Pada 21 April 2025, pukul 07.35 waktu Vatikan, dunia kehilangan sosok pemimpin spiritual yang telah mengabdikan dirinya bagi kemanusiaan. Paus Fransiskus, yang sepanjang hidupnya senantiasa mengajarkan kasih, kerendahan hati, dan keberpihakan kepada mereka yang paling membutuhkan, berpulang dalam usia 88 tahun. Kepergiannya menjadi kehilangan besar bagi umat Katolik dan masyarakat global yang selama ini merasakan kebijaksanaan dan ketulusan kepemimpinannya.
Sejak awal masa kepausannya, Paus Fransiskus dikenal sebagai seorang reformis sejati. Beliau membawa Gereja menuju perubahan yang lebih inklusif dan humanis, menekankan pentingnya dekat dengan umat serta berani mengambil langkah untuk membela yang terpinggirkan. Dengan sikap rendah hati yang khas, Paus memilih meninggalkan kemewahan Vatikan dan menjalani kehidupan yang sederhana, mencerminkan nilai bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang mengabdikan diri bukan untuk kekuasaan, tetapi untuk melayani. Keberpihakannya terhadap keadilan sosial, lingkungan hidup, serta solidaritas antaragama menjadikannya figur yang dihormati di seluruh dunia —baik di dalam maupun di luar Gereja Katolik.
Ketahanan dan Usia yang Tidak Menjadi Batasan
Meskipun usia yang semakin lanjut sering kali dikaitkan dengan penurunan kesehatan fisik dan mental, Paus Fransiskus tetap menunjukkan ketahanan yang luar biasa hingga hari-hari terakhirnya. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO, 2024), sekitar 22% dari populasi dunia yang berusia 60 tahun ke atas mengalami penurunan kapasitas fisik dan mental akibat penuaan. Namun, kasus Paus Fransiskus menjadi contoh bagaimana seseorang tetap dapat menjalani kehidupannya dengan semangat dan ketajaman pikiran, bahkan dalam usia senja.
Sejumlah penelitian telah mengungkap bagaimana individu lansia seperti Paus Fransiskus dapat mempertahankan kesehatan fisik dan mentalnya tanpa mengalami kemunduran kognitif yang signifikan. Sebuah studi dalam BMC Geriatrics (2024) mencatat bahwa 19,2% lansia mengalami depresi, 16,5% mengalami kecemasan, dan 13,9% mengalami stres, yang sering dikaitkan dengan penuaan. Namun, ketenangan dan keseimbangan emosional yang dimiliki Paus menjadi bukti bagaimana pola hidup serta ketahanan spiritual dapat berkontribusi terhadap kesehatan mental yang lebih baik.
Berbagai jurnal ilmiah membahas tentang mekanisme penuaan dan bagaimana seseorang dapat mempertahankan fungsi kognitif dan kesehatan mental hingga usia lanjut. Jurnal “Aging, Senescence, and Dementia” (Behfar, Zuniga & Martino-Adami, 2022) menjelaskan bagaimana senescence atau penuaan seluler berkontribusi terhadap penyakit neurodegeneratif seperti Alzheimer. Namun, dalam kasus Paus Fransiskus, tampaknya terdapat faktor-faktor lain yang turut menjaga kesehatannya, seperti genetika, gaya hidup sehat, keterlibatan sosial, dan spiritualitas.
Artikel “Aging and Age‐Related Diseases: From Mechanisms to Therapeutic Strategies” (Li, Zhang, Ren et al., 2021) mengungkap bagaimana pola makan sehat, aktivitas fisik yang rutin, serta stimulasi mental yang konsisten berperan besar dalam menjaga kesehatan otak pada lansia. Kehidupan Paus Fransiskus yang penuh aktivitas intelektual serta keterlibatan dalam dialog sosial dan keagamaan tampaknya menjadi faktor utama yang menjaga kejernihan pikirannya hingga akhir hayat.
Peran Psikologis, Spiritualitas, dan Dukungan Komunitas
Secara psikologis, ketahanan mental dan keterlibatan sosial memainkan peran penting dalam menjaga kesehatan kognitif lansia. Jurnal “Dementia and Aging Populations —A Global Priority for Contextualized Research and Health Policy” (Brayne dan Miller, 2017) menyebutkan bahwa keterlibatan sosial dan aktivitas intelektual dapat mengurangi risiko demensia serta memperlambat penuaan otak. Hal ini sejalan dengan kehidupan Paus Fransiskus, yang terus aktif berinteraksi dengan umat, pemimpin dunia, dan berbagai komunitas global, menghindari isolasi yang sering kali menjadi faktor risiko bagi lansia.
Lebih dari sekadar pemimpin agama, Paus Fransiskus adalah seorang figur spiritual yang mendalam. Brayne dan Miller (2017) menyoroti bahwa dukungan komunitas dan keyakinan spiritual dapat memberikan keseimbangan emosional serta ketahanan psikologis, yang dalam hal ini jelas berperan dalam menjaga kestabilan mental Paus Fransiskus hingga akhir hidupnya.
Dalam tradisi Katolik, pemimpin agama sering kali memiliki dukungan komunitas yang kuat, yang memberikan motivasi dan energi untuk tetap aktif meskipun telah mencapai usia lanjut. Li, Zhang, Ren et al. (2021) menyebutkan bahwa ritual dan rutinitas yang dijalani seseorang dapat berkontribusi terhadap stabilitas mental. Hal ini tercermin dalam kehidupan Paus Fransiskus, di mana rutinitas kepausan yang disiplin dan penuh tanggung jawab membantunya menjaga kestabilan emosi serta kesehatan mentalnya.
Jejak yang Tak Terhapuskan
Kepergian Paus Fransiskus meninggalkan duka mendalam bagi jutaan orang di seluruh dunia. Sosoknya yang penuh belas kasih, keberanian, dan integritas telah menjadikannya sebagai simbol kepemimpinan moral yang langka. Selama masa kepausannya, ia selalu menekankan bahwa agama harus menjadi alat pemersatu, bukan pemecah-belah. Pesan-pesannya tentang kesetaraan, kemanusiaan, serta kepedulian terhadap kaum marginal akan terus dikenang sebagai warisan yang tak lekang oleh waktu.
Dalam beberapa dekade terakhir, dunia telah menyaksikan banyak pemimpin besar. Namun, hanya sedikit yang dapat menyentuh hati jutaan orang dengan ketulusan seperti yang dilakukan oleh Paus Fransiskus. Kehidupannya mengajarkan bahwa kekuatan sejati tidak berasal dari kekuasaan atau kekayaan, tetapi dari ketulusan, keberpihakan kepada yang lemah, dan perjuangan demi kemanusiaan.
Dengan kepergiannya, dunia kehilangan seorang pemimpin, tetapi semangatnya akan tetap hidup dalam ingatan umat dan dalam sejarah Gereja Katolik. Paus Fransiskus telah meninggalkan dunia ini, tetapi nilai-nilainya tetap menginspirasi generasi mendatang.
***
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.
2 replies on “Sang Gembala Itu Telah Pergi”
Betul sekali, Beliau adalah Sang Gembala yg welas asih. Ajaran dan teladannya out of the box.
Terima kasih tanggapannya, Suster Christina.
Suster dengan indah menggambarkan sosok Sang Gembala sebagai pribadi yang penuh kasih dan inspiratif. Pengakuan Suster terhadap ajaran dan teladan yang “out of the box” menunjukkan betapa mendalamnya dampak yang telah Paus Fransiscus berikan. Ini menggarisbawahi penghormatan yang tulus terhadap warisan nilai-nilai yang Paus Fransiskus tinggalkan.