Setiap Agustus, sebuah opera kolosal dipentaskan di seluruh penjuru negeri. Negara, sebagai sutradara agung, telah menulis naskah yang sama selama puluhan tahun: kibarkan bendera, kumandangkan lagu kebangsaan, dan rayakan kemerdekaan.
Ini adalah ritual yang dirancang untuk membangkitkan kebanggaan, sebuah dogma yang menuntut kepatuhan tanpa syarat. Namun, panggung ini mulai goyah. Di tengah koor pujian yang diorkestrasi, muncul suara-suara sumbang—bukan dari teriakan, melainkan dari kebisuan tiang-tiang bendera yang telanjang dan, yang paling provokatif, dari cengengesan tengkorak bertopi jerami Jolly Roger yang berkibar di jalanan.
Fenomena ini, mulai dari pembangkangan pasif hingga pemberontakan simbolik yang terinspirasi dari anime One Piece, adalah lebih dari sekadar “kegaduhan” musiman. Menganggapnya sebagai dekadensi moral atau ketidaktahuan sejarah adalah sebuah simplifikasi yang berbahaya dan arogan. Ini adalah gejala dari keretakan yang dalam antara narasi agung negara dan realitas getir warganya.
Ini adalah memo penolakan, sebuah deklarasi bahwa kontrak sosial-simbolik yang selama ini menopang legitimasi negara sedang dinegosiasikan ulang secara paksa dari bawah. Untuk memahaminya, kita harus berhenti menjadi penonton yang patuh dan mulai membaca pertunjukan perlawanan ini dengan kacamata kritis.
Ketika Simbol Kehilangan Makna Sebenarnya
Bendera, pada hakikatnya, adalah selembar kain yang rapuh. Kekuatannya tidak terletak pada benang-benangnya, melainkan pada makna yang disematkan padanya. Stuart Hall, seorang pemikir studi budaya, menegaskan bahwa makna tidak pernah tetap; ia adalah arena pertarungan di mana berbagai kelompok berusaha “mengartikulasikan” atau menghubungkan sebuah simbol dengan agenda mereka.
Selama puluhan tahun, negara berhasil memonopoli artikulasi Merah-Putih sebagai representasi heroisme, persatuan, dan pengorbanan. Namun, laporan media tentang warga yang mengibarkan bendera One Piece sebagai protes terhadap pemerintah menunjukkan bahwa monopoli itu telah pecah.
Mereka secara aktif melakukan re-coding, membajak proses pemaknaan. Bagi mereka, Jolly Roger—simbol perlawanan terhadap tirani World Government dalam cerita—menjadi penanda yang lebih akurat untuk perjuangan mereka melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan di dunia nyata.
Di sinilah kita bertemu dengan pandangan pesimistik Jean Baudrillard. Filsuf Prancis ini berpendapat bahwa kita hidup dalam simulakra, sebuah dunia yang dipenuhi salinan tanpa asli. Perayaan kemerdekaan tahunan, dengan segala upacara dan kewajiban mengibarkan benderanya, berisiko menjadi sebuah hiperrealitas: sebuah simulasi patriotisme yang begitu sempurna sehingga menutupi ketiadaan esensinya.
Bendera Merah-Putih, dalam konteks ini, bisa jadi telah terlepas dari realitas kemerdekaan yang sesungguhnya—kemerdekaan dari kemiskinan, kebodohan, dan korupsi. Ia menjadi simbol kosong yang dirayakan dalam sebuah ritual, sementara “padang pasir kenyataan” (the desert of the real) di luar sana semakin gersang. Ironisnya, bendera bajak laut dari dunia fiksi justru terasa lebih “nyata” karena ia terhubung langsung dengan emosi dan perjuangan yang otentik.
Pertanyaannya menjadi provokatif: bendera mana yang sebenarnya sedang berbohong?
Pilihan Sadar Melawan Keterasingan Sistem
Sering kali, tindakan tidak mengibarkan bendera dicap sebagai apatisme atau kemalasan. Namun, perspektif sosiolog Max Weber memaksa kita untuk melihatnya secara berbeda. Weber membedakan tindakan sosial, dan apa yang kita saksikan bisa jadi bukanlah tindakan afektif (emosional) atau tindakan tradisional (karena kebiasaan), melainkan sebuah tindakan rasional bernilai (value-rational action).
Ini adalah sebuah pilihan yang dibuat berdasarkan keyakinan etis atau prinsip, terlepas dari konsekuensinya. Individu yang memilih tidak mengibarkan bendera mungkin telah melakukan kalkulasi moral: “Saya tidak bisa secara sadar mengafirmasi sebuah sistem yang saya yakini tidak adil”. Ini bukan sikap abai, melainkan sebuah pernyataan sikap yang meditatif dan disengaja.
Tindakan rasional ini adalah respons langsung terhadap kondisi yang oleh Karl Marx disebut sebagai alienasi atau keterasingan. Dalam analisis Marx, buruh terasing dari produk kerjanya. Dalam konteks modern, warga negara dapat merasa terasing dari negara. Mereka merasa seperti pekerja di “pabrik negara” raksasa, diwajibkan membayar pajak dan mematuhi hukum, tetapi tidak memiliki kontrol atau kepemilikan atas “produk” yang dihasilkan—kebijakan, hukum, dan keadilan.
Negara dan simbol-simbolnya, termasuk bendera, terasa seperti properti milik manajer (elite politik), bukan milik para pekerja (warga). Dari perspektif ini, program seperti “Gerakan Pembagian 10 Juta Bendera” yang diinisiasi Kemendagri pada 2024 tampak seperti upaya manajemen untuk membagikan seragam baru kepada buruh yang mogok kerja, tanpa pernah bertanya mengapa mereka mogok. Ini adalah solusi permukaan untuk masalah yang akarnya sangat dalam, sebuah upaya menenangkan yang hanya mempertegas jurang keterasingan.
Perang Budaya Melawan Dominasi Negara
Panggung Agustus adalah arena pertarungan hegemoni yang sengit, seperti yang digambarkan oleh pemikir Italia, Antonio Gramsci. Hegemoni adalah cara kekuasaan mempertahankan diri bukan melalui kekerasan fisik semata, melainkan dengan membuat cara pandang dan nilai-nilainya diterima sebagai “akal sehat” (common sense) oleh masyarakat luas.
Kewajiban mengibarkan bendera adalah salah satu instrumen paling efektif untuk melanggengkan hegemoni negara; ia menormalisasi kepatuhan dan menyamakan patriotisme dengan ketaatan pada simbol. Namun, hegemoni tidak pernah absolut. Setiap upaya dominasi akan selalu melahirkan perlawanan, atau apa yang disebut Gramsci sebagai counter-hegemony.
Di sinilah seluruh fenomena pembangkangan menemukan tempatnya. Ancaman TPNPB-OPM di Papua yang melarang pengibaran Merah-Putih adalah bentuk perlawanan frontal. Namun, pengibaran bendera One Piece adalah bentuk perlawanan yang lebih subtil dan mungkin lebih berbahaya bagi hegemoni negara karena ia beroperasi di ranah budaya populer.
Ia adalah gerilya semiotik yang meretas kode dominan dan menyebarkan “virus” makna tandingan. Respons panik dari aparat, yang melakukan razia dan mengancam akan menindak, justru menunjukkan betapa rapuhnya hegemoni tersebut. Kekuasaan yang percaya diri tidak akan merasa terancam oleh selembar kain bergambar tengkorak.
Pertarungan ini, pada akhirnya, adalah soal identitas. Henri Tajfel, melalui Teori Identitas Sosial, menjelaskan bagaimana manusia mendefinisikan dirinya melalui keanggotaan dalam sebuah kelompok (in-group). Negara berupaya sekuat tenaga menjadikan “warga negara Indonesia” sebagai in-group primer.
Akan tetapi, ketika kelompok ini dirasa gagal memberikan rasa aman, kebanggaan, atau keadilan, individu akan mencari atau membentuk in-group alternatif. Mereka yang merasa terpinggirkan oleh sistem mungkin tidak lagi merasa terwakili oleh Merah-Putih.
Sebaliknya, mereka menemukan identitas dan solidaritas baru sebagai “kru” Topi Jerami, sebuah kelompok yang nilai-nilai utamanya adalah kebebasan, persahabatan, dan perlawanan terhadap tirani. Ini adalah pembentukan identitas tandingan yang menjadikan negara sebagai out-group—pihak luar yang harus dilawan.
Pada akhirnya, negara dihadapkan pada sebuah pilihan: terus memaksakan resep nasionalisme usang dengan ancaman dan imbauan, atau mulai mendengarkan suara-suara sumbang yang kini berkibar di tiang-tiang bendera.
Sebab kebisuan dan cengengesan simbolik di bulan Agustus bukanlah pengkhianatan, melainkan umpan balik yang paling jujur. Itu adalah tanda bahwa kapal besar bernama Indonesia mungkin masih berlayar, tetapi semakin banyak awaknya yang merasa kaptennya tidak lagi berlayar menuju pulau harta karun yang sama.
Referensi Teoretis
Baudrillard, J. (1994). Simulacra and Simulation. University of Michigan Press. Tautan Akses Terbuka (PDF): https://edisciplinas.usp.br/pluginfile.php/4397756/mod_resource/content/1/baudrillard-jean-simulacra-and-simulation.pdf
Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. International Publishers. Tautan Akses Terbuka (PDF Cuplikan/Ringkasan): https://warwick.ac.uk/fac/arts/english/currentstudents/undergraduate/modules/fulllist/special/interdisciplinary/theoryfromthemargins/gramsci_hegemony.pdf
Hall, S. (1980). Encoding/Decoding. In S. Hall, D. Hobson, A. Lowe, & P. Willis (Eds.), Culture, Media, Language. Hutchinson. Tautan Akses Terbuka (PDF): https://www.halllegacy.com/wp-content/uploads/2021/09/Encoding-and-Decoding-in-the-Television-Discourse-1973.pdf
Marx, K. (1844). Economic and Philosophic Manuscripts of 1844. Tautan Akses Terbuka (Teks Lengkap): https://www.marxists.org/archive/marx/works/1844/manuscripts/preface.htm
Tajfel, H., & Turner, J. C. (1979). An integrative theory of intergroup conflict. Dalam W. G. Austin & S. Worchel (Eds.), The social psychology of intergroup relations. Tautan Akses Terbuka (PDF): https://www.socialpsychology.org/social/tajfel&turner1979.pdf
Weber, M. (1978). Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology. University of California Press. (Terutama Bagian I, Bab 1). Tautan Akses Terbuka (PDF, Bab 1): https://openpress.usask.ca/classicreadings/chapter/max-weber-basic-sociological-terms/
Referensi Berikat
Sukseskan Gerakan Pembagian 10 Juta Bendera Merah Putih, Kemendagri Apresiasi Dukungan Pemda dan Swasta (Kemendagri, 2024). Tautan Akses Terbuka: https://www.kemendagri.go.id/berita/read/33580/sukseskan-gerakan-pembagian-10-juta-bendera-merah-putih-kemendagri-apresiasi-dukungan-pemda-dan-swasta
TPNPB-OPM Ancam Tembak Warga Sipil yang Rayakan HUT RI di Intan Jaya (CNN Indonesia, Agustus 2023). Tautan Akses Terbuka: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230815190903-20-986470/tpnpb-opm-ancam-tembak-warga-sipil-yang-rayakan-hut-ri-di-intan-jaya
Warga Diimbau Kibarkan Bendera Merah Putih 1-31 Agustus 2024, Ada Sanksinya Jika Merusak (Detik.com, Agustus 2024). Tautan Akses Terbuka: https://www.detik.com/sulsel/berita/d-7467798/warga-diimbau-kibarkan-bendera-merah-putih-1-31-agustus-2024-ada-sanksinya-jika-merusak
***
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya berjudul “Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasi di Era Transformasi Sosio- Digital” (Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2025) dan buku yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.