Categories
Begini Saja

Sejauh Mana Negara Berperan Sebagai Penjudi?

Coba ingat kembali, pernahkah Anda terdiam sejenak saat membaca berita tentang ribuan rekening bank warga biasa yang diblokir serampangan atas nama perang melawan judi online? Atau ketika sebuah undang-undang krusial disahkan di tengah malam, sementara panggung politik justru riuh oleh dagelan dan gimik yang tak relevan?

Kejadian-kejadian ini sering kali berlalu begitu saja, dianggap sebagai anomali atau “kebisingan” politik biasa. Namun, jika kita berhenti sejenak, sebuah pola mengusik mulai terlihat: negara, entitas yang kita harapkan menjadi benteng logika dan keteraturan, justru kerap bertindak seperti seorang penjudi yang terdesak.

Ini membawa kita pada sebuah premis yang argumentatif: di bawah tekanan untuk menunjukkan kinerja dan menutupi kegagalan, negara cenderung mengadopsi pola pengambilan keputusan yang berisiko tinggi, berorientasi jangka pendek, dan mengabaikan konsekuensi jangka panjang—sebuah perilaku yang identik dengan psikologi seorang penjudi.

Negara tidak lagi bertindak sebagai manajer risiko yang prudent, melainkan sebagai pemain yang melempar dadu kebijakan, berharap pada satu kemenangan besar untuk menutupi serentetan kekalahan.

Psikologi di Balik Meja Judi Kebijakan

Untuk memahami fenomena “Negara Penjudi” (The Gambler State), kita perlu meminjam lensa dari psikologi politik, khususnya Teori Prospek (Prospect Theory) yang dirumuskan oleh Daniel Kahneman dan Amos Tversky, peraih Nobel Ekonomi.

Teori ini secara fundamental menjelaskan bahwa manusia tidak selalu rasional. Dalam kondisi normal atau ketika dihadapkan pada potensi keuntungan, kita cenderung menghindari risiko (risk-averse). Namun, saat dihadapkan pada kerangka kerugian (loss frame), kita berubah menjadi pencari risiko (risk-seeking).

Sekarang, bayangkan sebuah pemerintahan yang berhadapan dengan serangkaian “kerugian”: kepercayaan publik yang merosot, target ekonomi yang meleset, atau peringkat korupsi yang memburuk di panggung global. Dalam kerangka kerugian ini, opsi kebijakan yang aman dan terukur terasa tidak cukup. Muncul dorongan kuat untuk melakukan “gertakan”—sebuah manuver drastis dan berisiko tinggi dengan harapan dapat membalikkan keadaan secara instan.

Pemblokiran massal rekening oleh PPATK adalah contoh sempurna. Di tengah tekanan publik untuk memberantas judi online yang merajalela (sebuah “kerugian” citra), negara mengambil jalan pintas yang mempertaruhkan prinsip supremasi hukum dan hak kepemilikan privat.

Logika di baliknya bukanlah manajemen risiko, melainkan sebuah pertaruhan: semoga tindakan ini terlihat tegas dan memuaskan publik, meskipun mengorbankan ribuan warga tak bersalah dan merusak kepercayaan pada sistem perbankan. Ini adalah pertaruhan seorang penjudi, bukan kalkulasi seorang negarawan.

Pola ini diperkuat oleh fenomena groupthink di lingkaran kekuasaan, di mana para pengambil keputusan saling meyakinkan akan kebenaran tindakan mereka, menyingkirkan suara-suara kritis yang mengingatkan akan risikonya.

Panggung politik yang digambarkan oleh Firdaus Arifin (Kompas.com, 5/8/2025) sebagai “Republik Srimulat” menjadi arena di mana pertaruhan-pertaruhan ini dinormalisasi menjadi sekadar hiburan, mengalihkan perhatian publik dari taruhan sesungguhnya: masa depan tata kelola yang baik.

Data di Atas Meja: Bukti Sebuah Pertaruhan

Hipotesis “Negara Penjudi” bukan sekadar analogi, ia ditopang oleh data. Mari kita lihat beberapa “kartu” yang sedang dihadapi Indonesia. Laporan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2023 dari Transparency International menunjukkan skor Indonesia stagnan di angka 34, jauh di bawah rata-rata global (43). Ini adalah sebuah “kerugian” kredibilitas yang nyata di mata dunia.

Di dalam negeri, survei dari berbagai lembaga kredibel secara konsisten menunjukkan tantangan dalam kepercayaan publik terhadap institusi kunci seperti hukum dan politik. Ketika dihadapkan pada data-data ini, respons yang rasional adalah reformasi struktural yang sistematis, meskipun lambat dan sulit.

Namun, respons seorang penjudi adalah mencari jalan pintas yang dramatis. Alih-alih memperbaiki sistem peradilan secara mendasar, negara mungkin “bertaruh” pada pengesahan beberapa legislasi kontroversial yang menjanjikan stabilitas semu. Alih-alih membangun ekonomi yang inklusif, negara mungkin “bertaruh” pada proyek-proyek mercusuar yang megah tetapi berisiko.

Laporan Indeks Demokrasi 2023 dari The Economist Intelligence Unit (EIU) juga menempatkan Indonesia dalam kategori “demokrasi cacat” (flawed democracy). Skor yang rendah pada aspek budaya politik dan kebebasan sipil menunjukkan adanya masalah fundamental.

Respons “berjudi” terhadap ini adalah dengan memperkuat narasi populis dan nasionalistik, sebuah pertaruhan untuk mengamankan dukungan jangka pendek dengan mengorbankan kualitas demokrasi jangka panjang.

Gugatan dan Jalan Menuju Kebijakan Berkelanjutan

Pertaruhan yang dilakukan negara ini memiliki konsekuensi yang merusak. Setiap kali negara “berjudi” dengan kebijakan serampangan, ia sedang mengikis modal utamanya: kepercayaan publik (public trust). Tanpa kepercayaan, kontrak sosial antara warga dan negara menjadi rapuh. Kebijakan, sebagus apa pun di atas kertas, akan gagal jika publik tidak lagi percaya pada niat baik dan kompetensi pemerintah.

Oleh karena itu, gugatan utamanya adalah: model “Negara Penjudi” ini secara inheren tidak berkelanjutan. Ia menciptakan siklus kepanikan, respons reaktif, dan kerusakan kolateral yang semakin dalam. Dalih bahwa semua ini dilakukan “demi melindungi rakyat” menjadi kosong ketika metode yang digunakan justru menumbalkan hak-hak dan rasa keadilan rakyat itu sendiri.

Lalu, bagaimana kita menarik negara dari meja judi kebijakan? Jawabannya terletak pada upaya membangun kembali pilar-pilar rasionalitas dan akuntabilitas.

Pertama, mengarusutamakan Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-Based Policy): Keputusan tidak boleh lagi didasarkan pada insting politik atau tekanan sesaat. Setiap kebijakan harus didahului oleh riset yang mendalam, analisis dampak yang komprehensif, dan data yang valid, bukan sekadar untuk formalitas.

Kedua, memperkuat Ruang Deliberasi Publik: Untuk melawan groupthink, kanal-kanal partisipasi publik yang bermakna harus dibuka selebar-lebarnya. Kritik dari masyarakat sipil, akademisi, dan media tidak boleh dilihat sebagai ancaman, melainkan sebagai mekanisme koreksi yang vital untuk menghindari pertaruhan yang konyol.

Ketiga, membangun Resiliensi Institusional: Lembaga-lembaga pengawas independen seperti Ombudsman, KPK, dan Komnas HAM harus diperkuat dan dilindungi dari intervensi politik. Merekalah sabuk pengaman yang dapat mencegah negara mengambil risiko yang tidak perlu saat berada dalam “kerangka kerugian”.

Kita mendambakan sebuah negara yang bertindak sebagai arsitek yang sabar, bukan penjudi yang nekat. Sebuah negara yang membangun fondasi dengan cermat, bata demi bata, berdasarkan cetak biru yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan; bukan yang mempertaruhkan seluruh bangunan hanya untuk satu putaran permainan yang hasilnya tak pasti.

Menghentikan negara dari kebiasaan berjudi adalah agenda mendesak jika kita tidak ingin mewariskan sebuah republik yang rapuh dan penuh spekulasi kepada generasi mendatang.

Daftar Referensi

Economist Intelligence Unit. (2024). Democracy Index 2023: Age of conflict. The Economist Group. Ringkasan dan laporan dapat diakses melalui situs web EIU. Tersedia di: https://www.eiu.com/n/campaigns/democracy-index-2023/

Firdaus Arifin (2025). Republik Srimulat. Kolom Kompas.com ( 05/08/2025). Akses: https://kolom.kompas.com/7640/firdaus.arifin

Jannus TH Siahaan (2025). Otoritarianisme Finansial dan Logika Serampangan Pemblokiran Rekening oleh PPATK. Kolom Kompas.com (02/08/2025). Akses: https://nasional.kompas.com/read/2025/08/02/09263561/otoritarianisme-finansial-dan-logika-serampangan-pemblokiran-rekening-oleh

Kahneman, D., & Tversky, A. (1979). Prospect Theory: An Analysis of Decision under Risk. Econometrica, 47(2), 263–291. Dapat diakses melalui JSTOR (banyak universitas menyediakan akses gratis) atau repositori akademik seperti ResearchGate.

Tim Penulis. (2024, 30 Januari). Corruption Perception Index 2023. Transparency International Indonesia. Tersedia di: https://ti.or.id/id/publication/corruption-perception-index-2023/

***

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya berjudul “Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasi di Era Transformasi Sosio- Digital” (Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2025) dan buku yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

One reply on “Sejauh Mana Negara Berperan Sebagai Penjudi?”

“Negara penjudi” adalah sebuah noda yang sulit dibersihkan.
permasalahan ini menurun dari Negara penjudi ke masyarakat penjudi.
Terbukti negara penjudi menempati peringkat pertama sebagai negara yang memiliki banyak pemain judi online di dunia.
jadi ingat peribahasa “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”
hihihi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *