Categories
Begini Saja

Negara, Buzzer, dan Demokrasi

Fakta di lapangan, seperti diungkap investigasi Harian Kompas pada April-Mei 2025 (Kompas.id, 4/6/2025), menunjukkan bahwa jejaring pendengung atau buzzer telah menjadi fenomena masif yang bekerja dengan tarif substansial, dari jutaan hingga miliaran rupiah per proyek, untuk merekayasa narasi dan membentuk opini publik.

Praktik ini didukung teknologi canggih seperti phone farming dan platform khusus untuk amplifikasi artifisial di media sosial. Kondisi ini menjadi dataran data yang mengkhawatirkan karena mengaburkan fakta dan realitas di dunia maya, berpotensi mengancam demokrasi jika tidak dikelola dengan serius, apalagi profesi pendengung ini tumbuh subur seiring kemajuan teknologi digital dan AI.

Pakar seperti Dahlgren (2018) menyoroti bagaimana ruang publik digital, yang idealnya menjadi arena diskursus demokratis, justru terdistorsi oleh aktor-aktor bayaran ini. Fenomena buzzer dan netizenbuzz tidak serta-merta menggantikan peran masyarakat sipil atau korporasi, melainkan menciptakan lapisan kompleks di mana identitas dan motivasi menjadi kabur, sering kali melayani kepentingan tersembunyi negara atau korporasi tertentu.

Pendapat otentik individu menjadi rentan tenggelam dalam serbuan unggahan atau komentar yang digerakkan mesin atau akun anonim. Temuan Kompas melacak jejaring ini di berbagai kota besar, melibatkan pendengung politik, pendengung produk, hingga agensi pemasaran digital. Para pendengung, atau pasukan siber, ini dibayar untuk menyebarkan konten tanpa mempertimbangkan akurasi dan etika.

Masalah utamanya adalah ketiadaan regulasi konten dan tata kelola yang mencegah kerusakan kepentingan publik, sehingga siapapun bisa menjadi target perusakan reputasi. Ironisnya, pengguna jasa ini seringkali adalah pihak bermasalah citra yang mencari benteng artifisial, bahkan sejumlah lembaga pemerintah turut mengalokasikan anggaran untuk mereka. Akibatnya, masyarakat sulit membedakan dukungan tulus dari komentar berbayar, membuat fakta di dunia maya kabur dan suara individu terpinggirkan. Riset Persily & Tucker (2020) juga mengonfirmasi bahwa operasi pengaruh digital semacam ini dapat merusak proses elektoral dan kepercayaan publik.

Fenomena pendengung yang liar tanpa pengaturan ini pada akhirnya akan merusak berbagai sendi kehidupan berbangsa. Ketiadaan filter informasi kredibel, ditambah masifnya penyebaran narasi palsu oleh buzzer, menciptakan polarisasi masyarakat dan hilangnya pijakan bersama dalam memahami realitas sosial-politik. Kondisi ini jelas merupakan ancaman langsung bagi demokrasi yang sehat dan berpotensi mengguncang stabilitas negara. Bukankah ini menandakan bahwa ruang dialog kita telah tercemar oleh kepentingan-kepentingan yang tak terlihat, mengorbankan kejernihan berpikir kolektif?

Kebebasan berekspresi di era digital datang dengan tanggung jawab besar, dan kegagalan membedakan informasi otentik dari manipulasi berbayar dapat mengikis fondasi demokrasi. Sebagai individu, langkah konkret yang bisa kita lakukan adalah meningkatkan literasi digital, memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya, serta mendukung jurnalisme berkualitas yang independen.

Disinformasi, Teror Digital, dan Kebebasan Berpendapat

Dataran data menunjukkan bahwa dampak negatif buzzer tidak hanya berhenti pada distorsi informasi, tetapi telah merambah pada tindakan teror dan intimidasi terhadap warga yang kritis. Kasus FY, penulis opini yang diteror hingga meminta tulisannya dihapus, teror terhadap mahasiswa UII penguji UU TNI, penarikan lagu kritik Sukatani, hingga pemaksaan maaf siswa di Bogor dan penangkapan mahasiswa ITB pembuat meme, adalah serangkaian bukti konkret.

Peristiwa-peristiwa ini sangat memprihatinkan mengingat UUD 1945 menjamin hak menyatakan pikiran, berpendapat, dan rasa aman. Han (2017) dalam Psychopolitics menjelaskan bagaimana teknologi digital menjadi instrumen baru bagi negara untuk kontrol psikis dan politik, melampaui batas teritorial fisik. Ketika negara tidak diawasi, ia berpotensi menggunakan kekerasan acak untuk intimidasi demi tujuan politik.

Tindakan teror dan intimidasi ini meruntuhkan bangunan konstitusional dan menghilangkan kedaulatan rakyat melalui represi. Persoalan menjadi lebih serius jika pelaku teror adalah aparat negara sendiri, memunculkan pertanyaan apakah negara bisa menjadi pelaku “state terrorism” terhadap warganya. Contohnya adalah perlakuan Israel pada Palestina atau teror Myanmar pada Rohingya karena perbedaan ras dan agama.

Berbagai negara lain juga melakukan teror dengan beragam justifikasi, namun intinya sama: negara melakukan kekerasan sipil untuk motif politik. Teori “negara digital” dari Zuboff (2019) mengingatkan bahwa kekuasaan negara kini juga berwujud pengumpulan dan kontrol data masif untuk menargetkan disiden. Korporasi teknologi raksasa seringkali menjadi mitra negara dalam agenda ini, membuat batas kekuasaan state dan market/corporate semakin kabur.

Indonesia memiliki sejarah kelam teror negara di era Orde Baru, seperti kasus Waduk Kedungombo, DOM Aceh, hingga Trisakti, akibat konfigurasi politik yang monolitik tanpa check and balance. Kondisi monolitik ini mendorong “state terrorism” yang membungkam kebebasan. Penggunaan buzzer oleh elemen negara atau afiliasinya untuk menyerang kritik menunjukkan potensi kembalinya taktik serupa dalam format digital, di mana intimidasi dilakukan melalui serangan siber. Tidakkah ini menjadi sebuah ironi, di mana alat yang seharusnya memberdayakan justru menjadi senjata untuk membungkam suara-suara yang berbeda?

Sulit dibantah, perlindungan kebebasan berpendapat adalah pilar demokrasi yang harus dijaga dari segala bentuk intimidasi, baik fisik maupun digital, terutama yang dilakukan oleh aktor negara atau yang bersembunyi di baliknya. Secara individual, kita dapat melawan dengan tidak gentar menyuarakan kebenaran secara bertanggung jawab, mendukung mereka yang menjadi korban teror digital, dan menuntut akuntabilitas dari setiap tindakan represif.

Pembelajaran Sejarah Demokrasi dan Masa Depan Digital

Keprihatinan atas gelombang teror dan tekanan terhadap media saat ini berakar pada kesadaran akan luka sejarah serupa di masa lampau, yang mendorong amandemen UUD 1945 untuk menegaskan kedaulatan rakyat, negara hukum, pembatasan kekuasaan, dan jaminan HAM. Ini menjadi dataran data penting yang mengiringi demokratisasi pasca-Orde Baru. Meski pemerintahan silih berganti dengan dinamika tarik-menarik kekuasaan dan hak warga, di era Reformasi awal hingga pertengahan, suara warga dan pers masih signifikan.

Namun, dalam dua periode terakhir, konfigurasi kekuasaan menjauh dari semangat negara hukum dan demokrasi. Perdebatan teoretik, seperti diungkapkan Castells (2015), menunjukkan bahwa teknologi digital selain bisa untuk represi, juga berpotensi untuk pengorganisasian masyarakat sipil. Buzzer yang dimobilisasi negara/korporasi tidak otomatis menghapus kemampuan masyarakat sipil berorganisasi, justru memicu kebutuhan literasi digital kritis dan strategi perlawanan siber prodemokrasi.

Teror terhadap penulis FY dan mahasiswa UII adalah bukti penguasa dan aparatnya tidak belajar dari sejarah otoritarianisme, di mana negara pernah menjadi aktor teror dan hukum melayani kekuasaan (machstaat). Ada pandangan sejarah bergerak linier maju, ada yang melihat kemungkinan mundur, dan ada yang siklikal. Indonesia kini seolah mengalami siklus berputar dengan kekuasaan monolitik, dukungan aparat dan partai kuat, sementara warga dan media dikendalikan.

Ini bukan arah yang diinginkan; sejarah Indonesia idealnya linier menuju negara demokratis dan humanis. Riset Howard & Kollanyi (2016) menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas algoritma media sosial untuk mencegah manipulasi, sementara Benkler (2016) menggarisbawahi potensi produksi informasi kolaboratif sebagai penyeimbang.

Untuk mencapai kemajuan dalam “negara digital” diperlukan lebih dari sekadar regulasi; upaya memperkuat masyarakat sipil dan independensi korporasi teknologi dari tekanan negara menjadi krusial. Peran aktif lembaga riset nasional/internasional juga penting untuk memantau pemanfaatan teknologi digital dalam politik, menyediakan data terpercaya sebagai dasar kebijakan dan edukasi publik. Sinergi negara, masyarakat sipil, dan sektor swasta (platform teknologi) mutlak diperlukan untuk menciptakan ekosistem digital sehat yang sejalan dengan nilai demokrasi dan HAM. Hanya dengan demikian kita bisa memutus siklus buruk dan menuju kemajuan sejati. Dengan semua tantangan ini, apakah kita akan pasrah pada arus atau memilih untuk aktif membentuk masa depan digital yang lebih beradab dan adil?

Sejarah adalah guru terbaik, dan pengabaian terhadap pelajaran masa lalu terkait otoritarianisme dapat membawa kita kembali ke era kegelapan, meskipun dalam balutan teknologi digital yang canggih. Tindakan konkret kita adalah terus belajar dari sejarah, aktif dalam diskursus publik yang konstruktif, mendukung inisiatif yang memperkuat masyarakat sipil di ranah digital, dan menuntut transparansi serta akuntabilitas dari semua pemangku kepentingan dalam pengelolaan ruang digital.

***

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya berjudul “Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasi di Era Transformasi Sosio- Digital” (Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2025) dan buku yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

4 replies on “Negara, Buzzer, dan Demokrasi”

Terima kasih, Pak Basuki Ismael, atas apresiasinya! Senang mengetahui tulisan ini memberikan wawasan yang berarti. Penulis akan terus menghadirkan analisis mendalam untuk memantik diskusi dan memperkaya perspektif!

Terima kasih banyak, Pak Herman! Senang sekali tulisan ini bisa memberikan pencerahan. Menjaga kejernihan di tengah lautan informasi adalah tantangan tersendiri. Kita perlu terus berbagi wawasan dan menjaga obrolan yang bermutu!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *