Categories
Begini Saja

Pluralisme: Trump versus Gus Dur

Pluralisme sebagai konsep sosial dan politik memberikan ruang bagi keberagaman dalam masyarakat. Penerimaan terhadap berbagai latar belakang budaya, agama, dan pandangan diagung-agungkan sebagai pilar demokrasi.

Dalam konteks ini, pun dalam perspektif penulis, dua tokoh yang berseberangan —Donald Trump dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur)— menawarkan pemahaman yang berbeda tentang bagaimana pluralisme berperan dalam demokrasi dan kehidupan sehari-hari. Melalui kebijakan dan pandangan masing-masing, mereka menunjukkan konsekuensi yang berbeda terhadap dinamika pluralisme di negara mereka.

Pluralisme dan Demokrasi

Dalam konteks pluralisme, pertandingan antara akses dan partisipasi menjadi sorotan utama. Di AS, Trump mengambil langkah-langkah yang mempersempit ruang bagi keberagaman, seperti menghentikan program keberagaman di lembaga pemerintah dan mengeluarkan larangan perjalanan ke negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Tindakan ini menciptakan polarisasi dan merusak kerukunan sosial, sehingga kritik muncul tentang bagaimana kebijakan ini berdampak pada kepercayaan publik terhadap demokrasi.

Situasi di AS pada 2020 menunjukkan dampak langsung dari kebijakan tersebut. Unjuk rasa yang melanda berbagai kota berkenaan dengan isu rasial membuktikan bahwa kebijakan eksklusif dapat mengobarkan kembali ketegangan yang sudah lama terpendam.

Gus Dur, di sisi lain, dengan pandangan inklusifnya, mendorong dialog antaragama dan kerukunan sosial. Pendekatannya membuktikan bahwa pluralisme dapat meningkatkan stabilitas sosial, seperti yang dijelaskan oleh Norton M. Ginsburg dalam “Pluralism and Democracy” (2019). Dia mendirikan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia sebagai bukti pentingnya pengakuan atas beragam identitas dan pengalaman.

Antara Individualisme dan Kolektivisme

Individualisme dan kolektivisme adalah dua konsep yang sering diperbincangkan dalam praktik pluralisme. Konsep individualisme, yang menekankan hak-hak individu, sering kali berkonflik dengan kewajiban terhadap komunitas. Pada satu sisi, individu memiliki hak untuk mengekspresikan diri dan membela nilai-nilai mereka; di sisi lain, kolektivisme mengutamakan harmoni dalam kelompok yang lebih besar.

Di Eropa, munculnya partai-partai populis yang mengedepankan retorika anti-imigrasi menunjukkan wajah individualisme yang mendorong eksklusi, sementara banyak masyarakat Eropa memiliki tradisi pluralisme yang kuat.

Trump, dengan retorika individualisnya, sering kali menekankan kepentingan nasional di atas keberagaman. Namun, Gus Dur berpendapat bahwa pluralisme harus mengakomodasi kedua aspek ini, memberikan ruang bagi individualisme tanpa mengorbankan solidaritas sosial.

Sebagai contoh, di India, sikap nasionalis Hindu di bawah pemerintahan BJP telah menciptakan ketegangan antara komunitas Hindu dan Muslim. Hal ini menunjukkan betapa mudahnya individualisme dapat berkembang menjadi kolektivisme eksklusif, ketika satu kelompok merasa terancam oleh yang lain. Seperti yang dijelaskan oleh Amartya Sen dalam “Identity and Violence” (2006), identitas yang terpolarisasi dapat menyebabkan konflik yang merugikan semua pihak.

Keterbatasan Praktik Demokrasi

Keterbatasan praktik demokrasi muncul ketika individualisme mengungguli kolektivisme, menciptakan ketidakadilan sosial. Dalam konteks ini, tindakan Trump sering kali menyempitkan makna demokrasi hanya pada kebebasan individu, tanpa mempertimbangkan dampak terhadap kelompok-kelompok yang lebih rentan. Sebagai contoh, kebijakan pemisahan keluarga imigran di perbatasan AS-Meksiko jelas menggambarkan bagaimana kepentingan politik dapat mengabaikan hak asasi manusia, menimbulkan kritik luas dari berbagai kalangan.

Sebaliknya, Gus Dur menunjukkan bahwa kekuatan demokrasi terletak pada kemampuannya untuk merangkul semua suara. Dia pernah melakukan berbagai upaya untuk mengambil langkah inklusif, seperti mengajak dialog antaretnis dan agama saat menjabat sebagai Presiden. Hal ini sejalan dengan pandangan Martha Nussbaum dalam “The Monarchy of Reason” (2018), yang menekankan pentingnya inklusi dalam praktik demokrasi untuk menciptakan keseimbangan dan keharmonisan sosial.

Di Afrika Selatan, transisi menuju demokrasi pasca-apartheid yang dipimpin oleh Nelson Mandela menunjukkan kekuatan pluralisme yang inklusif. Dengan mengakui hak-hak semua kelompok etnis, Afrika Selatan berusaha membangun komunitas yang lebih kohesif, berbeda dengan kebijakan eksklusif yang dijalankan Trump.

Masa Depan Pluralisme Modern

Bagaimana masa depan pluralisme di tengah konflik individualisme dan kolektivisme? Perdebatan ini memerlukan pemikiran mendalam. Tantangan yang ada adalah menciptakan lingkungan di mana individualisme dapat hidup berdampingan dengan kolektivisme tanpa saling merugikan. Negara-negara seperti Kanada menjadikan pluralisme sebagai prinsip dasar dalam kebijakan publik, menciptakan model keberagaman yang dapat diadopsi oleh negara lain.

Apa yang bisa kita pelajari dari pendekatan Gus Dur yang inklusif dibandingkan dengan posisi Trump yang lebih eksklusif? Memahami pentingnya dialog dan kompromi antarkelompok dapat memberikan kita wawasan tentang bagaimana menuju masyarakat yang lebih adil dan harmonis. Kita perlu menyadari bahwa pluralisme tidak hanya menuntut toleransi, tetapi juga saling menghormati dan menghargai perbedaan.

Butir Pembelajaran

Pluralisme menawarkan tantangan sekaligus kesempatan dalam kerangka demokrasi. Dengan menilik perbedaan hasil kebijakan antara Trump dan Gus Dur, dapat terlihat betapa keberagaman dan inklusi adalah bagian penting dari sistem demokratis yang sehat. Dalam dunia yang semakin terhubung, penting bagi kita untuk mengadopsi nilai-nilai pluralisme untuk mendorong kerjakan kolektif dan harmoni sosial.

Lantas, apa langkah konkret yang perlu kita ambil untuk mewujudkan pluralisme yang sejati dalam masyarakat kita? Dengan mengakui bahwa pluralisme bukan hanya tentang keberagaman yang terlihat, tetapi juga tentang bagaimana kita berperilaku dan berinteraksi satu sama lain, kita dapat memulai perjalanan menuju masyarakat yang lebih inklusif dan berkeadilan.

Referensi

Ginsburg, N. M. (2019). Pluralism and Democracy. Https://www.pluralismanddemocracy.org.

Gus Dur Pluralisme dan Moderasi Beragama. UIN Jakarta. Https://perpus.uinjkt.ac.id.

Kompas. (2025). “Popular: Trump Hentikan Program Keberagaman”. Https://www.kompas.com/tren.

Nussbaum, M. (2018). The Monarchy of Reason. Https://www.monarchyofreason.org.

Sen, A. (2006). Identity and Violence: The Illusion of Destiny. Https://www.identityandviolence.com.

Tag: #Pluralisme #Demokrasi #GusDur #DonaldTrump #KeadilanSosial #KerukunanMasyarakat

***

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *