Categories
Begini Saja

Pawang dan Harimau Negara: Ilusi Menjinakkan Premanisme di Ruang Publik

Pada April 2022, sebuah tragedi memilukan terjadi di Taman Rekreasi Margasatwa Serulingmas, Banjarnegara. Seorang pawang atau perawat satwa yang berpengalaman tewas diterkam oleh harimau Benggala yang telah lama ia rawat.

Peristiwa ini, terlepas dari detail kronologisnya, menyajikan sebuah metafora yang kuat tentang bahaya dari ilusi kontrol. Ia menjadi cermin buram yang merefleksikan sebuah pertanyaan fundamental: apa yang terjadi ketika kita mencoba “menjinakkan” dan bermitra dengan kekuatan yang secara inheren liar, berbahaya, dan tidak dapat diprediksi?

Tragedi di dalam kandang besi ini ternyata memiliki gema yang mengerikan di panggung yang jauh lebih luas: panggung tata kelola keamanan negara, di mana “harimau” yang coba dijinakkan berwujud premanisme yang dilembagakan dalam organisasi kemasyarakatan (ormas).

Dari Kandang Satwa ke Panggung Negara: Paradoks Kemitraan Semu

Pada akhir 2021, sebuah sinyal tegas datang dari puncak kekuasaan negara. Presiden Joko Widodo secara terbuka memberikan peringatan keras kepada para Kapolda dan Kapolres untuk tidak melakukan “sowan” atau kunjungan kehormatan kepada ormas yang rekam jejaknya dipenuhi aksi-aksi anarkistis dan kekerasan.

Pernyataan ini secara gamblang menelanjangi sebuah paradoks besar yang telah lama mengakar dalam sistem keamanan kita. Di satu sisi, ada pengakuan dari kepala negara bahwa kelompok-kelompok ini adalah sumber masalah kronis. Namun, di sisi lain, publik berulang kali disuguhkan pemandangan aparat keamanan di berbagai level yang justru merangkul erat kelompok serupa, menggelar apel siaga bersama, dan bahkan melabeli mereka sebagai “mitra krusial” dalam upaya menjaga ketertiban masyarakat.

Fenomena ini lebih dari sekadar inkonsistensi kebijakan; ia adalah manifestasi dari sebuah patologi institusional yang mengkhawatirkan. Logika yang mendasari strategi ini—bahwa dengan memberi panggung, legitimasi, dan seragam, negara dapat “menjinakkan” premanisme—adalah sebuah kekeliruan fundamental.

Alih-alih menciptakan rasa aman yang otentik, praktik ini secara efektif justru mensubkontrakkan fungsi kekerasan negara kepada aktor non-negara, menormalisasi praktik pemerasan, dan secara perlahan tapi pasti mengikis prinsip monopoli negara atas penggunaan kekuatan yang sah. Sulit untuk tidak melihat ini sebagai sebuah “sandiwara keamanan yang mahal,” di mana korban utamanya adalah rasa aman publik dan marwah supremasi hukum itu sendiri.

Ilusi Kontrol dan Disonansi Kognitif Institusional

Mengapa negara, dengan segala perangkat koersif formalnya, tergoda untuk mengambil jalan pintas berbahaya ini? Jawabannya terletak pada kombinasi tekanan psikologis dan pencarian solusi instan.

Profesi kepolisian adalah profesi yang sangat menekan, menuntut para anggotanya untuk terus-menerus berhadapan dengan kekacauan dan sisi tergelap masyarakat, yang pada akhirnya melahirkan stres dan kecemasan tingkat tinggi. Dalam kondisi tertekan dan sumber daya yang sering kali terbatas, sebuah institusi, layaknya seorang individu, cenderung mengambil jalan pintas mental (heuristik) untuk mengatasi masalah yang kompleks.

Membangun keamanan yang sejati melalui pendekatan pemolisian masyarakat (community policing) adalah sebuah proses yang organik, tetapi lambat dan melelahkan. Sebaliknya, ormas menawarkan sebuah “paket jadi”: sebuah struktur komando informal dan massa yang siap dimobilisasi kapan saja. Ini adalah godaan solusi instan yang sulit ditolak, sebuah jalan pintas untuk menciptakan ilusi adanya kontrol atas situasi.

Kondisi ini pada akhirnya melahirkan apa yang dalam psikologi sosial dikenal sebagai disonansi kognitif institusional. Negara memegang dua keyakinan yang saling bertentangan secara diametral: (1) kesadaran penuh bahwa ormas tertentu adalah biang keladi kekerasan dan keresahan, dan (2) tindakan aktif merangkul mereka sebagai mitra keamanan.

Untuk meredakan tegangan psikologis akibat kontradiksi ini, negara pun melakukan serangkaian rasionalisasi. Setiap tindak kekerasan yang terjadi akan direduksi sebagai ulah “oknum”, sementara kegiatan positif sekecil apa pun, seperti bakti sosial atau donor darah, akan diperbesar narasinya sebagai bukti keberhasilan program “pembinaan”.

Hegemoni Koersif: Saat Kekerasan Menjadi Alat Tata Kelola

Melihat fenomena ini secara lebih dalam, kemitraan negara-ormas bukanlah sekadar tanda kelemahan, melainkan sebuah teknik tata kelola yang terukur dan diperhitungkan. Praktik ini memiliki akar sejarah yang panjang, sejak era kolonial dengan figur vrijman (orang bebas atau preman) hingga proses kooptasi premanisme secara sistematis oleh rezim Orde Baru untuk menjaga stabilitas politik.

Seperti yang dianalisis oleh akademisi Ian Douglas Wilson, kelompok-kelompok ini beroperasi dalam sebuah “politik jatah preman”, di mana modal utama mereka adalah kapasitas untuk menggunakan kekerasan demi menguasai teritori dan mengekstraksi rente ekonomi, misalnya melalui “raket proteksi”.

Ketika negara memberikan legitimasi pada praktik ini, batas antara penegak hukum resmi dan organisasi kriminal menjadi samar. Dari kacamata filsuf Michel Foucault, ini adalah wujud dari governmentality atau “pemerintahan dari jauh”, di mana negara mendapat beberapa keuntungan strategis: penyangkalan yang masuk akal (plausible deniability) ketika kekerasan terjadi, efisiensi biaya karena tidak perlu mengerahkan aparat formal, dan penguatan jaringan patronase politik.

Interaksi yang dilembagakan ini pada akhirnya melahirkan sebuah tatanan sosial yang bisa disebut sebagai hegemoni koersif. Dalam tatanan ini, ketertiban sosial tidak lagi dijaga oleh supremasi hukum yang adil, melainkan oleh ancaman kekerasan yang telah dinormalisasi. Warga pun belajar bahwa “keamanan” bukanlah hak yang dijamin negara, melainkan sebuah komoditas yang bisa dinegosiasikan dengan para pialang kekerasan lokal.

Memutus Rantai Simbiosis Maut

Mengakhiri patologi berbahaya ini jelas menuntut lebih dari sekadar teguran seremonial dari istana; ia membutuhkan reformasi sistemik yang fundamental dan berani. Solusinya bukanlah dengan menekan ormas secara membabi buta, melainkan dengan membuat eksistensi mereka yang berbasis kekerasan menjadi tidak relevan lagi. Jalan keluarnya dapat ditopang oleh tiga pilar reformasi yang saling menguatkan.

Pertama, merebut kembali monopoli atas kekuatan. Negara harus dengan tegas dan tanpa kompromi memutus segala bentuk kemitraan formal maupun informal dengan ormas kekerasan. Kekosongan yang ditinggalkan harus segera diisi oleh kehadiran aparat negara yang profesional dan humanis melalui model pemolisian masyarakat yang sejati, di mana polisi benar-benar tertanam di dalam komunitas sebagai pelayan dan pemecah masalah, bukan sebagai penguasa.

Kedua, mengakhiri budaya impunitas. Penegakan hukum tidak boleh lagi tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Proses hukum harus menyasar tidak hanya para pelaku kekerasan di lapangan, tetapi juga para “patron” mereka di lingkaran elite politik dan aparat keamanan yang selama ini memberikan perlindungan dan “backing”.

Ketiga, dan yang paling fundamental, adalah mengatasi akar masalahnya: keterasingan sosial-ekonomi. Ini adalah tugas seluruh elemen pemerintahan, bukan hanya polisi. Negara harus hadir secara nyata dengan berinvestasi secara masif dalam program ketenagakerjaan untuk kaum muda, mereformasi sistem pendidikan untuk menekankan kemampuan berpikir kritis, dan membangun lebih banyak ruang publik yang positif dan inklusif. Sebab, ormas-ormas ini tumbuh subur di ruang-ruang kosong yang ditinggalkan oleh kontrak sosial yang rusak; mereka adalah cermin dari kegagalan negara dalam memenuhi kebutuhan dasar warganya akan rasa aman, identitas, komunitas, dan penghargaan. Ketika negara hadir sebagai penyedia kesempatan, keadilan, dan harapan, maka tawaran ilusi dari para pialang kekerasan akan kehilangan pesonanya.

Pada akhirnya, kita kembali pada tragedi sang pawang dan harimau. Seekor harimau akan selalu menjadi harimau, tak peduli seberapa lama ia dirawat. Demikian pula, sebuah organisasi yang modal utamanya adalah kekerasan akan selalu kembali pada kekerasan. Ketika kepala negara harus berulang kali mengingatkan aparatnya sendiri untuk tidak bersekutu dengan pembuat onar, sementara praktik di lapangan terus berjalan seolah tak tersentuh, itu adalah pertanda paling jelas bahwa negara sedang berperang melawan bayangannya sendiri.

Daftar Referensi:

Ian Douglas Wilson. 2018. “Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru”. Marjin Kiri. Diakses 16 Oktober 2025. https://marjinkiri.id/product/politik-jatah-preman/

Journal Ar-raniry. 2024. “Keterasingan Sosial-Ekonomi dan Ruang Publik”. Diakses 16 Oktober 2025. https://journal.ar-raniry.ac.id/jsai/article/download/6037/2610/15513.

Leon Festinger.1957.  A Theory of Cognitive Dissonance, Stanford University Press, 1957.
Diakses 16 Oktober 2025. Ringkasan teori tersedia https://pakarkomunikasi.com/teori-disonansi-kognitif .

Michel Foucault. 1991. The Foucault Effect: Studies in Governmentality, ed. Burchell, Gordon, dan Miller. University of Chicago Press, 1991. Diakses 16 Oktober 2025. https://core.ac.uk/download/pdf/234750251.pdf.

JDIH BPK. “Model Pemolisian Masyarakat (Community Policing)”. 2021. Diatur dalam Peraturan Kepolisian Negara RI No. 1 Tahun 2021. Diakses 16 Oktober 2025. https://peraturan.bpk.go.id/Details/301784/perpol-no-1-tahun-2021

SuaraSurabaya.net. 2021. “Jokowi Larang Anggota Polri Sowan ke Ormas yang Sering Bikin Onar”. Diakses 16 Oktober 2025. https://www.suarasurabaya.net/kelanakota/2021/jokowi-larang-anggota-polri-sowan-ke-ormas-yang-sering-bikin-onar/

Kompas.id. “Sejarah Vrijman dan kooptasi premanisme oleh Orde Baru”. Diakses 16 Oktober 2025. https://www.kompas.id/artikel/dari-vrijman-menjadi-preman-transformasi-peran-dan-makna-dalam-sejarah-indonesia

Lipsus.Kompas.com. 2022. “Tragedi Harimau Benggala di Serulingmas, Banjarnegara”. Diakses 16 Oktober 2025. https://lipsus.kompas.com/elnino/read/2022/04/18/150107378/kronologi-karyawan-kebun-binatang-di-banjarnegara-diterkam-harimau-hingga

***

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya berjudul “Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasi di Era Transformasi Sosio- Digital” (Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2025) dan buku yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *