Terpilihnya Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pada tahun 2023 merupakan fenomena politik yang menggugah ruang diskursif publik. Dukungan mengalir dari kelompok muda dan simpatisan Jokowi yang melihatnya sebagai figur segar, berdaya tarik digital, dan simbol regenerasi politik. Namun, kritik keras juga mengemuka, terutama dari kalangan yang mempertanyakan kompetensi, rekam jejak, dan proses pemilihannya yang dianggap tak berbasis kaderisasi.
Dalam psikologi politik, fenomena ini dapat dianalisis melalui dua lensa utama: symbolic representation dan perceived legitimacy. Kaesang merepresentasikan narasi politik baru yang diasosiasikan dengan gaya komunikasi generasi milenial dan Gen Z—ringan, visual, dan emosional. Ia adalah figur yang menggabungkan citra Jokowi—sederhana dan populis—dengan daya tarik digital yang menjangkau platform-platform sosial. Sebagaimana dikemukakan oleh Pitkin (1967), representasi politik tidak hanya bersifat substantif, tetapi juga simbolik. Simbol memiliki daya mobilisasi yang kuat dalam membentuk persepsi kolektif dan identitas politik partai.
Namun, dalam konteks perceived legitimacy, Tyler (2006) menegaskan pentingnya keadilan prosedural sebagai landasan penerimaan publik terhadap otoritas pemimpin. Kritik terhadap terpilihnya Kaesang sebagian besar menyasar proses internal PSI yang dianggap elitis dan tidak partisipatif. Kaesang muncul seakan sebagai produk politik instan yang diangkat melalui koneksi keluarga, bukan dari proses meritokratis dalam partai. Hal ini menimbulkan ketegangan antara kebutuhan akan simbol perubahan dan tuntutan akan struktur yang demokratis dan kompeten.
Selain itu, narasi pencitraan politik yang mengedepankan gaya daripada isi menjadi problematik dalam konteks post-truth politics. Emosi dan citra mendominasi di atas fakta dan kapasitas. Kaesang menjadi simbol narasi baru, tapi belum tentu memenuhi syarat substansi yang diperlukan untuk mengelola kompleksitas politik dan organisasi secara berkelanjutan.
Transformasi Budaya Organisasi PSI
Peran Kaesang sebagai ketua umum juga perlu dianalisis dari sudut psikologi organisasi, terutama terkait dengan kemampuan mengelola dan mentransformasi budaya internal PSI. Sebagai partai yang identik dengan aktivisme, antikonservatisme, dan semangat solidaritas, PSI memiliki struktur nilai yang terbangun sejak awal pendiriannya. Kaesang membawa pendekatan yang lebih populis dan pragmatis—fokus pada elektabilitas, komunikasi digital, dan personal branding. Ketika dua pendekatan ini bertemu, berpotensi muncul disonansi organisasi.
Menurut Bass dan Riggio (2006), model transformational leadership menekankan kemampuan pemimpin untuk menginspirasi, menumbuhkan loyalitas, dan mendorong perubahan melalui visi yang kuat. Kaesang sejauh ini mencoba menyisipkan visi partai anak muda yang inovatif dan terbuka terhadap perubahan. Namun, tantangan utama terletak pada pengelolaan konflik nilai antara generasi pendiri PSI dan simpatisan baru yang dibawa melalui citra Kaesang.
Untuk dapat mengubah budaya organisasi secara efektif, Kurt Lewin (1947) menawarkan model tiga tahap: unfreezing (melepas nilai lama), changing (mendorong transformasi), dan refreezing (memantapkan nilai baru). Dalam konteks PSI, fase unfreezing membutuhkan kemampuan Kaesang untuk membangun dialog dengan kelompok aktivis lama agar tidak merasa kehilangan ruang dalam transformasi partai. Tanpa tahapan ini, upaya rebranding PSI akan bersifat kosmetik dan berisiko menimbulkan fragmentasi internal.
Selain itu, aspek komunikasi juga memainkan peran penting. Kaesang mengandalkan humor, visual, dan gaya informal dalam menyampaikan pesan politik. Meskipun efektif menjangkau segmen muda, gaya komunikasi ini bisa menimbulkan kesan trivial terhadap isu-isu serius yang menjadi concern PSI selama ini, seperti antikorupsi, pluralisme, dan antikekerasan.
Substitusi Jokowi dan Prognosa Kepemimpinan
Kaesang tidak dapat dipisahkan dari bayang-bayang Jokowi, sang ayah sekaligus Presiden RI. Dalam kerangka psikologi politik, ia berfungsi sebagai political substitute—bukan hanya secara biologis, tetapi juga simbolik. Figur Kaesang menggemakan citra Jokowi dalam versi yang lebih ringan, digital, dan komunikatif. Substitusi ini memberi keuntungan elektoral bagi PSI karena meningkatkan recognition factor dan resonansi emosional dengan pemilih.
Namun, substitusi politik memiliki keterbatasan jika tidak dibarengi dengan performa yang independen dan otentik. Ketergantungan pada afiliasi keluarga menciptakan dependency syndrome, di mana legitimasi politik hanya berlaku selama citra Jokowi tetap positif. Padahal, dalam jangka panjang, kemampuan seorang pemimpin diukur dari kapasitasnya mengelola dinamika dan konflik organisasi secara strategis, bukan sekadar kemampuan tampil di publik.
Prognosa terhadap kepemimpinan Kaesang dapat ditinjau dari teori institutionalization Selznick (1957), yaitu proses di mana nilai-nilai pemimpin terinternalisasi dalam struktur dan praktik organisasi. Jika Kaesang mampu membangun sistem kaderisasi, memperkuat identitas partai, dan menciptakan saluran komunikasi internal yang sehat, maka PSI bisa tumbuh menjadi partai alternatif yang adaptif terhadap transformasi sosial-politik Indonesia. Sebaliknya, jika kepemimpinannya hanya berfungsi sebagai etalase komunikasi dan elektoral, maka keberlangsungannya bersifat temporer dan rapuh.
Secara eksternal, PSI berhadapan dengan politik elektoral yang semakin kompleks dan cair. Basis pemilih muda yang menjadi target partai juga bersifat fluktuatif, dengan preferensi yang cepat berubah. Oleh karena itu, kemampuan Kaesang membangun sistem partai yang tangguh, tidak hanya berbasis pencitraan, menjadi kunci keberhasilan jangka panjang. Strategi komunikasi harus ditopang oleh substansi ideologi, struktur kaderisasi, dan program kerja yang menyentuh kepentingan publik secara konkret.
***
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya berjudul “Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasi di Era Transformasi Sosio- Digital” (Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2025) dan buku yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.