Korupsi merupakan masalah yang paling mendesak di Indonesia dan fenomena ini telah menjadi perhatian banyak pihak, baik di dalam negeri maupun internasional. Dalam artikel berjudul “Corruption as a Career Path” yang dipublikasikan di KBA News, Leigh McKiernan, seorang executive headhunter, mengemukakan pandangan yang mencengangkan: korupsi telah menjadi semacam jalur karier bagi sebagian individu.
Artikel McKiernan tidak hanya menggambarkan bagaimana korupsi meresap ke dalam berbagai lapisan masyarakat dan pemerintahan, tetapi juga menganalisis mengapa praktik ini bisa dianggap sebagai strategi untuk mencapai tujuan karier.
Melalui perspektif teori pengambilan hati (ingratiation) yang dikemukakan oleh Edward E. Jones (1965) dan Jones & Wortman (1973), kita juga dapat memahami mengapa korupsi dianggap sebagai strategi karier.
Pengambilan Hati: Taktik untuk Mencapai Tujuan
Teori pengambilan hati (Jones, 1965; Jones & Wortman, 1973) menjelaskan bagaimana individu menggunakan berbagai taktik untuk membuat diri mereka disukai oleh orang lain, dengan tujuan memperoleh keuntungan tertentu. Taktik-taktik ini meliputi pujian, kesamaan pendapat, presentasi diri yang positif, dan bantuan.
Dalam konteks korupsi, taktik-taktik ini sering kali menjadi alat strategis untuk memanipulasi pengambil keputusan. Sebagai contoh, seorang pejabat publik mungkin menggunakan sanjungan berlebihan kepada atasannya untuk mendapatkan promosi atau akses ke proyek-proyek bernilai tinggi. Fenomena ini mencerminkan bagaimana pengambilan hati dapat menjadi bagian integral dari budaya korupsi di berbagai institusi.
Dalam praktiknya, pengambilan hati sering kali digunakan untuk menciptakan hubungan yang menguntungkan antara pelaku korupsi dan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan. Sebagai ilustrasi, kasus korupsi e-KTP di Indonesia menunjukkan bagaimana para pelaku menggunakan hubungan personal dan taktik pengambilan hati untuk memuluskan proyek bernilai triliunan rupiah. Dalam kasus ini, sejumlah pejabat tinggi terlibat dalam manipulasi anggaran dengan memanfaatkan koneksi pribadi dan kesamaan kepentingan. Hal ini menunjukkan bahwa pengambilan hati bukan hanya sekadar strategi sosial, tetapi juga alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar, seperti kekuasaan dan kekayaan (Demak Bicara, 12/3/2025).
Selain itu, pengambilan hati juga dapat dilihat dalam bentuk dukungan terhadap kebijakan yang merugikan demi mendapatkan keuntungan pribadi. Misalnya, dalam kasus korupsi Pertamina, sejumlah pejabat diduga menyetujui kebijakan tata kelola minyak mentah yang merugikan negara demi mendapatkan imbalan finansial atau posisi strategis. Dalam situasi seperti ini, pengambilan hati menjadi mekanisme yang memungkinkan pelaku untuk mengamankan dukungan dari pihak-pihak yang berpengaruh, meskipun hal tersebut bertentangan dengan kepentingan publik (Tribun News, 14/3/2025).
Implikasi dari penggunaan pengambilan hati dalam korupsi sangatlah luas, mencakup kerugian finansial bagi negara hingga hilangnya kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan. Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana taktik ini bekerja dan bagaimana budaya korupsi dapat diberantas. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan memperkuat sistem transparansi dan akuntabilitas, sehingga hubungan personal tidak lagi menjadi faktor dominan dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian, pengambilan hati dapat dikembalikan ke fungsinya sebagai strategi sosial yang positif, bukan sebagai alat untuk korupsi (Teori Komunikasi Hati, 2020).
Korupsi: “Jalan Karier”?
Korupsi kerap dianggap sebagai “jalan karier” oleh sebagian orang karena budaya patronase dan nepotisme yang mendalam serta kurangnya transparansi dalam pemerintahan. Di Indonesia, hubungan personal sering kali menjadi penentu utama keberhasilan seseorang dibandingkan kompetensi profesional. Sebagai contoh, individu yang memiliki hubungan dekat dengan pejabat sering kali lebih mudah mendapatkan posisi strategis meskipun tidak memiliki kualifikasi memadai.
Hal ini sejalan dengan pandangan Boserup (1965) yang menyoroti bahwa sistem seperti ini mendorong individu untuk mencari cara-cara tidak etis demi memperkuat posisi mereka. Selain itu, kurangnya pengawasan dan akuntabilitas memungkinkan praktik korupsi berjalan tanpa takut terkena hukuman. Todaro (2000) mencatat bahwa ketidakjelasan dalam proses birokrasi menciptakan celah besar bagi pelaku korupsi untuk beroperasi secara leluasa tanpa adanya sanksi yang efektif.
Lebih jauh lagi, mentalitas “asal bapak senang” juga menjadi salah satu alasan mengapa taktik pengambilan hati marak digunakan dalam konteks korupsi. Alih-alih fokus pada kinerja profesional, banyak individu yang lebih memilih menyenangkan atasan mereka demi menjaga hubungan baik atau menghindari konflik. Mankiw (2000) menegaskan bahwa perilaku ini sering kali mengabaikan prinsip-prinsip etika demi keuntungan pribadi.
Selain itu, imbalan besar yang diperoleh dari praktik korupsi sering kali dianggap lebih menarik dibandingkan dengan risiko yang mungkin dihadapi. Misalnya, dalam banyak kasus penyalahgunaan anggaran, pelaku melihat korupsi sebagai jalan pintas untuk memperoleh kekayaan dan status sosial dengan cepat, sebagaimana dicatat oleh Kaufman & Hotchkiss (1999). Kombinasi faktor-faktor ini menciptakan lingkungan yang memungkinkan korupsi berkembang dan menjadi alat utama untuk mencapai ambisi pribadi.
Implikasi Korupsi bagi Masyarakat
Fenomena korupsi sebagai “jalan karier” memiliki implikasi serius bagi masyarakat dan negara secara keseluruhan. Korupsi tidak hanya menghambat pembangunan ekonomi tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan institusi publik lainnya. Ketika praktik korupsi melibatkan pejabat tinggi maupun sektor swasta, pembangunan yang seharusnya memajukan negara malah terhenti karena penyalahgunaan dana.
Sebagai contoh, kasus korupsi Wisma Atlet di Palembang menunjukkan bagaimana dana yang seharusnya dialokasikan untuk kepentingan olahraga justru disalahgunakan oleh pejabat untuk keuntungan pribadi (Komisi Pemberantasan Korupsi, 2019). Dampak seperti ini menimbulkan rasa tidak percaya masyarakat kepada pemerintah dan menumbuhkan apatisme politik, karena publik merasa sistem tidak adil dan penuh manipulasi.
Lebih jauh lagi, korupsi berdampak langsung pada kualitas layanan publik. Sumber daya yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur atau pelayanan kesehatan sering kali disalahgunakan. Misalnya, kasus Dana Desa di Indonesia mengungkap bagaimana sebagian besar anggaran yang ditujukan untuk pemberdayaan masyarakat pedesaan justru digunakan oleh oknum untuk membeli aset pribadi seperti mobil mewah atau tanah (Kementerian Keuangan RI, 2022). Keadaan ini memperparah ketimpangan sosial dan membuat masyarakat kehilangan kesempatan untuk keluar dari jerat kemiskinan.
Tidak hanya itu, korupsi memperburuk pemerataan layanan kesehatan, pendidikan, dan transportasi publik. Dalam kasus pengadaan alat kesehatan di era pandemi Covid-19, sejumlah pihak terlibat dalam menaikkan harga alat pelindung diri demi keuntungan pribadi. Akibatnya, fasilitas kesehatan di daerah terpencil kekurangan alat penting untuk menangani pasien (Transparency International Indonesia, 2021). Situasi ini menunjukkan bahwa korupsi menciptakan efek domino yang merugikan golongan masyarakat paling rentan.
Implikasi dari siklus korupsi ini mencakup kerugian finansial bagi negara dan hilangnya integritas institusi pemerintahan. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi memerlukan reformasi sistemik yang fokus pada transparansi dan akuntabilitas. Inisiatif seperti pengawasan ketat pada proses pengadaan barang dan jasa, serta penerapan sistem digital untuk mengurangi kontak langsung antarindividu, dapat membantu meminimalkan peluang korupsi (World Bank Group, 2020). Dengan langkah-langkah ini, diharapkan korupsi tidak lagi menjadi “jalan karier”, tetapi justru menjadi pintu masuk ke jalur hukum bagi pelakunya.
Penanggulangan
Korupsi yang telah menjadi masalah sistemik di Indonesia membutuhkan pendekatan terpadu untuk mengatasinya, dengan fokus pada transparansi, akuntabilitas, hukum, pendidikan, dan budaya. Peningkatan transparansi dan akuntabilitas sangat krusial, dan langkah-langkah seperti implementasi e-government dapat membantu meminimalkan korupsi dengan mengurangi interaksi langsung yang rawan manipulasi. Misalnya, sistem digitalisasi pengadaan barang dan jasa telah terbukti mengurangi kebocoran anggaran di berbagai negara.
Selain itu, memperkuat lembaga pengawas untuk mengawasi proses administrasi publik dapat menjadi langkah preventif yang signifikan. Di sisi lain, penegakan hukum yang tegas tanpa memandang status pelaku juga diperlukan. Kasus penegakan hukum terhadap tokoh publik terkenal, seperti dalam skandal e-KTP, menjadi contoh penting bagaimana efek jera dapat memberikan pesan kuat kepada masyarakat dan memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Solusi lainnya terletak pada pendidikan anti-korupsi dan perubahan budaya masyarakat. Pendidikan ini dapat dimulai sejak usia dini dengan memasukkan nilai-nilai integritas dan tanggung jawab ke dalam kurikulum sekolah formal. Sebagai contoh, program edukasi seperti yang dilakukan oleh KPK di berbagai daerah melalui kampanye “Saya Anak Jujur” bertujuan membentuk generasi muda yang sadar pentingnya melawan korupsi.
Di sisi lain, perubahan budaya diperlukan untuk mematahkan pola pikir patronase dan nepotisme yang mengakar kuat. Penerapan meritokrasi dalam masyarakat, di mana penghargaan didasarkan pada prestasi dan kompetensi, bukan hubungan personal, menjadi kunci untuk membangun lingkungan yang mendorong kejujuran dan transparansi. Upaya kolektif ini, bila dijalankan secara konsisten, dapat menciptakan sistem yang lebih bersih dan berintegritas.
Kesimpulan
Artikel “Corruption as a Career Path” memberikan gambaran jelas tentang bagaimana korupsi telah menjadi fenomena sistemik di Indonesia. Dengan menggunakan perspektif teori pengambilan hati, kita dapat memahami mengapa sebagian orang melihat korupsi sebagai strategi untuk mencapai tujuan karier mereka. Upaya komprehensif diperlukan dari seluruh elemen masyarakat —pemerintah, sektor swasta, lembaga pendidikan, hingga individu— untuk mengurangi praktik korupsi dan membangun Indonesia yang lebih bersih serta berintegritas.
Dengan langkah-langkah konkret menuju transparansi, penegakan hukum yang tegas, pendidikan anti-korupsi yang efektif, serta perubahan budaya yang mendasar, kita dapat berharap untuk melihat masa depan di mana integritas dan kejujuran menjadi landasan utama dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Daftar Referensi
Audretsch, D.B., Van der Horst, R., Kwaak, T., & Thurik, A.R. (2009). Entrepreneurship and Economic Growth. Springer.
Boserup, E. (1965). The Conditions of Agricultural Growth: The Economics of Agrarian Change under Population Pressure. Aldine Publishing.
Jones, E. E. (1965). Conformity as a Tactic of Ingratiation: Uses of agreement to enhance one’s power in a social relationship are explored experimentally. Science, Vol 149, Issue 3680, hal. 144-150 DOI: 10.1126/science.149.3680.144
Jones, E. E., & Wortman, C. (1973). Ingratiation: An attributional approach. Morristown: General Learning Press.
Kaufman, B.E., & Hotchkiss, J.L. (1999). The Economics of Labor Markets. Dryden Press.
Mankiw, N.G. (2000). Principles of Economics. South-Western College Publishing.
Todaro, M.P. (2000). Economic Development. Addison-Wesley.
***
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.