Narcissistic Personality Disorder (NPD) menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi ke-5 (DSM-5) ditandai oleh pola grandiositas, kebutuhan berlebihan akan kekaguman, kurangnya empati, dan eksploitasi interpersonal (American Psychiatric Association [APA], 2013).
Dalam konteks ini, perilaku Donald Trump, terutama dalam kebijakan dagang yang kerap menonjolkan klaim kemenangan spektakuler dan menempatkan diri sebagai pemegang kendali absolut, dapat dianalisis melalui kriteria tersebut.
Psikiater John Gartner (2017) mendeskripsikan fenomena “malignant narcissism” yang memadukan narsisme dengan ciri-ciri antisosial dan paranoid—pola yang dinilai mencerminkan reaksi agresif Trump terhadap kritik dan pendekatan tanpa kompromi dalam negosiasi dagang.
Sementara itu, Kernberg (2016), seorang tokoh di bidang psikologi kepribadian, menyatakan bahwa gaya hidup episodik—dalam hal ini fokus pada kesuksesan sesaat tanpa visi jangka panjang—menjadi salah satu penguat argumen adanya gangguan kepribadian narsisistik.
Kritik Terhadap Diagnosis Jarak Jauh
Meski demikian, Allen Frances (2017), mantan ketua panel DSM-IV, mengingatkan bahwa diagnosis NPD harus dilakukan hati-hati, khususnya jika tanpa pemeriksaan langsung, karena berdampak terhadap fungsi personal dan interaksi sosial pasien yang wajib dinilai secara holistik. Frances juga memperingatkan potensi politisasi diagnosis psikiatri, apalagi dalam konteks figur publik seperti Trump.
Dari sisi psikologi politik, Mudde (2019) menilai bahwa perilaku yang tampak narsisistik dapat pula merupakan alat strategi politik populis. Retorika “win at all costs” yang digunakan Trump, termasuk dalam negosiasi perdagangan, adalah salah satu bentuk demagogi yang memanfaatkan emosi massa tanpa harus berakar pada gangguan mental (Hetherington & Weiler, 2018). Pendekatan ini memungkinkan pemimpin mempertahankan kekuasaan dengan mengorbankan kompromi dan keseimbangan.
Dampak Kepemimpinan Narsisistik
Dalam skala sosial-politik, kepemimpinan dengan ciri narsisistik dapat memperdalam polarisasi dan retorika yang memecah-belah (Renshon, 2017). Dalam konteks perjanjian dagang Trump—seperti yang banyak diberitakan media termasuk Kompas (24/7/2025)—ketidaklaziman dalam memberi konsesi kepada negara lain mencerminkan orientasi kepentingan tunggal yang sering mengabaikan kompromi sosial dan hubungan jangka panjang.
Brunell et al. (2013) membedakan narsisme adaptif yang digunakan sebagai taktik negosiasi keras—umum ditemukan pada banyak pemimpin dunia—dari narsisme patologis yang berdampak destruktif pada hubungan dan pengambilan keputusan.
Namun, keunikan Trump terletak pada intensitas dan konsistensi agresifnya dalam menghadapi kritik yang melekat pada pola narsisistik, yang tidak lazim pada tingkat kepemimpinan kelas dunia (Lykken, 2018).
Antara Gangguan Kepribadian dan Strategi Politik
Menempatkan Donald Trump dalam kategori NPD secara klinis tidak bisa hanya berdasar perilaku publik atau retorika politik, tetapi harus melibatkan asesmen mendalam. Sebaliknya, menolak label ini sepenuhnya pun tak menghilangkan indikasi bahwa narsisme berperan signifikan dalam gaya kepemimpinannya.
Fenomena ini menegaskan bahwa narsisme bisa muncul sebagai ciri sifat sekaligus sebagai strategi adaptif dalam arena politik, di mana penonjolan diri dan kekerasan retorika menjadi instrumen untuk memenangkan dukungan dan negosiasi (Twenge & Campbell, 2018). Namun, ketika intensitas narsisme ini melampaui batas wajar, potensi risiko bagi stabilitas sosial dan politik menjadi nyata.
Integrasi Perspektif Psikologi dan Politik
Ringkasnya, perilaku Donald Trump dalam ranah kebijakan dagang dan politik mencerminkan sejumlah ciri Narcissistic Personality Disorder sebagaimana dikonsepkan dalam DSM-5 (APA, 2013), diperkuat oleh pemikiran para ahli psikiatri dan psikologi kepribadian (Gartner, 2017; Kernberg, 2016). Namun, ketiadaan pemeriksaan klinis langsung menjadi limitasi utama, serta adanya risiko politisasi diagnosis (Frances, 2017).
Dari perspektif psikologi politik, pola kepemimpinan Trump konsisten dengan gaya demagog populis yang memanfaatkan narsisme sebagai alat politik untuk memenangkan pertarungan kekuasaan (Mudde, 2019; Hetherington & Weiler, 2018). Meskipun demikian, kasus Trump menggarisbawahi pentingnya analisis multidimensi yang menggabungkan psikologi dan ilmu politik untuk memahami perilaku pemimpin.
Dengan demikian, evaluasi kepribadian figur publik seperti Trump hendaknya tidak hanya didasarkan pada ciri permukaan, melainkan harus dilakukan secara hati-hati dan bertanggung jawab agar tidak terjadi stigma atau politisasi yang berlebihan. Kepemimpinan modern membutuhkan pemahaman komprehensif yang berlandaskan bukti ilmiah serta kesadaran akan dinamika politik dan sosial yang kompleks.
Daftar Pustaka
American Psychiatric Association (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5). Arlington, VA: American Psychiatric Publishing.
Brunell, A. B., Gentry, W. A., Campbell, W. K., Hoffman, B. J., Kuhnert, K. W., & DeMarree, K. G. (2013). “Leader Narcissism and Perceived Injustice as Antecedents of Leader-Member Exchange Quality”. Journal of Management, 39(7), 1795–1818.
Frances, A. (2017). “Diagnosis Without a Face-To-Face Interview: The Risks of Remote Psychodiagnosis”. Journal of Psychiatric Practice, 23(4), 266-273.
Gartner, J. (2017). “Malignant Narcissism and Political Leaders: Understanding Narcissistic Traits in Public Figures”. Psychiatry Online.
Hetherington, M. J., & Weiler, J. D. (2018). Authoritarianism and Polarization in American Politics. Cambridge University Press.
Kernberg, O. F. (2016). “The Treatment of Patients with Narcissistic Personality Disorder”. Journal of Personality Disorders, 30(6), 689–704.
Kompas.com (2025, 24 Juli). “5 Kesepakatan Dagang Pertama Trump: Apa Beda Konsesi Indonesia dengan Negara Lain?”. Kompas.com. Diakses 24 Juli 2024. https://www.kompas.com/tren/read/2025/07/24/064500665/5-kesepakatan-dagang-pertama-trump-apa-beda-konsesi-indonesia-dengan-negara?utm_source=dlvr.it&utm_medium=facebook.
Lykken, D. T. (2018). “The Psychopathology of Political Leaders”. Behavioral Sciences & the Law, 36(2), 133-140.
Mudde, C. (2019). The Far Right Today. Polity Press.
Renshon, J. (2017). “The 2016 U.S. Presidential Election: The Role of Personality and Politics”. Political Psychology, 38(2), 273-280.
Twenge, J. M., & Campbell, W. K. (2018). The Narcissism Epidemic: Living in the Age of Entitlement. Atria Books.
***
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya berjudul “Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasi di Era Transformasi Sosio- Digital” (Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2025) dan buku yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.
2 replies on “Narsisme Politik: Donald Trump dari Perspektif Psikologi Politik”
Menyimak tuntas, Pak Edy.
Memang harus diakui bahwa Donald Trump punya kecenderungan narsistis dengan berbagai kecenderungan penunjangnya, walaupun riwayat hidupnya rupanya tidak banyak memperlihatkan kecenderungan yang berpusat pada diri sendiri tersebut. Saya belum menemukan media yang khusus membahas soal itu, walau dalam berbagai kasus, Donald Trump membanggakan kekayaannya yang mencapai Rp 100 triliun lebih, yang membuatnya dianggap sebagai salah satu Presiden AS kaya. Sekaligus juga ironis, karena kenyataannya, biaya kepresidenan pada masanya diduga paling besar dalam sejarah Amerika.
Kemunculannya dalam panggung politik tampaknya mengejutkan. Selain menampilkan dirinya sebagai orang kaya, cerdas dan mungkin juga licik yang cenderung kerap menandai perilaku seorang pengusaha dengan jaringan bisnis dan politik global yang tidak mudah dimiliki lawan politiknya, Donald Trump memperlihatkan bahwa Amerika bisa tampil seperti dirinya.
Dengan demikian, tindakan dan keputusannya di tengah merosotnya citra Amerika pasca-Perang Dingin yang berdampak terhadap kebangkitan dunia khususnya Timur Tengah dengan Wahabi dan kaum radikalnya, memberikan citra khusus berbau negatif kepada Donald Trump. Apalagi, Amerika menemukan dirinya nyaris gagal total di Afghanistan dan perjuangannya melawan terorisme yang menyasar langsung ke jantung Amerika. Bahkan terorisme seolah sudah diekspor bebas memasuki relung politik Amerika.
Dalam perspektif historis ini, saya memahami Donald Trump yang narsistis yang pada saat yang sama berjuang membentuk sebuah Amerika yang diharapkannya juga narsistis sekaligus menyasar kembalinya citra Amerika yang selama ini hancur lebur di mata lawan-lawannya.
Pak Jacobus, terima kasih responnya yang tidak hanya tuntas, tetapi all out.
Menurut hemat saya, kepemimpinan yang narsistik seperti Donald Trump justru memperlihatkan paradoks antara citra diri yang dibangun secara delusif dan realitas geopolitik yang kompleks.
Meski Trump berusaha memproyeksikan Amerika sebagai kekuatan superior, kebijakannya sering kali mengabaikan akar masalah, seperti kegagalan dalam menangani terorisme dan polarisasi sosial.
Psikopolitik mengungkap bahwa kepemimpinan semacam ini cenderung memanipulasi persepsi publik melalui retorika grandiositas, alih-alih solusi substantif. Faktanya, citra bangsa tidak bisa dibangun hanya dengan ilusi kejayaan, tetapi membutuhkan integritas dan kebijakan yang inklusif.
Pemimpin bukanlah “dewa penolong” yang bisa mengubah citra bangsa secara instan, apalagi jika ia terjebak dalam fantasi narsistik.
Trump mungkin berhasil memobilisasi dukungan dengan narasi “America First”, tetapi pendekatan arogan dan kontradiktif justru memperdalam krisis kepercayaan global terhadap AS.
Psikopolitik menegaskan bahwa kepemimpinan delusif hanya akan menghasilkan stabilitas semu, sementara masalah struktural tetap tak terselesaikan. Bangsa membutuhkan pemimpin yang mampu merefleksikan realitas, bukan sekadar membangun mitos keagungan diri.