebagai individu, kita memiliki tanggung jawab untuk melakukan fact-checking dan mencari sumber informasi yang beragam. Jangan hanya terpaku pada satu narasi yang mengkonfirmasi bias kita.

Ketiga, beranikan diri untuk keluar dari “gelembung filter” dan “kamar gema” digital. Berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki pandangan berbeda, mendengarkan argumen yang berseberangan, dan mencoba memahami perspektif lain, meskipun tidak setuju. Diskusi yang sehat dan saling menghargai adalah kunci untuk memecah polarisasi yang menguras emosi.

Akhirnya, mari kita renungkan kembali konsep “mat-mat-an.” Meskipun sulit didefinisikan, ia menyerukan kita untuk melihat kehidupan, termasuk politik, dengan “senyum dan rasa”. Ini adalah undangan untuk kembali pada esensi kemanusiaan, untuk memprioritaskan interaksi sosial yang autentik, dan untuk tidak membiarkan diri kita terkuras emosinya untuk “perkara-perkara yang bukan urusan mereka kecuali untuk sekadar disebut peka dan peduli”.

Menjadi peka dan peduli adalah hal yang baik, tetapi harus disertai dengan pemikiran kritis dan proporsionalitas, agar energi kita dapat disalurkan pada hal-hal yang benar-benar membangun dan bermakna, bukan sekadar memuaskan feed algoritma media sosial. Karena pada akhirnya, kesejatian kehidupan jauh lebih kaya daripada sekadar pro-kontra di ruang gema digital.

***

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya berjudul “Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasi di Era Transformasi Sosio- Digital” (Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2025) dan buku yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

One reply on “Gema “Pro-Kontra” dan Kesejatian Peran”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *