Izinkan saya, andaikan saya dalam peran sebagai aparatur pemerintahan negeri ini, menuangkan unek-unek dan olah batin saya—sebuah autokritik yang, barangkali, hanya semarak dalam kepala tetapi jarang sampai ke ruang publik.
Hari-hari ini, panas oleh isu gerakan “Indonesia Gelap”, ramai pula opini yang menyebar liar: konon, aksi protes sosial ini didanai hasil korupsi, dilabeli “buatan para koruptor yang ingin negeri terus gaduh”. Tapi benarkah demikian, atau hanya cermin buruk politik yang menyoroti wajah saya sendiri selaku pemerintah?
Tak elok rasanya jika saya sendiri (dalam pengandaian ini) terus-menerus menggelindingkan tuduhan tanpa factual evidence yang bisa dipertanggungjawabkan kepada rakyat—apalagi jika rakyat yang kita tuding adalah barisan mahasiswa dan aktivis sipil, orang-orang yang, secara sejarah, bahkan pernah jadi penyelamat negeri dari kepongahan kekuasaan.
Mari saya mulai otokritik ini dengan refleksi data, dan disudahi ajakan berbunyi konstruktif, agar negeri ini tidak benar-benar “gelap” karena kabut narasi yang kami tebarkan sendiri.
Fiksi Terbaru di Negeri Opini
Beberapa hari lalu, dalam forum resmi yang penuh sorot kamera dan tepuk tangan kader partai, saya (kami), sebagai Presiden, berkata lantang: demo “Indonesia Gelap” dan tagar “Kabur Aja Dulu” adalah hasil muslihat koruptor, didanai hasil kejahatan, dibeking akun-akun “buzzer” serta pakar eceran untuk menebar pesimisme (Kompas.com, 22/7/2025).
Namun, ketika para aktivis sipil, seperti Amnesty International Indonesia dan Usman Hamid, menantang pemerintah untuk membuktikan dengan dokumen, nama, rekening, ataupun hasil investigasi, mendadak tak ada jawaban nyata. Semua hanya berujung pada kata-kata (Amnesty International, 2025). Publik tidak disuguhi secuil pun factual evidence—misal, aliran dana, kasus hukum, penangkapan, atau akta transfer uang hasil korupsi ke massa aksi.
Padahal, logika sederhana saja sudah cukup: jika tuduhan ini benar, mengapa aparat atau KPK tak langsung membongkar jaringan dana? Mengapa tak ada penangkapan atau pelaporan resmi dari lembaga penegak hukum? Jangan-jangan, sekali lagi, ini hanya skenario demi skenario untuk mengaburkan kegagalan?
Sebagai pemerintah, saya—dengan jujur—mengakui, hingga tulisan ini dibuat, sama sekali belum ada data atau fakta terbuka yang membuktikan keterlibatan hasil korupsi dalam gerakan “Indonesia Gelap” (Reuters, 20/2/2025). Sederhananya: kita telah menuduh tanpa evidence. Itu sama saja dengan menyalakan lampu di ruang yang tak pernah kita masuki terlebih dahulu.
Logika Melempar Batu di Air Keruh
Lucu juga sebenarnya, ketika saya menuding rakyat saya sendiri sebagai boneka “koruptor”, saya—sebagai pemerintah—dan para kolega, justru memperlihatkan wajah paranoia.
Jika semua aksi rakyat, semua kritik sosial, semua hak warga negara untuk menyuarakan keresahan dibalas dengan sinyalemen konspirasi tanpa bukti, apa bedanya saya dengan penguasa otoriter di buku sejarah yang kerap kami kutuk waktu orasi kampus dulu?
Justru, sinyalemen ala teori konspirasi inilah yang—secara psikopolitik—efektif untuk menghindari perdebatan substansi. Bukan apa yang mereka tuntut yang didiskusikan, melainkan siapa di balik mereka! Politik “lempar batu-nyalakan air” ini adalah metode klasik yang digunakan untuk:
– Mengalihkan fokus publik dari pokok masalah,
– Mendelegitimasi gerakan sipil yang kritis,
– Memancing reaksi defensif dari masyarakat yang dituduh—dan kemudian, memanfaatkan reaksi itu untuk menjustifikasi aksi balasan yang lebih keras (Perkumpulan Prakarsa, 2022).
Dalam era algoritma media sosial, narasi sensasional macam ini cepat viral, memperkuat polarisasi masyarakat, dan membuat logika “kita vs mereka” semakin nyata. Sungguh, jika bangsa ini gelap, jangan-jangan bukan karena aksi demo, tapi karena lampu narasi yang sengaja kita matikan sendiri demi kenyamanan ruang kekuasaan.
Merefleksikan Citra Pemerintah
Ada adagium lama: ketika terus-menerus menuduh musuh dari luar, terkadang kita lupa monster terbesar ada dalam diri sendiri. Jika pemerintah selalu merespons kritik dengan narasi konspirasi—dan tidak pernah kritis pada diri sendiri—apa bedanya kami dengan watak paranoid kaum tiran?
Saya, sebagai pemerintah, tentu bisa terus bermain narasi “gerakan pesimisme difasilitasi musuh bangsa.” Namun, warga saya sudah cukup melek. Asal-usul gerakan mahasiswa dan sipil di Indonesia bukanlah hasil pesanan ruang gelap, melainkan tradisi panjang perlawanan terhadap segala bentuk ketidakadilan (Indonesia Business Post, 2025).
Kalau pemerintah konsisten menuduh tanpa dasar, jangan-jangan akhir cerita saya akan sama seperti para penguasa paranoid sebelumnya: kehilangan legitimasi, dijauhi rakyat, dan dikenang bukan sebagai pencerah, melainkan pemadam lampu sejarah.
Kalau Saya Pemerintah Mau Berbenah
Izinkan saya berandai-andai, andai pemerintah benar-benar ingin bangsa ini tidak “gelap”—bukan hanya dalam idiom politik, tapi dalam dunia nyata—beberapa langkah berikut bisa lebih bermanfaat daripada menyebar tuduhan kosong:
- Transparansi investigatif: Jika benar ada aliran dana korupsi ke gerakan sipil, ungkapkan data, publikasikan bukti, dan biarkan lembaga hukum bekerja secara independen.
- Rangkul dan dengarkan: Ajak dialog terbuka dengan pengunjuk rasa, aktivis, dan mahasiswa. Bukankah demokrasi mensyaratkan perdebatan sehat, bukan saling tuduh?
- Berhenti jadi “produser drama konspirasi”: Energi bangsa akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk menyelesaikan akar masalah yang dikritik rakyat, ketimbang memutar-mutar narasi gelap tanpa ujung.
- Berani autokritik: Akuilah jika pemerintah lemah, lalai, atau gagal menjalankan kebijakan yang diharapkan rakyat, tanpa mencari kambing hitam.
Sebaliknya, kalau pemerintah tetap menebar “lampu sorot ke rakyat sendiri,” jangan-jangan yang paling gelap sebenarnya adalah sudut ruangan kami sendiri.
Dari Pemerintah, Oleh Pemerintah, Untuk Rakyat
Pada akhirnya, sebagai pemerintah, saya harus sadar satu hal: setiap kali menuduh rakyat dengan narasi gelap, sesungguhnya saya sedang mengunci pintu ruang gelap itu dari dalam.
Setiap kebohongan yang saya tabur, sesungguhnya adalah upaya memadamkan api kesadaran publik yang justru bisa menerangi jalan keadilan—bukan untuk saya, tapi untuk anak bangsa.
Cukuplah negeri selama ini diterangi oleh lampu-lampu narasi yang kerap padam sendiri. Mari buka jendela, izinkan cahaya masuk, dan belajarlah, wahai pemerintah, dari rakyatmu sendiri.
Daftar Referensi
Amnesty International Indonesia. (2025, 21 Juli). “Pernyataan keterbukaan soal tudingan pendanaan gerakan “Indonesia Gelap””. Bitvonline.com. Diakses 22 Juli 2025. https://www.bitvonline.com/nasional/39900/usman-hamid-tantang-istana-buktikan-pernyataan-prabowo-soal-aksi-lsquoindonesia-gelaprsquo-didanai-koruptor/all/
Indonesia Business Post. (2025, 24 Februari). “Civil society groups spark nationwide protests against Prabowo’s policies”. Indonesiabusinesspost.com. Diakses 22 Juli 2025. https://indonesiabusinesspost.com/3655/Politics/civil-society-groups-spark-nationwide-protests-against-prabowos-policies-criticizing-budget-cuts-and-biasness.
Kompas.com. (2025, 22 Juli). “Prabowo sebut Indonesia Gelap didanai koruptor, aktivis minta bukti”. Kompas.com. Diakses 22 Juli 2025. https://nasional.kompas.com/read/2025/07/22/06010151/prabowo-sebut-indonesia-gelap-didanai-koruptor-aktivis-minta-bukti.
Perkumpulan Prakarsa. (2022). Aliran keuangan gelap pada sektor perikanan dan pertambangan batu bara serta produk turunannya di Indonesia [PDF]. Theprakarsa.com. Diakses 22 Juli 2025. https://repository.theprakarsa.org/media/publications/559030-aliran-keuangan-gelap-pada-sektor-perika-e9adca68.pdf
Reuters. (2025, 20 Februari). “Students lead ‘Dark Indonesia’ protests against budget cuts”. Reuters.com. Diakses 22 Juli 2025. https://www.reuters.com/world/asia-pacific/students-lead-dark-indonesia-protests-against-budget-cuts-2025-02-20/
***
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya berjudul “Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasi di Era Transformasi Sosio- Digital” (Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2025) dan buku yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.
2 replies on “Ketika Pemerintah Menuding Diri Sendiri”
Banyak terimakasih atas refleksi sekaligus sharingnya, Pak Edy.
Seperti biasa, tulisan Pak Edy membawa saya kepada berbagai persoalan baru. Saya jadi teringat dengan pembacaan masa kanak-kanak saya. Bacaan itu karya berjudul “Langit Makin Mendung” Ki Panjikusmin, yang diduga ditulis oleh H.B. Jassin yang mengisahkan perjalanan kembali Nabi Muhamad, S.A.W bersama malaikat ke dunia karena sedikit sekali kaum Muslim yang masuk ke surga.
Bacaan kedua, adalah buku “Saya bermimpi menjadi konglomerat” karya Kwiek Kian Gie, yang sebelum terjun ke dunia politik praktis sangat produktif menginspirasi masyarakat Indonesia. Lewat buku terbitan Gramedia pada 1993 itu, Kwik berbicara tentang sepak terjang sekaligus siasat para konglomerat untuk mendapatkan keuntungan dengan melakukan ekspor barang dari luar negeri, dengan pembayaran lewat pinjaman pemerintah yang memungkinkan mereka mendapatkan privilese tertentu, misalnya.
Memasuki sejarah lebih jauh, kita pun pasti bisa dibawa untuk membaca kembali karya Dante Alighieri yang memukau.
Ketiga pengarang itu, memilih pendekatan yang sama, pendekatan imajiner, yang juga Pak Edy tempuh di sini.
Seperti kita tahu, sebuah imajinasi, sebuah fiksi cenderung menciptakan suatu dunia utopis. Sebuah dunia antah-berantah yang bisa dinikmati sebagai hiburan ketika dunia nampak terlampau menyakitkan untuk dipikirkan secara maksimal serius, terlebih jika berkaitan dengan persoalan negara.
Negara dalam imajinasi sekaligus perjalanan intelektual, yang biasanya jauh lebih efektif jika digunakan oleh seorang yang berbakat sebagai penyair seperti Pak Edy, pasti tidak bisa dipertentangkan dengan realitas. Soalnya, bagaimana pun, negara harus diakui cenderung machiavelistis; yang kerangka doktrinnya dijalankan tetapi tidak diakui di depan publik.
Pada tahap tertentu, pemerintahan kali ini, menurut saya belum memperlihatkan kecenderungan machivelistis. Ia terlampau mengakomodasi begitu banyak kepentingan yang kerapkali bertentangan satu sama lain. Fenomena ini terlihat ketika pernyataan menteri bisa berbeda dari bawahannya. Bahkan pernyataan presiden bisa saja berbeda dari para menteri misalnya. Bahwa Presiden Prabowo mampu menerimanya, bisa saja memperlihatkan integritas pribadinya. Tetapi juga bisa dipahami sebagai ia tengah memproses berbagai silang pendapat itu untuk akhirnya melahirkan kebijakan baru.
Yang menarik, semua persilangan pendapat sekaligus konflik elistis itu diklaim sebagai demi kepentingan rakyat. Padahal kita tahu, seperti Pak Edy uraikan, upaya itu tidak lebih dari sikap pemerintah yang melempar batu sembunyi tangan. Dan tanpa perlu diperbincangkan, kita tahu permainan itu sudah menjadi kebijakan klasik, karena mobilisasi massa misalnya senantiasa mendorong pemerintah untuk kembali kepada rakyat yang tidak berdaya untuk kembali dimanipulasi.
Apakah rakyat diselamatkan, menjadi bahagia hidup makmur dalam negeri ini?
Tunggu dulu.
Nasib rakyat Indonesia pasti tidak lebih baik dari umat yang tidak banyak masuk surga seperti dikhayalkan oleh Ki Panjikusmin sehingga Nabi perlu untuk kembali turut ke bumi. Bahkan Bersama malaikat.
Persoalannya, adakah kemungkinan ini terjadi dalam negeri ini. Tentu saja ini imajinasi. Dan tentu saja utopis.
Terima kasih banyak, Pak Jacobus, atas tanggapan yang begitu kaya dan reflektif. Saya merasa tersentuh oleh cara Bapak mengaitkan tulisan saya dengan karya-karya imajinatif yang pernah menggugah kesadaran publik. Pendekatan imajinatif memang sering menjadi jalan sunyi untuk menyuarakan hal-hal yang tak bisa diungkapkan secara langsung.
Bapak benar, imajinasi bukan sekadar pelarian, melainkan ruang tafsir yang memungkinkan kita melihat kenyataan dari sudut yang lebih jernih. Ketika negara tampil dengan wajah yang paradoksal, antara idealisme dan siasat, kita diajak untuk tidak hanya berpikir kritis, tapi juga memahami bahwa kekuasaan sering berjalan di antara bayang dan terang. Dalam ruang itu, fiksi menjadi alat untuk menyentuh nurani yang kadang tak tergugah oleh data dan logika.
Saya sepakat bahwa pemerintahan saat ini belum sepenuhnya menunjukkan watak Machiavellian, namun justru tampak gamang dalam mengelola silang pendapat. Ketika klaim demi rakyat justru berujung pada manipulasi, kita perlu bertanya: siapa sebenarnya yang sedang diselamatkan? Dan di titik itulah, imajinasi menjadi cermin yang tak hanya memantulkan kenyataan, tapi juga menguji keberanian kita untuk berharap.