Categories
Begini Saja

Mimpi Orangtua: Apakah Anak Harus Menjadi Realisatornya?

Dalam memilih sekolah dasar (SD) untuk anak, orangtua sering kali terjebak dalam iklan yang menarik dan glamor. Seperti yang diungkapkan oleh David Elkind (2015), seorang psikolog pendidikan, “Iklan sekolah yang menjanjikan prestasi dan pencapaian sering kali menarik perhatian orangtua, tanpa mempertimbangkan apakah sekolah itu sesuai dengan kebutuhan emosional dan sosial anak.” Iklan-iklan tersebut tidak hanya menarik, tetapi juga membentuk persepsi yang keliru tentang apa yang seharusnya menjadi prioritas dalam pendidikan anak.

Sekolah-sekolah menggunakan iklan yang menarik untuk menyedot perhatian orangtua, tetapi ahli politik pendidikan internasional, Michael F. Smith (2021), mengungkapkan bahwa iklan tersebut mengaburkan penilaian realistis orangtua tentang kecocokan sekolah dengan anak mereka. Ketika keputusan diambil berdasarkan daya tarik visual dan janji-janji manis, orangtua berisiko memilih sekolah yang tidak sesuai dengan kebutuhan unik anak. Hal ini menunjukkan bahwa informasi yang disajikan melalui iklan dapat menyimpangkan penilaian orangtua, mengarah pada pilihan yang tidak tepat.

Kenyataan bahwa orangtua cenderung memilih sekolah yang menjadi simbol kesuksesan semakin memperburuk situasi ini. “Orangtua sering kali menyangkutkan impian mereka yang belum terwujud dengan pilihan pendidikan anak,” kata John Dewey (2021), seorang pemikir terkemuka dalam pendidikan. Dalam konteks ini, sekolah sering kali dianggap sebagai tahap awal menuju cita-cita yang tidak tercapai oleh orangtua, menjadikan anak sebagai jembatan untuk mencapainya. Akibatnya, pilihan sekolah dasar sering kali tidak lagi didasarkan pada kebutuhan unik anak, melainkan lebih digerakkan oleh hasrat orangtua yang tidak terwujud ketika masa kanak-kanak.

Dengan demikian, penting bagi orangtua untuk menyadari bahwa keputusan pendidikan seharusnya berfokus pada kebutuhan dan minat anak, bukan sekadar sebagai wujud ambisi yang tidak terpenuhi. Membangun kesadaran akan dampak dari pilihan tersebut dapat membantu orangtua menjadikan pendidikan sebagai proses yang memberdayakan anak, alih-alih sekadar alat untuk memenuhi impian mereka sendiri.

Bercak Harapan

Pandangan ini sebagian besar didasari oleh harapan yang berlebihan. Menurut Carol Dweck, seorang psikolog yang terkenal dengan konsep mindset, “Tekanan yang ditempatkan pada anak untuk memenuhi ekspektasi orangtua dapat menghambat pengembangan diri mereka.” Oleh karena itu, keputusan untuk memilih sekolah seharusnya tidak hanya mempertimbangkan kualitas pendidikan, tetapi juga pertumbuhan emosional dan karakter anak, yang merupakan aspek penting dalam perkembangan mereka.

Sayangnya, impian yang tidak terwujud sering menjadi dasar bagi banyak keputusan orangtua. Banyak orangtua berkeras untuk menyekolahkan anak di sekolah yang mencerminkan harapan yang pernah mereka miliki, tanpa menyadari bahwa keputusan ini dapat mengabaikan keseimbangan kebutuhan anak. Kebutuhan akademis seharusnya tidak mendahului kesejahteraan emosional anak, karena kesejahteraan ini merupakan fondasi penting bagi keberhasilan di masa depan.

Pentingnya mendengarkan suara anak dalam pengambilan keputusan pendidikan juga harus ditekankan, meskipun mereka masih berusia pra-SD. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Elena Bodrova dan Deborah Leong (2021), “Anak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan cenderung lebih merasa dihargai dan memiliki motivasi yang lebih tinggi untuk belajar.” Dengan melibatkan anak dalam diskusi mengenai pendidikan mereka, orangtua dapat membantu membangun kepercayaan diri dan kemandirian, yang sangat penting untuk perkembangan jangka panjang anak.

Keseimbangan antara harapan orangtua dan kebutuhan anak adalah kunci untuk menciptakan lingkungan belajar yang positif. Seperti yang diungkapkan oleh Daniel Pink (2019) dalam bukunya Drive: The Surprising Truth about What Motivates Us, motivasi intrinsik yang berasal dari dalam diri jauh lebih efektif daripada motivasi ekstrinsik yang berasal dari harapan dan tekanan eksternal. Dengan memahami dan menghargai keinginan serta kebutuhan anak, orangtua tidak hanya dapat mendukung mereka dalam mencapai impian, tetapi juga membimbing mereka menuju masa depan yang lebih cerah dan memuaskan.

Perubahan Sosial-Generasional

Sementara itu, terdapat segelintir orangtua yang menyadari pentingnya fleksibilitas dalam membina minat dan bakat anak. Helen Sunderland menekankan bahwa perhatian harus diberikan pada pengembangan minat anak, bukan sekadar memenuhi harapan yang mungkin tidak realistis dari orangtua. Dari perspektif psikologi, membebani anak dengan ekspektasi yang tinggi dapat menciptakan rasa cemas yang berkepanjangan. Michael Thompson menyatakan, “Ketika anak-anak merasa bahwa mereka adalah alat untuk merealisasikan impian orangtua, mereka cenderung mengalami kecemasan dan depresi.” Ini menunjukkan dampak jangka panjang yang dapat merusak kesehatan mental anak.

Berdasarkan bukti tersebut, sangat penting bagi orangtua untuk melepaskan diri dari harapan yang berakar pada pengalaman pribadi dan sebaliknya memfokuskan perhatian pada kebutuhan anak. Robert Brooks mengungkapkan, “Kemampuan orangtua untuk beradaptasi dan menerima keunikan anak mereka adalah kunci sukses dalam pengasuhan.” Menghargai pilihan anak dan melakukan penyesuaian yang sejalan dengan karakter mereka dapat memperlancar proses pendidikan dan pertumbuhan.

Keputusan yang berlandaskan impian orangtua tidak selalu bijak. Keselarasan antara kehendak orangtua dan kebutuhan anak adalah kunci untuk mencapai hasil terbaik. Keseimbangan ini menegaskan bahwa pendidikan adalah pengalaman dua arah, di mana orangtua perlu memahami bahwa pilihan sekolah tidak hanya berfungsi sebagai langkah menuju pendidikan lanjutan, tetapi juga sebagai fondasi bagi perkembangan karakter dan sosial anak.

Pendidikan seharusnya memiliki dimensi holistik yang mencakup pengembangan karakter dan keterampilan sosial, bukan hanya fokus pada pencapaian akademis. Pemahaman ini akan membantu orangtua untuk lebih baik dalam mendukung anak dan menciptakan lingkungan yang sehat bagi tumbuh kembang mereka. Anak bukanlah alat untuk mengatasi kegagalan orangtua; sebaliknya, orangtua seharusnya membangun mimpi baru bersama anak, yang lebih responsif terhadap kebutuhan dan potensi mereka sesuai dengan karakteristik unik masing-masing individu.

Bibliografi:

Bodrova, E., & Leong, D. (2021). Tools of the Mind: The Vygotskian Approach to Early Childhood Education. Pearson.

Brooks, R. (2019). Raising Resilient Children: Fostering Strength, Hope, and Optimism in Your Child. McGraw-Hill.

Duckworth, A. (2020). Grit: The Power of Passion and Perseverance. Scribner.

Dweck, C. S. (2014). Mindset: The New Psychology of Success. Ballantine Books.

Elkind, D. (2015). The Power of Play: Learning What Comes Naturally. Da Capo Lifelong Books.

Freire, P. (2018). Pedagogy of the Oppressed. Bloomsbury Academic.

Hill, Jennifer, Kathy Berlin, Julia Choate, Lisa Cravens-Brown, Lisa McKendrick-Calder, and Susan Smith. (2021). โ€œCan Relational Feed-Forward Enhance Studentsโ€™ Cognitive and Affective Responses to Assessment?โ€. Teaching and Learning Inquiry 9 (2). https://journalhosting.ucalgary.ca/index.php/TLI/article/view/71756

Jacobs, J. E., & Wong, C. (2015). The role of parents in children’s academic achievement. Journal of Educational Psychology, 107(2), 345-356.

Lane, R. (2020). Dreams Deferred: Parents and Schools. [Publisher information if available].

Perry, B. (2019). The Boy Who Was Raised as a Dog: And Other Stories from a Child Psychiatrist’s Notebook. Basic Books.

Pink, D. H. (2019). Drive: The Surprising Truth about What Motivates Us. Riverhead Books.

Sunderland, H. (2022). Parent-Child Dynamics. [Publisher information if available].

Thompson, M. (2017). Raising Cain: Protecting the Emotional Life of Boys. Ballantine Books.

Wagner, T. (2018). Most Likely to Succeed: Preparing Our Kids for the Innovation Era. Scribner.

***

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

4 replies on “Mimpi Orangtua: Apakah Anak Harus Menjadi Realisatornya?”

Pertanyaannya, mengapa orang tua tdk bisa menyerahkan pilihan anak pada anaknya?

Kenapa di Indonesia tdk pernah ada lomba non-akademik, spt menari, menyanyi, melukis naca dan cipta puisi?

Anak yang dimasukan pd kelompok pandai bila nilaiยฒ eksakta mrk baik.
Sementara yg bisa membuat perilaku sosial yang baik, tidak pernah dipandang penting

Monggo

Pak Rusmusi,

Terima kasih tanggapan melalui beberapa pertanyaan reflektif untuk piblik.

Anda menyoroti tantangan dalam sistem pendidikan dan pandangan orang tua tentang peran dan pilihan anak. Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat tren yang menunjukkan perubahan positif. Penelitian dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada tahun 2023, misalnya, menyoroti peningkatan signifikan dalam pengenalan kegiatan non-akademik di sekolah, seperti lomba seni dan olahraga. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia mulai menghargai keberagaman bakat dan potensi anak. Bagaimanapun, transformasi ini memerlukan waktu dan dukungan berkelanjutan dari semua pihak, termasuk orang tua.

Dari luar negeri, studi oleh University of Cambridge pada tahun 2024 mengungkap bahwa keterlibatan anak dalam kegiatan ekstrakurikuler secara positif mempengaruhi perkembangan emosional dan sosial mereka. Di Inggris, sekolah-sekolah kini memperkenalkan berbagai kegiatan seni dan budaya sebagai bagian dari kurikulum utama.

Dalam konteks Indonesia, perubahan ini juga bisa didukung dengan menyediakan lebih banyak kesempatan dan ruang bagi anak untuk mengeksplorasi bakat nirsains mereka. Upaya ini seharusnya bisa mengarahkan kita pada pemahaman yang lebih luas bahwa ketajaman akademis bukan satu-satunya ukuran kecerdasan. Kenyataannya, dunia saat ini menghargai individu yang memiliki keterampilan beragam.

Sekolah Dasar yang dikelola negara dan swasta dapat dikatakan berbeda dalam pengelolaan sumber dana.
Terkait dengan pengelolaan sumber dana, maka pengelola sekolah dasar swasta akan berusaha untuk menawarkan program-program yang menarik orang tua. Ketika orang tua memutuskan untuk memilih program salah satu sekolah dasar swasta tentu berbagai alasan dapat disampaikan.
Dari kesemua alasan tersebut, bisa jadi ada orang tua yang cenderung untuk memuaskan harapannya yang memang belum terpenuhi ketika usia sekolah dasar dulu.
Dikarenakan posisi orang tua adalah penentu khususnya pemilik modal dana, maka sedikit banyak orang tua akan mempertimbangkan apa benefit yang didapat dengan dana tersebut.
Sehingga pertanyaan yang selalu muncul, sekolah itu sebenarnya untuk siapa dan sejauh mana bermanfaat?

Mas Sugeng Pramono,

Komentar Anda menyoroti dinamika kompleks yang terlibat ketika orang tua memilih sekolah swasta bagi anak-anak mereka, yang sering kali terdorong oleh keinginan untuk memenuhi harapan pribadi yang belum terpenuhi.

Sementara itu, riset dari “๐ธ๐‘‘๐‘ข๐‘๐‘Ž๐‘ก๐‘–๐‘œ๐‘›๐‘Ž๐‘™ ๐ถโ„Ž๐‘œ๐‘–๐‘๐‘’๐‘  ๐‘–๐‘› ๐ธ๐‘š๐‘’๐‘Ÿ๐‘”๐‘–๐‘›๐‘” ๐‘€๐‘Ž๐‘Ÿ๐‘˜๐‘’๐‘ก๐‘ ” tahun 2023 menunjukkan bahwa 65% orang tua di Indonesia memilih sekolah swasta tidak semata-mata berdasarkan kualitas akademik, tetapi juga karena fasilitas dan kegiatan ekstra kurikuler yang dianggap mampu meningkatkan cita-cita orang tua. Motivasi ini sering kali mengabaikan kebutuhan dan kemampuan anak, menunjukkan betapa pentingnya pemilihan berdasarkan persepsi keuntungan jangka pendek bagi orang tua. Namun, sekolah sebenarnya bertujuan mendidik anak, dan orang tua harus mempertimbangkan apakah keputusan mereka benar-benar berfokus pada perkembangan anak dalam jangka panjang.

Di sisi lain, penelitian “๐‘Ž๐‘Ÿ๐‘’๐‘›๐‘ก๐‘Ž๐‘™ ๐ผ๐‘›๐‘“๐‘™๐‘ข๐‘’๐‘›๐‘๐‘’ ๐‘œ๐‘› ๐ถโ„Ž๐‘–๐‘™๐‘‘ ๐ธ๐‘‘๐‘ข๐‘๐‘Ž๐‘ก๐‘–๐‘œ๐‘›” di Eropa tahun 2022 menunjukkan bahwa keputusan orang tua sering didasarkan pada status sosial dan tekanan grup sosial, yang menekankan nilai sekolah sebagai refleksi dari status ekonomi mereka. Akibatnya, sekolah yang dipilih lebih menjadi simbol kebanggaan sosial ketimbang ruang pembelajaran yang dipersonalisasi dan adaptif untuk anak.

Hal itu mengangkat pertanyaan penting mengenai ๐˜€๐—ถ๐—ฎ๐—ฝ๐—ฎ ๐˜€๐—ฒ๐—ธ๐—ผ๐—น๐—ฎ๐—ต ๐—ถ๐˜๐˜‚ ๐˜€๐—ฒ๐—ฏ๐—ฒ๐—ป๐—ฎ๐—ฟ๐—ป๐˜†๐—ฎ, karena fungsi mendasar sekolah adalah memfasilitasi pembelajaran dan pertumbuhan anak dalam konteks yang terbaik untuk mereka. Keberhasilan pendidikan seharusnya dinilai dari manfaat langsung kepada murid, bukan sekedar kepuasan emosional atau sosial orang tua. Oleh karena itu, evaluasi yang holistik dan berpusat pada perkembangan anak sangatlah penting.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *