“Anis, mama baru mau cium kamu dan belikan kamu tepak yang baru kalau kamu kerjakan PR-mu sekarang!” tegas ibunya.
“Nggak mau, ah! Bukannya kata mama, tepakku masih bagus?” bantah Anis.
Benar juga dia, ibunya membatin.
“Lantas, apa maumu, Nis? Dijitak?” tanya ibunya sedikit jengkel.
Tanpa mengucap sepatah kata pun, sembari membuang muka, Anis ngeloyor meninggalkan meja belajar ke kamar mandi.
“Anis! Pengin mama laporkan kelakuanmu ini ke Papa biar diceplis lagi pakai penggaris?” teriak ibunya sembari memburu ke kamar mandi.
Kamar mandi sudah tergerendel dari dalam. Ibunya beberapa kali menggedor pintu dan berusaha membuka.
Dari dalam terdengar isak tangis. “Aku benci Mama! Aku benci Mama! Besok aku tak mau sekolah!” teriak Anis sambil menangis.
Ibunya menghentikan gedoran pintu. Tanpa disadari, kemarahannya berangsur menghilang, berganti kesedihan yang dalam. Tanpa terasa ia meneteskan air mata.
Ia teringat kata psikolog di sekolah, “Bu, Anis sebenarnya anak yang sangat mudah dan cepat mempelajari sesuatu kalau persoalan yang ia hadapi menarik baginya. Bukan tugas atau soal yang tidak berhubungan dengan minatnya. Selain itu, Bu, Anis dapat dengan cepat melakukan pemecahan masalah apa pun, asal ia tidak diburu-buru dan diberi kebebasan menyelesaikan menurut caranya sendiri”.
Profil kecerdasan jamak Anisa Bara Mardika menunjukkan, dominasi pada Logika Matematika (93), Logika Bahasa (76), dan Spasial (78); sementara ia lemah pada musik (24).
Whatever and however its development, he is still your child. There’s no other reason unless you give him unconditional compassion. (ES)
sumber foto: thedailyriff.com
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di laman MayaAksara.com