Categories
Begini Saja

Ketika Netizen Mengadili: Persidangan Tanpa Palu

Batas antara warga dan negara semakin kabur. Catherine Durose dan Liz Richardson dalam The Politics of Co-production (2022) menyebut fenomena ini sebagai arena kontestasi kekuasaan baru. Ketika institusi yang seharusnya memegang monopoli keadilan—polisi, jaksa, dan hakim—dianggap lamban atau bahkan lumpuh, warga tidak lagi hanya menunggu; mereka mengambil alih peran itu, mengubah linimasa media sosial menjadi ruang sidang terbuka di mana setiap orang adalah hakim, dan putusan dijatuhkan lewat kekuatan viralitas.

Namun, sebelum kita merayakan kemenangan “kekuatan netizen”, ada baiknya kita berhenti sejenak dan bertanya: apakah ini wujud demokrasi digital yang sehat, atau justru gejala dari penyakit yang lebih dalam? Pengadilan jalanan digital ini bukanlah pilihan pertama, melainkan jalan terakhir yang ditempuh ketika kepercayaan pada institusi formal telah mencapai titik nadir.

Juri 143 Juta Orang di Ruang Sidang Tanpa Dinding

Laporan Digital 2025 Indonesia dari DataReportal mencatat ada 143 juta identitas pengguna media sosial aktif di Indonesia. Bayangkan, sebuah dewan juri yang populasinya setara dengan gabungan penduduk Jerman dan Spanyol. Kekuatan ini nyata, tetapi ruang sidang tempat mereka berkumpul memiliki aturan main yang berbahaya. Algoritma platform digital tidak dirancang untuk mencari kebenaran, melainkan untuk memanen keterlibatan emosional—dan tidak ada emosi yang lebih memancing interaksi selain kemarahan.

Tekanan opini publik digital dapat memengaruhi persepsi hakim dalam suatu perkara. Studi Asian Law Review (2023) menunjukkan bahwa 38% hakim di Asia Tenggara mengakui pernah merasa terpengaruh oleh opini publik dalam kasus-kasus yang viral. Meski secara formal tidak boleh memengaruhi putusan hukum, tekanan sosial yang masif bisa menciptakan bias psikologis yang tak kasat mata.

Di sinilah letak masalah pertamanya: kecepatan. Menurut Kemenko Polhukam (2022), berita bohong menyebar 20 kali lebih cepat daripada klarifikasinya. Survei Katadata Insight Center bersama Kominfo mengungkap bahwa 60% masyarakat Indonesia terpapar hoaks, tetapi hanya sebagian kecil yang mampu mengenalinya. Artinya, sebelum fakta sempat memakai sepatunya, kebohongan emosional sudah berlari keliling dunia. Narasi awal yang paling keras dan paling marah sering kali memenangkan opini publik, menetapkan siapa yang “bersalah” jauh sebelum proses hukum dimulai.

Kehilangan Diri dalam Kerumunan Digital

Mengapa orang-orang yang di dunia nyata tampak rasional bisa berubah menjadi begitu beringas di dunia maya? Jawabannya terletak pada konsep psikologi sosial: deindividuasi. Ini adalah kondisi di mana identitas pribadi melebur ke dalam identitas kelompok. Topeng anonimitas media sosial membuat kita merasa kurang bertanggung jawab atas ucapan dan tindakan kita.

Ketika ribuan orang menyuarakan kemarahan yang sama, kendali diri mengendur. Gustave Le Bon dalam The Crowd: A Study of Popular Mind (1896) telah mengamati bahwa individu dalam kerumunan cenderung bertindak berdasarkan emosi, bukan nalar. Penelitian Universitas Gadjah Mada (2023) mengonfirmasi bahwa 64% responden merasa lebih berani mengungkapkan kemarahan di media sosial dibandingkan dalam interaksi langsung, terutama saat menggunakan akun anonim.

Abdul Wahid Azar (Kompasiana, 2024) menulis bahwa moralitas kelompok dapat menggantikan nalar individu, menciptakan ilusi heroisme dalam penghakiman digital. Ironisnya, massa digital ini sering kali tidak melihat diri mereka sebagai penghakim yang brutal. Sebaliknya, mereka merasa menjadi “penjaga keadilan”—istilah yang muncul dalam analisis mobilisasi netizen pada kasus Vina. Dalam kerangka ini, tindakan seperti doxing atau tuduhan tanpa bukti bisa terasa seperti aksi heroik. Moralitas individu digantikan oleh moralitas kolektif yang merasa paling benar.

Vakum Kepercayaan Pada Institusi

Kekuasaan pengadilan digital tidak lahir dari ruang hampa. Ia tumbuh subur di atas tanah gembur berupa krisis kepercayaan publik terhadap institusi formal. Ketika masyarakat merasa sistem yang ada gagal memberikan keadilan, mereka membangun sistemnya sendiri.

Survei Indikator Politik Indonesia (Mei 2025) melukiskan potret buram ini: 22,7% responden menyatakan tidak percaya pada Polri, 22,5% pada KPK, dan 23,4% pada DPR. Ketika hampir seperempat populasi aktif meragukan institusi yang seharusnya menjadi pilar keadilan, wajar jika mereka mencari alternatif.

Media sosial, dengan kemampuannya mengamplifikasi suara, menjadi pilihan yang logis. Studi Jurnal Publicuho (2024) menunjukkan bahwa partisipasi digital bisa menjadi kekuatan korektif, tetapi juga berisiko menciptakan tekanan sosial yang mengganggu independensi hukum. Kita melihatnya dalam kasus #saveCASN2024, di mana tekanan publik digital yang masif berhasil memaksa pemerintah membatalkan penundaan pengangkatan CPNS dan PPPK hanya dalam waktu sepuluh hari. Namun, kita juga melihat sisi gelapnya dalam kasus Vina, di mana banjir teori konspirasi dan penghakiman massa berisiko mengaburkan pencarian kebenaran dan mengabaikan asas praduga tak bersalah.

Refleksi di Persimpangan Jalan

Mengutuk netizen adalah jalan pintas yang tidak menyelesaikan masalah. Pengadilan jalanan digital adalah demam yang menandakan adanya infeksi serius dalam tubuh tata kelola negara kita.

Tantangan terbesar kini ada di pundak kita semua, sebagai warga negara digital. Di mana batas antara amarah yang wajar dan penghakiman massa? Bagaimana kita bisa menuntut keadilan tanpa mengorbankan prinsip-prinsip keadilan itu sendiri? Di era di mana algoritma sengaja dirancang untuk membakar emosi, mampukah kita secara sadar memilih untuk menenangkan nalar, menuntut bukti, dan mempertahankan empati?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan menentukan warisan zaman kita. Apakah kita akan dikenang sebagai generasi yang melahirkan era baru akuntabilitas publik, atau sebagai generasi yang membiarkan keadilan tersesat dalam riuh rendah gema kemarahan kolektif. Pilihan ada di tangan kita.

Daftar Referensi:

Azar, A. W. (2024, Mei 12). “Pengampunan koruptor vs keadilan publik”. Kompasiana. Diakses 22 September 2025. https://www.kompasiana.com/abdulwahid8304/676b498534777c5c3c702f92/pengampunan-koruptor-vs-keadilan-publik.

DataReportal. (2025). Digital 2025: Indonesia. Diakses 22 September 2025. https://datareportal.com/reports/digital-2025-indonesia.

Durose, C., & Richardson, L. (2022). “Is co-production a ‘good’ concept? Three responses”. ScienceDirect. Diakses 22 September 2025. https://www.sheffield.ac.uk/urban-institute/news/co-production-good-concept-three-responses-sciencedirect.

Drone Emprit. (2024). Analisis viralitas tagar #saveCASN2024. Diakses 22 September 2025. https://pers.droneemprit.id/

Indikator Politik Indonesia. (2025, Mei). “Survei nasional: Tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga negara”. DetikNews. Diakses 22 September 2025. https://news.detik.com/berita/d-7935263/survei-indikator-tingkat-kepercayaan-publik-ke-presiden-82-7

Katadata Insight Center & Kominfo. (2022). “Survei literasi digital dan paparan hoaks”. BeritaSatu. Diakses 22 September 2025. https://www.beritasatu.com/news/700917/survei-kic-hampir-60-orang-indonesia-terpapar-hoax-saat-mengakses-internet.

Kemenko Polhukam RI. (2022, April 6). Siaran Pers No: 41/SP/HM.01.02/POLHUKAM/4/2022. Diakses 22 September 2025. https://polkam.go.id/menko-polhukam-ajak-semua-pihak-atasi-penyebaran-konten/

Le Bon, G. (1896). “The crowd: A study of the popular mind”. Project Gutenberg. Diakses 22 September 2025. https://www.gutenberg.org/ebooks/445.

Tirto.id. (2024). “Kasus Vina Cirebon: Analisis narasi dan persepsi publik”. Tirto.id. Diakses 22 September 2025. https://tirto.id/q/kasus-vina-cirebon-FuGi.

Universitas Gadjah Mada. (2023). “Aktivisme kontra-hegemoni di ruang Twitter”. Jurnal Pemikiran Sosiologi, 10(2). Diakses 22 September 2025. https://sinta.kemdiktisaintek.go.id/journals/profile/2091.

University of Pennsylvania Carey Law School. (2023). “Judicial decision-making under public pressure”. Asian Law Review. Diakses 22 September 2025. https://www.law.upenn.edu/journals/alr/

Yusran, H. (2024). “Partisipasi digital dan tekanan sosial dalam kampanye politik”. Jurnal Publicuho, 7(1), 45–58. Diakses 22 September 2025. https://ejournal.undip.ac.id/index.php/gp/article/download/65349/pdf.

***

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya berjudul “Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasi di Era Transformasi Sosio- Digital” (Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2025) dan buku yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *