Categories
Begini Saja

Proses Demokratisasi Tanpa Elite

Demokrasi sering dianggap sebagai sistem pemerintahan yang ideal, di mana kekuasaan berada di tangan rakyat. Namun, dalam praktiknya, demokrasi sering kali direduksi menjadi sekadar prosedur pemilihan umum yang didominasi oleh elite politik dan ekonomi.

Artikel ini akan membahas proses demokratisasi tanpa dominasi elite, dengan fokus pada tiga aspek utama: peran elite dalam demokrasi, representasi publik melalui pemilu, dan mekanisme check and balance antarlembaga. Melalui perdebatan teoritik dan data riset terkini, kita akan mengeksplorasi bagaimana demokrasi substansial dapat diwujudkan tanpa mengorbankan partisipasi publik.

Peran Elite dalam Demokrasi

Elite politik dan birokrasi sering menjadi aktor utama dalam proses demokratisasi. Namun, dominasi mereka justru dapat mengikis partisipasi publik. Robert Michels dalam “Iron Law of Oligarchy” (1911) mengemukakan bahwa setiap organisasi, termasuk partai politik, cenderung dikuasai oleh segelintir elite. Fenomena ini terlihat jelas dalam banyak negara, di mana elite partai dan birokrasi memonopoli pengambilan keputusan, sementara publik hanya menjadi penonton pasif.

Namun, tidak semua pakar sepakat dengan pandangan ini. Samuel Huntington dalam “The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century” (1991) berargumen bahwa elite dapat menjadi katalisator demokratisasi jika mereka memiliki komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi. Misalnya, di Indonesia, reformasi 1998 dipicu oleh elite politik yang bersedia melepaskan kekuasaan otoriter. Meski demikian, tantangan terbesar adalah memastikan bahwa elite tidak hanya memanfaatkan demokrasi untuk kepentingan pribadi.

Dari sini sulit dibantah bahwa peran elite dalam demokrasi harus dibatasi melalui mekanisme akuntabilitas yang ketat. Tanpa itu, demokrasi akan terjebak dalam lingkaran oligarki, di mana kekuasaan hanya beredar di antara segelintir orang.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa ketidakseimbangan antara prinsip minoritas dan prinsip demokrasi telah menyebabkan tekanan pada demokrasi liberal. Sebuah studi oleh Antonio Campati (2021) mengungkapkan bahwa dalam demokrasi kontemporer, prinsip minoritas sering kali mendominasi, mengakibatkan ketidakpuasan publik dan peningkatan otoritarianisme. Selain itu, penelitian oleh Wijayanto et al. (2020) menunjukkan bahwa di Indonesia, elite politik memiliki peran penting dalam menentukan masa depan konsolidasi demokrasi, tetapi sering kali memanfaatkan posisi mereka untuk kepentingan pribadi. Temuan ini menegaskan pentingnya mekanisme akuntabilitas yang ketat untuk mencegah dominasi elite dan memastikan partisipasi publik yang lebih luas dalam proses demokrasi.

Representasi Publik via Pemilu sebagai Arena Deliberasi

Pemilihan umum sering dianggap sebagai puncak dari proses demokratisasi. Namun, dalam praktiknya, pemilu justru menjadi arena kompetisi elektoral yang didominasi oleh kekuatan kapital. Menurut data International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) 2023, partisipasi pemilih di banyak negara demokratis terus menurun, terutama di kalangan generasi muda. Hal ini menunjukkan bahwa pemilu tidak lagi dipandang sebagai sarana deliberasi, melainkan sekadar ritual formal.

Hannah Arendt dalam “The Human Condition” (1958) mengingatkan bahwa ruang publik seharusnya menjadi tempat kebebasan sejati, di mana warga dapat terlibat dalam wacana dan aksi politik. Namun, dalam konteks pemilu kontemporer, ruang publik ini direduksi menjadi medan perebutan kuasa oleh elite. Misalnya, di Amerika Serikat, studi dari Princeton University (2014) menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah lebih sering mencerminkan kepentingan elite ekonomi daripada keinginan publik.

Untuk mengatasi masalah ini, beberapa pakar menyarankan reformasi sistem pemilu. Misalnya, Larry Diamond dalam “The Spirit of Democracy” (2008) menekankan pentingnya pendanaan kampanye yang transparan dan pembatasan donasi politik. Dengan demikian, pemilu dapat kembali menjadi arena deliberasi yang inklusif, bukan sekadar kompetisi elektoral yang didominasi oleh elite.

Penelitian terbaru dari Frontiers in Political Science (2024) menunjukkan bahwa persepsi publik terhadap representasi politik sangat dipengaruhi oleh pengalaman mereka dengan proses pemilu. Studi ini menemukan bahwa di banyak negara, pemilu sering kali didominasi oleh kekuatan kapital, yang mengurangi esensi pemilu sebagai arena deliberasi. Selain itu, penelitian ini juga mengungkapkan bahwa partisipasi pemilih dari kalangan generasi muda tetap rendah dibandingkan dengan generasi yang lebih tua. Untuk mengatasi masalah ini, beberapa pakar merekomendasikan reformasi pendanaan kampanye dan pembatasan donasi politik untuk memastikan bahwa pemilu kembali menjadi arena deliberasi yang inklusif.

Menjaga Keseimbangan Kekuasaan Tanpa Dominasi Elite

Salah satu prinsip dasar demokrasi adalah check and balance antarlembaga negara. Namun, dalam banyak kasus, mekanisme ini justru dimanipulasi oleh elite untuk mempertahankan kekuasaan. Max Weber dalam “The Theory of Social and Economic Organization” (1947) mengingatkan bahwa birokrasi modern sering mengalienasi mereka yang tidak memiliki akses terhadap kekuasaan. Hal ini terlihat jelas dalam banyak republik, di mana lembaga yudikatif dan legislatif sering tunduk pada kepentingan eksekutif.

Namun, tidak semua negara mengalami masalah ini. Di Skandinavia, misalnya, mekanisme check and balance berjalan efektif berkat transparansi dan partisipasi publik yang tinggi. Menurut laporan Transparency International 2024, negara-negara seperti Norwegia dan Denmark memiliki tingkat korupsi yang rendah karena sistem pemerintahan mereka didukung oleh masyarakat yang aktif mengawasi kinerja pemerintah.

Untuk menciptakan check and balance yang efektif, diperlukan reformasi kelembagaan yang melibatkan partisipasi publik. Misalnya, dengan memperkuat peran lembaga pengawas independen dan membuka ruang bagi masyarakat sipil untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Tanpa itu, demokrasi akan terus didominasi oleh elite, sementara publik hanya menjadi penonton pasif.

Posibilitas Demokratisasi Tanpa Elite

Proses demokratisasi tanpa elite bukanlah hal yang mustahil, tetapi membutuhkan komitmen kolektif dari semua pihak. Elite politik dan birokrasi harus bersedia melepaskan monopoli kekuasaan, sementara publik harus aktif terlibat dalam proses politik. Pemilu perlu direformasi agar menjadi arena deliberasi yang inklusif, bukan sekadar kompetisi elektoral yang didominasi oleh kekuatan kapital. Selain itu, mekanisme check and balance harus diperkuat untuk mencegah dominasi elite dalam pengambilan keputusan.

Seperti yang diingatkan oleh Jean-Jacques Rousseau, republik sejati adalah milik publik, bukan elite. Tanpa partisipasi aktif dari publik, demokrasi hanya akan menjadi ilusi yang dikendalikan oleh segelintir orang. Oleh karena itu, menghidupkan kembali publik dalam republik adalah tugas bersama yang harus dijalankan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.

Daftar Referensi 

Ahrens, L. The impact of public opinion on voting and policymaking. Z Politikwiss 34, 77–100 (2024). https://doi.org/10.1007/s41358-024-00366-w.

Arendt, Hannah. (1958). The Human Condition. The University of Chicago Press, London.

Campati, A. Elite and Liberal Democracy: A New Equilibrium?. Topoi 41, 15–22 (2022). https://doi.org/10.1007/s11245-021-09762-1.

Diamond, Larry. (2008). The Spirit of Democracy: The Struggle to Build Free Societies Throughout the World.  US: Times Book Company.

Frontiers in Political Science (2024). Elections and Representation. https:// https://www.frontiersin.org/journals/political-science/sections/elections-and-representation.

Huntington, Samuel. (1991). The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century. Oklahama: University of Oklahama Press.

International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA). (2023). Global Report on Democracy

Michels, Robert. (1911). Political Parties: A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy. Lepzig : Verlag van Dr. Werner Klinkhardt.

Transparency International. (2024). Corruption Perceptions Index

Weber, Max. (1947). The Theory of Social and Economic Organization. New York: Oxford University Press.

Wijayanto, Budi Setiyono & Rina Martini (2021). “Examining the Current State of Indonesian Democracy: Elite’s Perspective “. ICISPE 2020, October 09-10, Semarang, Indonesia. https:// https://eudl.eu/pdf/10.4108/eai.9-10-2020.2304723?form=MG0AV3.

***

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

One reply on “Proses Demokratisasi Tanpa Elite”

Tks atas pemikirannya Pak Edy. Luar biasa. Menyimak.
Banyak pakar sepertinya memang tidak sepenuhnya sepakat bahwa demokrasi bukanlah sistem pemerintahan terbaik. Tetapi, dia terbaik di antara sistem pemerintahan dan mobilisasi politik warga yang selama ini ada.
Memang, harus diakui, demokrasi tidak mudah berkembang dalam masyarakat dengan kesadaran yang rendah tentang kepentingan publik, pemerintahan dalam kehidupan personal warga dan partisipasi warga. Massifikasi massa, arus pemikiran dan ideologi warga, propaganda dan perebutan pengaruh, peran kelompok dan pendekatan patron, bentrokan kelompok dan kemungkinan terjebak dalam gerakan dan mobilisasi massa sektarian bisa menyebabkan demokrasi mudah kehilangan arah dan bergeser memang sangat mungkin terjadi.
Ciri dinamis demokrasi seperti ini menyebabkan elit tetap diperlukan, agar rakyat tidak terus bergerak menjadi massa, mob sektarian dan propaganda tidak berdampak buruk bagi kehidupan bersama. Yang mungkin diperlukan adalah mencari antidot untuk gejala itu.
Antidote dalam kasus ini saya kira hukum yang kuat. Kita butuh elit, bukan sekedar untuk mengartikulasi kepentingan warga tetapi juga berada di bawah hukum sambil tentu saja memastikan ada check and balances berfungsi maksimal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *