Categories
Begini Saja

Krisis Kepercayaan dan Politik Ambiguitas: dari Spekulasi ke Reformasi Institusional

Dalam pekan-pekan terakhir, publik Indonesia disuguhi sebuah drama politik yang tidak diumumkan, tetapi terasa. Kompas (25 Oktober 2025) melaporkan adanya “koordinasi erat” dan “arahan khusus” antara Presiden Prabowo Subianto dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Tidak ada pernyataan eksplisit tentang pergantian pimpinan Polri, tetapi frasa seperti “atensi dan catatan” serta “kegiatan terus ditindaklanjuti” justru memperkuat spekulasi.

Yang menarik: tidak ada penegasan, tidak ada bantahan. Hanya ruang kosong yang mengundang tafsir.

Dalam politik, ambiguitas bukanlah kecelakaan. Ia adalah strategi. Murray Edelman dalam Constructing the Political Spectacle (1988) menyebut bahwa simbol dan ketidakjelasan sering digunakan untuk mempertahankan dominasi tanpa harus menjelaskan secara transparan.

Namun di era digital, strategi ini menjadi pedang bermata dua. Ketika ruang publik dikendalikan oleh algoritma dan viralitas, kekosongan makna bisa dengan cepat diisi oleh rumor, spekulasi, bahkan narasi tandingan. Studi Vosoughi, Roy, dan Aral (2018) di Science menunjukkan bahwa berita palsu menyebar 70% lebih cepat daripada berita benar di Twitter, karena ketidakpastian memicu emosi, dan emosi mempercepat penyebaran.

Ketidaktegasan Istana bukan hanya menciptakan ruang spekulasi, tetapi juga memperkuat persepsi bahwa ada sesuatu yang sedang disembunyikan. Ketika publik tidak mendapatkan kejelasan dari sumber resmi, mereka akan mencari makna dari sumber lain—termasuk media sosial, opini elite, dan narasi partisan.

Kambing Hitam dan Krisis Kepercayaan

Spekulasi ini tumbuh di atas tanah yang sudah retak: kepercayaan publik terhadap institusi. Survei LSI (Januari 2025) menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap Polri berada di angka 71%, terendah di antara lembaga penegak hukum lainnya. Sebaliknya, survei Rumah Politik Indonesia (Agustus 2025) menempatkan Polri sebagai lembaga dengan kinerja tertinggi (20,11%). Sementara itu, Indikator Politik Indonesia (Februari 2023) mencatat kepercayaan terhadap Polri hanya 54,4%, turun drastis dari 80,2% pada Mei 2022, pasca kasus pembunuhan Brigadir J oleh Irjen Ferdy Sambo.

Niklas Luhmann dalam Trust and Power (1979) menyebut kepercayaan sebagai mekanisme pengurangan kompleksitas. Ketika kepercayaan melemah, masyarakat menjadi lebih sensitif terhadap ambiguitas dan lebih mudah terprovokasi oleh simbol-simbol pengganti.

Dalam situasi seperti ini, pergantian pucuk pimpinan bisa menjadi semacam ritual. René Girard dalam Violence and the Sacred (1972) menyebutnya sebagai mekanisme “scapegoating”—pengorbanan simbolik terhadap satu figur untuk meredakan ketegangan kolektif. Contoh historisnya adalah konflik antara Presiden Abdurrahman Wahid dan Kapolri Jenderal S. Bimantoro pada 2001, yang menunjukkan bahwa konflik antara eksekutif dan aparat keamanan bukanlah hal baru.

Menuju Ketahanan Institusi yang Sejati

Untuk keluar dari siklus spekulasi dan pengorbanan simbolik, kita perlu membangun ketahanan institusional yang sejati. Ada tiga langkah strategis:

  • Pertahanan Aktif dalam Tubuh Polri
    Adaptasi dari strategi militer ini menekankan kesiapsiagaan internal terhadap ancaman eksternal. Transparency International (2021) menunjukkan bahwa negara dengan sistem meritokrasi yang kuat dalam lembaga penegak hukum memiliki tingkat korupsi lebih rendah dan kepercayaan publik lebih tinggi.
  • Indeks Kesehatan Institusional
    Survei opini penting, tetapi harus dilengkapi dengan metrik objektif seperti tingkat penyelesaian kasus dan transparansi internal. OECD dalam Government at a Glance (2023) merekomendasikan indikator gabungan untuk mengukur kinerja lembaga publik secara lebih akurat dan berkelanjutan.
  • Dialog Strategis Lintas Lembaga
    Komunikasi antara Presiden dan Kapolri perlu diformalkan dalam forum terbuka dan terdokumentasi. Model seperti National Security Council (AS) dan National Security Committee (Australia) bisa menjadi rujukan untuk membangun mekanisme lintas-lembaga yang berorientasi pada kebijakan jangka panjang.

Langkah-langkah ini bukan sekadar reformasi teknokratis, tetapi upaya membangun narasi baru tentang kepemimpinan dan institusi. James MacGregor Burns dalam Leadership (1978) menekankan bahwa kepemimpinan transformatif bukan soal dominasi individu, tetapi soal membangun kapasitas kolektif untuk perubahan.

Jika kita terus mengandalkan pengorbanan simbolik sebagai solusi, maka kita hanya memperpanjang siklus krisis. Saatnya membangun institusi yang tangguh secara sistemik—dan cukup rendah hati untuk belajar dari sejarahnya sendiri.

Daftar Referensi:

Edelman, Murray. 1988. Constructing the Political Spectacle. Chicago: University of Chicago Press. Diakses 31 Oktober 2025. https://press.uchicago.edu/ucp/books/book/chicago/C/bo5948882.html

Vosoughi, Soroush, Deb Roy, dan Sinan Aral. 2018. “The Spread of True and False News Online.” Science 359, no. 6380 (2018): 1146–1151. Diakses 31 Oktober 2025. https://www.science.org/doi/10.1126/science.aap9559

Luhmann, Niklas. 1979. Trust and Power. Chichester: Wiley. Diakses 31 Oktober 2025. https://archive.org/details/trustpowertwowor0000luhm

Girard, René. 1977. Violence and the Sacred. Translated by Patrick Gregory. Baltimore: Johns Hopkins University Press. Diakses 31 Oktober 2025. https://en.wikipedia.org/wiki/Violence_and_the_Sacred

Transparency International. 2021. Global Corruption Barometer: Law Enforcement. Diakses 31 Oktober 2025. https://www.transparency.org/en/news/global-corruption-barometer-law-enforcement

OECD. 2023. Government at a Glance 2023. Paris: OECD Publishing. Diakses 31 Oktober 2025. https://www.oecd.org/gov/government-at-a-glance-2023-1c3c2523-en.htm

Burns, James MacGregor. 1978. Leadership. New York: Harper & Row. Diakses 31 Oktober 2025. https://www.worldcat.org/title/leadership/oclc/4032381

***

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya berjudul “Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasi di Era Transformasi Sosio- Digital” (Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2025) dan buku yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *