“Saya sudah wanti-wanti, sebelum jam delapan malam, Ryan harus sudah di rumah. Kenyataannya, setiap kali di-sms, HP-nya selalu dimatikan!” cerocos Bu Reny sambil memainkan jemarinya di atas keyboard quartley BB-nya, “Alasannya, jika Pak Edy mau tahu, ia butuh BB. Katanya, biar lebih mudah dihubungi,” lanjutnya dengan tonasi meninggi. Sesekali terlihat kilatan sinar mata Bu Reny, menunjukkan rasa jengkel.
“Saya bilang padanya…,” lanjutnya sembari menjawab pesan yang masuk ke BB-nya, “Pakai HP biasa saja emoh ngebalas, mana Mama mau ngasih kamu BB?” sergahnya sambil menatap mata Ryan yang duduk di sebelah kirinya.
Ryan membuang muka, seolah ia tidak sedang berada di ruang konsultasi.
Melihat sikap Ryan, Bu Reny menatapku sambil menggeleng-gelengkan kepala, “Begitulah dia, Pak Edy,” katanya mencoba meyakinkan.
Kemudian ia kembali menatap muka Ryan, “Bukannya BB pernah Mama belikan dan katamu hilang ketinggalan entah di mana?”
“Sudah sudah, Ma! Omongan yang itu itu terus ‘kan tak perlu diulang di depan Pak Edy!” tiba-tiba Pak Zulhen, suami Bu Reny, yang dari tadi berdiam diri, memotong pembicaraan, “Begini, Pak Edy. Pernah saya menjemput Ryan ke sekolah gara-gara ia mematikan HP. Padahal sudah jam sembilan malam. Di sana saya lihat, ia masih bersama sekelompok orang. Anehnya, mereka bukan teman sekolahnya. Saya kenal beberapa di antara mereka mahasiswa. Padahal, ia ‘kan masih kelas satu SMA? Langsung saya gandeng tangannya ke arah mobil. Saya paksa pulang,” jelas Pak Zulhen.
“Apa yang Pak Zulhen percakapkan dengan Ryan ketika sedang besama-sama berada di dalam mobil menuju rumah?” tanyaku.
“Saya diam menahan amarah. Segini, Pak!” jawab Pak Zulhen sambil mengepalkan tangan di depan jakunnya.
“Apa yang kamu rasakan waktu itu, Ryan? Kamu tidak berusaha menjelaskan situasimu?” tanyaku kepada Ryan.
“Om, aku ini suka yang seni-seni. Aku suka sekali performing art, Om. Aku beberapa kali sempat nongol di teve dengan karya koreografiku. Aku memang banyak ngegaul ama kakak-kakak mahasiswa yang mendampingi kami di sekolah. Mereka ditunjuk oleh pihak sekolah,” tuturnya sambil beberapa kali menghela nafas panjang. Beberapa kejap nampak matanya berkilat menandakan emosi ketidakpuasannya.
“Om, lebai nggak, Papa Mama aku ini, Om? Mana aku even dituduh nge-drug ama kakak-kakak mahasiswa? Papa pernah memaksa aku ke lab buat periksa urin? Nyatanya, apa? Urinku bersih, Om!” katanya sambil memukul meja keras-keras.
Kedua orangtuanya pucat karena kaget.
“Dari tadi Ryan belum jawab pertanyaan Om. Apa yang kamu rasakan ketika kamu ditarik dari teman-temanmu dan berada di mobil bersama Papa kamu?”
“Sebel banget. Tak tahu apa maunya orangtua aku ini. Kalau di luar rumah dicari-cari. Kalau sudah di rumah diceramahin, dimarahin, terus didiemin. Dan, setiap kali tiba di rumah, Mama? BB-an. Papa? BB-an. Adikku yang masih penakut itu? Di kamar ngerjain PR.
Children need your presence, more than just a physical presence. (ES)
sumber foto : tekno.kompas.com
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di laman MayaAksara.com