Categories
Begini Saja

Paru-Paru sebagai TPA?

Seiring dengan aktivitas olahraga jalan kaki pagi di lingkungan pemukiman, tampak oleh penulis fenomena yang mengganggu kesehatan: pembakaran sampah oleh warga, khususnya generasi baby-boomer (BB). Asap yang dihasilkan dari pembakaran ini bukan hanya menyesakkan napas tetapi juga mencemari udara, mengabaikan peran penting paru-paru sebagai penapis alami.

Menurut Daniel Goleman dalam bukunya Ecological Intelligence, perilaku individu terhadap lingkungan dipengaruhi oleh pengalaman masa kecil dan sosialisasi. Bagi generasi BB, kebiasaan membakar sampah mungkin diwariskan dari era ketika pengelolaan sampah belum sekomprehensif saat ini. Perilaku ini menunjukkan adanya keterkaitan antara proses sosialisasi di masa kanak-kanak dan sikap terhadap lingkungan dalam kehidupan dewasa.

Perilaku Membakar Sampah

Menurut Oskamp (2000), proses sosialisasi sejak dini memiliki pengaruh yang kuat terhadap perilaku lingkungan seseorang di kemudian hari. Generasi BB, yang tumbuh di era ketika pembuangan sampah dengan cara dibakar masih dianggap hal yang lumrah, cenderung mempertahankan kebiasaan tersebut hingga dewasa. Mereka belum sepenuhnya memahami dampak buruk dari membakar sampah, khususnya pada lingkungan dan kesehatan.

Perilaku membakar sampah menyiratkan rendahnya kesadaran kolektif tentang dampak jangka panjang polusi udara. Maibach dan Parrott dalam Environmental Campaigns: Mass Communication and Perception of Risk mengungkapkan bahwa perubahan perilaku lingkungan memerlukan kampanye yang efektif untuk mengubah persepsi risiko. Kurangnya pemisahan antara sampah organik dan non-organik menambah tingkat polusi berbahaya, yang juga disoroti oleh laporan WHO tentang polusi udara sebagai pemicu penyakit pernapasan yang signifikan.

Perilaku membakar sampah, terutama tanpa memisahkan antara sampah organik dan non-organik, dapat menimbulkan polusi udara yang membahayakan. Menurut penelitian Hayati et al. (2018), asap yang dihasilkan dari pembakaran sampah mengandung zat-zat berbahaya, seperti partikulat, karbon monoksida, dan senyawa organik, yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan dan berbagai penyakit lainnya.

Generasi BB

Permasalahan ini tidak dapat dipandang semata-mata dari sudut pandang lingkungan, melainkan juga perlu dilihat dari perspektif psikologi perkembangan. Generasi BB memiliki pengalaman dan pola pikir yang berbeda dengan generasi sekarang, yang lebih sadar akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan Kupperschmidt (2000).

Psikologi perkembangan membantu kita memahami bahwa kebiasaan yang terinternalisasi sejak masa kecil cenderung bertahan hingga dewasa. Erikson mengemukakan teori tahap perkembangan dalam Childhood and Society, di mana tahap sosialisasi awal memainkan peran besar dalam membentuk perilaku dewasa. Generasi BB, yang dibesarkan dalam masyarakat agraris atau semi-urban tanpa sistem TPA yang baik, cenderung melihat pembakaran sampah sebagai solusi praktis.

Kebiasaan membakar sampah di lingkungan pemukiman dapat dianggap sebagai bentuk “paru-paru sebagai TPA” yang membahayakan kesehatan masyarakat. Upaya yang dapat dilakukan adalah mempromosikan konsep pengelolaan sampah yang lebih ramah lingkungan, seperti pemilahan sampah, pengomposan, dan daur ulang. Hal ini tidak hanya dapat mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, tetapi juga dapat meningkatkan kesadaran warga, khususnya generasi BB, akan pentingnya menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan.

Disparitas antara kebiasaan lama dan tuntutan lingkungan modern menciptakan tantangan bagi kebijakan publik. Penelitian oleh Stern dalam Toward a Coherent Theory of Environmentally Significant Behavior menekankan perlunya pendekatan terkoordinasi dalam edukasi dan regulasi untuk mengubah perilaku lingkungan yang membahayakan. Program edukasi lingkungan yang diintegrasikan ke dalam komunitas generasi BB dapat menjadi langkah awal meningkatkan kesadaran dan perubahan kebiasaan.

Terkait pencapaian tujuan tersebut, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat untuk merancang program-program edukasi dan kampanye yang efektif. Dengan demikian, diharapkan warga dapat mengubah perilaku mereka dalam mengelola sampah, sehingga paru-paru kita tidak lagi menjadi TPA yang tidak ramah lingkungan.

Perspektif integratif dari psikologi lingkungan dan perkembangan menunjukkan kompleksitas faktor yang mempengaruhi perilaku lingkungan. Adanya kesadaran retensi kebiasaan masa kecil dan perlunya perubahan arah kebijakan lingkungan menjadi krusial. Upaya kolaboratif antara warga, pemerintah, dan penyusun kebijakan pendidikan dapat mengubah praktik merusak menjadi solusi berkelanjutan.

Bibliografi:

Erikson, E. H. (1963). Childhood and Society. Norton.

Goleman, D. (2009). Ecological Intelligence: How Knowing the Hidden Impacts of What We Buy Can Change Everything. Crown Business.

Hayati et al. (2018), Soil water dynamics under different forest vegetation cover: Implications for hill slope stability. Research Article. Terdapat pada https://doi.org/10.1002/esp.4376.

Kupperschmidt, B.R. (2000). Multi-Generation Employees: Strategies for Effective Management. The Health Care Manager, 19, 65-76. Terdapat pada https://doi.org/10.1097/00126450-200019010-00011.

Maibach, E., & Parrott, R. L. (Eds.). (1995). Environmental Campaigns: Mass Communication and Perceptions of Risk. Sage Publications.

Oskamp, S. (2000). A Sustainable Future for Humanity? American Psychologist, 55, 496-508. Terdapat pada http://dx.doi.org/10.1037/0003-066X.55.5.496.

Stern, P. C. (2000). Toward a Coherent Theory of Environmentally Significant Behavior. Journal of Social Issues, 56(3), 407-424.

World Health Organization. (2018). Air pollution and child health: Prescribing clean air.

***

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

2 replies on “Paru-Paru sebagai TPA?”

Terimakasih untuk Pak Edy yang selalu menghidupi kepekaan sosial dan membagikan kepada sekelilingnya solusi inspiratif.
Terkait tulisan Pak Edy diatas, ijinkan saya berbagi pemikiran bahwa upaya kolaboratif menjadi solusi yang bisa digapai apabila indrastuktur tersedia, pelaku konsisten menerapkan.
Contoh:
– di lingkungan pemukiman setiap rumah tangga sudah ada tempat sampah organik dan non-organik
– tetapi ketika diangkat ke tempat penampungan cenderung tercampur.
Untuk itu sekali lagi kolaborasi perlu terus diupayakan.

Mas Sugeng Pramono,

Terima kasih atas pertanyaan yang memantik insight yang mendalam dan positif mengenai pemisahan sampah organik dan non-organik di lingkungan pemukiman. Kali ini, mari kita telaah beberapa poin lebih lanjut terkait pendekatan yang berhasil di Surabaya (yang sering dijadikan contoh, meskipun menurut amatan saya tidak terjadi di semua lokasi) dan Jerman, dan bagaimana kita dapat mengintegrasikan prinsip-prinsip tersebut di Indonesia.

Studi Kasus Surabaya:
Penelitian di Surabaya pada tahun 2022 menunjukkan bahwa penyediaan tempat sampah terpisah saja tidaklah cukup. Pemantauan yang ketat serta edukasi berkelanjutan kepada warga ternyata sangat krusial. Dengan adanya pemantauan rutin dan kampanye kesadaran lingkungan, warga menjadi lebih konsisten dalam memisahkan sampah. Pendekatan ini tak hanya mengedepankan fasilitas, tetapi juga perubahan perilaku masyarakat. Dengan hasil studi yang menunjukkan pengurangan sampah tercampur hingga 30%, jelas bahwa pengawasan dan pendidikan berperan besar.

Studi Kasus Jerman:
Dari tahun 2022 hingga 2023, Jerman menekankan pentingnya teknologi dalam pengelolaan sampah. Tempat penampungan sementara yang dilengkapi dengan sensor pengukur jenis sampah memastikan bahwa pemisahan tetap terkendali secara real-time. Selain teknologi, Jerman juga menerapkan sistem insentif bagi warga yang memisahkan sampah dengan benar. Hal ini tak hanya mengoptimalkan pemisahan sampah, tetapi juga memberikan motivasi tambahan bagi warga untuk terlibat aktif.

Integrasi terapan untuk Indonesia:
Untuk mengadopsi pendekatan tersebut di Indonesia, beberapa langkah dapat dilakukan:

1.*Edukasi dan Kesadaran: Program edukasi yang berkelanjutan dan tepat sasaran kepada masyarakat mengenai pentingnya pemisahan sampah harus digencarkan. Sosialisasikan manfaat langsung dan tidak langsung dari pemisahan sampah yang tepat.

2.Teknologi: Investasi pada teknologi seperti sensor di tempat penampungan sampah dapat memperbaiki keterlacakan dan pemantauan sampah. Hasil pemantauan bisa digunakan untuk memberikan umpan balik kepada warga dan mengevaluasi kebijakan.

3. Insentif: Implementasikan sistem insentif yang menarik bagi warga yang memisahkan sampah dengan benar. Ini bisa berupa potongan biaya kebersihan, voucher belanja, atau penghargaan lainnya. Pembayaran bus dalam kota dengan botol mineral mungkin merupakan contoh yang bisa diadopsi.

4. Kebijakan dan Regulasi: Regulasi yang mendukung pengelolaan sampah yang lebih baik harus ditegakkan. Kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sangat penting.

Dengan langkah-langkah ini, Indonesia bisa maju menuju pengelolaan sampah yang lebih efektif dan berkelanjutan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *