Categories
Begini Saja

Adakah yang Besar pada Guru Besar?

Kebijakan Universitas Airlangga yang meminta guru besar tidak menuliskan gelar di luar kepentingan akademik merupakan langkah menarik dalam konteks pendidikan tinggi Indonesia. Sakralisasi gelar akademik kerap memunculkan berbagai kontradiksi dalam masyarakat, terutama ketika gelar digunakan sebagai simbol status ketimbang penunjuk kualifikasi profesional murni. Fenomena ini dapat dilihat sebagai sesuatu yang melanggengkan hierarki sosial di luar ranah akademis, menambah beban serta jarak antara kalangan akademisi dan masyarakat umum.

Pandangan psikologi menyikapi gelar akademik sebagai simbol identitas dan pengakuan sosial, yang memberikan rasa superioritas kepada pemiliknya (Bourdieu, 1986). Di sisi lain, filsafat pendidikan mengajarkan bahwa pendidikan seharusnya memampukan manusia menjadi lebih humanis dan interaktif, bukan hanya mengangkat status sosial individu. Adanya gap ini mengarahkan kita pada pertanyaan apakah gelar guru besar benar-benar menjelaskan kebesaran karakter dan kontribusi di luar akademia.

Dalam pandangan para pakar, seperti yang diungkapkan oleh Julian Benda dalam “The Treason of the Intellectuals“, kecendekiawanan seharusnya melambangkan dedikasi terhadap kebenaran dan moralitas, bukan kekuasaan dan status (Benda, 1927). Namun, realitas menunjukkan pembelokan fungsi ini di mana gelar guru besar seringkali dijadikan alat feodalisme baru, yang berlawanan dengan spirit modernitas yang menekankan kesetaraan dan meritokrasi.

Mitologisasi status guru besar seakan menghadirkan figur sakral di kancah sosial, layaknya seorang ‘begawan akademik’ yang jauh dari jangkauan publik. Mariana Delposo dalam kajiannya tentang pendidikan modern menunjukkan bahwa mitologisasi ini justru mengekang inovasi dan partisipasi aktif dalam masyarakat (Delposo, 2010). Ini sejalan dengan perubahan paradigma pendidikan dari model elit ke kolaboratif, menuntut peran proaktif dan dinamis dari seluruh elemen akademia.

Pada sisi lain, filsafat modern menolak sakralisasi yang berlebih dan mendorong konsekrasi nilai-nilai keutamaan hidup, termasuk sumbangan nyata terhadap kemanusiaan dan perkembangan sosial (Nussbaum, 1997). Kecendekiawanan seharusnya dilihat sebagai pengabdian terhadap nilai kebenaran dan kebermanfaatan umum, bukan sekadar simbol status sosial atau akademik.

Dengan demikian, kebesaran seorang guru besar tidak dilihat dari gelarnya, melainkan dari kontribusi nyata yang diberikan kepada masyarakat. Sakralisasi berlebihan terhadap gelar akademik mengalihkan esensi pendidikan dari sarana transformasi sosial menjadi alat peneguhan hierarki. Oleh karena itu, hendaknya kita memaknai kembali kebesaran guru besar melalui lensa kontribusi dan komitmen terhadap perbaikan kehidupan masyarakat luas.

Daftar Referensi:

Benda, Julian. (1927). The Treason of the Intellectuals. William Morrow & Co.

Bourdieu, Pierre. (1986). The Forms of Capital. In Richardson J. (Ed.), Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education.

Delposo, Mariana. (2010). Educational Paradigms in Modern Society. Columbia: Columbia University Press.

Nussbaum, Martha. C. (1997). Cultivating Humanity: A Classical Defense of Reform in Liberal Education. Harvard University Press.

***

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

4 replies on “Adakah yang Besar pada Guru Besar?”

Penjelasan dan argumen yang kuat disampaikan oleh Pak Edy Suhardono mengingatkan kita semua bahwa yang lebih memberikan dampak nyata bagi masyarakat sekitar kita adalah kontribusi yang dapat dirasakan membantu mengatasi persoalan akses kesehatan, layanan kedokteran yang humanis, layanan pendidikan yang merata, korupsi yang semakin berkurang, pajak yang tidak membebani, jalan yang bagus, penerangan jalan umum yang terawat, transportasi yang tepat waktu dan nyaman, sampah yang terolah dengan baik, banjir yang kian berkurang, dan kesejahteraan seluruh warga negara semakin baik sampai pelosok-pelosok.
Dengan adanya titel akademik sampai profesor tetapi ketika mendapat amanah untuk menjadi dokter, aparatur sipil negara, teknokrat, birokrat, anggota dewan dan banyak lagi profesi, tidak memberikan dampak menjadi dokter yang humanis dan informatif, membuat kebijakan yang cenderung koruptif, memutus di pengadilan hanya berdasar kekuatan uang, maka sekali lagi dipertanyakan gelar yang mentereng tersebut apa dampaknya?
Teringat pesan yang disampaikan oleh Alm. Kees Bertens (1936-2024) yang tutup usia 19/7/2024. Almarhum Kees Bertens adalah Guru Besar Emeritus Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta. Pesan yang saya ingat dalam beberapa buku yang ditulis yaitu peran etika dan moral menjadi penting seperti mercusuar yang memberikan penerangan bagi mereka yang di laut gelap untuk menemukan arah yang terang dan bermanfaat. Iya, etika dan moral.

Terima kasih tanggapannya, Mas Sugeng.

Anda mendaftar poin yang penting terkait dampak nyata gelar akademik, khususnya profesor, terhadap kontribusi nyata bagi masyarakat. Memang benar bahwa titel akademik tidak serta-merta menjamin seseorang dapat memberikan manfaat signifikan bagi kepentingan publik.

Contoh dari Indonesia, beberapa profesor telah menunjukkan peran penting mereka dalam masyarakat. Prof. Pratikno, Guru Besar Ilmu Pemerintahan UGM, dikenal sebagai akademisi yang aktif terlibat dalam proses pembuatan kebijakan pemerintah yang lebih transparan dan partisipatif (Kompas, 2021).

Di bidang kesehatan, Prof. Amin Soebandrio, Guru Besar Mikrobiologi UI, telah berkontribusi besar dalam penanganan pandemi COVID-19 melalui penelitian dan advokasi (Detik, 2020).

Sementara itu, di level global, Prof. Amartya Sen, Guru Besar Ekonomi di University of Cambridge, diakui karya-karyanya yang memberi perspektif baru tentang pembangunan dan keadilan sosial (The Guardian, 2019).

Seperti yang diingatkan oleh almarhum Kees Bertens, etika dan moral menjadi elemen penting bagi mereka yang memiliki posisi akademik terhormat. Gelar akademik harus dibarengi dengan integritas, empati, dan komitmen untuk memberikan kontribusi yang nyata bagi kesejahteraan masyarakat. Hanya dengan cara inilah, para profesor dapat menjadi mercusuar bagi mereka yang mencari arah yang terang dan bermanfaat.

Mantap dan menyimak, tuntas Pak Edy Suhardono. Namun, dalam realitas Indonesia-an, saya harus agak bertanya sedikit.

Dalam konteks budaya masyarakat Indonesia, yang menempatkan pengaruh sebagai sesuatu yang keluar dari kekuasaan, kekayaan dan kharisma yang cenderung kultural, apakah seorang profesor yang mungkin tidak punya tiga hal penting di atas bisa berjalan tegak di tengah masyarakat?

Mungkin lebih tepat saya bahasakan secara lain, apakah seorang dosen yang tidak punya apa-apa bisa berjalan tegak di masyarakat kita yang memuja tiga ciri yang menyebabkan si A sebagai “seseorang?”

Sependek pengamatan saya, seorang profesor yang naik sepeda motor kerap tidak terlampau dihargai dibanding seorang pedagang kaya yang naik mobil misalnya. Fenomena ini menyebabkan pada tahap tertentu, orang-orang yang memiliki akses pada potensi publik, dalam hal ini birokrat yang ingin merebut pengaruh yang ingin diglorifikasi misalnya, melakukan korupsi. Jika tidak, seorang profesor di masyarakat hanyalah orang yang salah tempat untuk tidak dikatakan sebagai mahluk aneh. Dia baru diakui jika berada di dunianya, dunia para akademisi.

Kenyataan ini menyebabkan saya senang mengatakan, “menggunakan gelar di luar dunia ilmiah itu identik dengan memperlihatkan sesuatu ‘yang tersisa’ dari potensi seorang profesor di tengah masyarakat kita yang cenderung mengglorifikasi kekuasaan, kekayaan dan kharisma.”

Pak Jacobus, terima kasih atas tanggapan yang tajam ini.

Baik komentar maupun pertanyaan yang Anda ajukan benar-benar menyentuh persoalan yang krusial dalam konteks masyarakat Indonesia, yakni kecenderungan menghargai seseorang berdasarkan atribut-atribut kekuasaan, kekayaan, dan kharisma.
Pada hemat saya, setiap individu memiliki identitas ganda -identitas “akar” (root) dan identitas “jalur” (route)- yang masing-masing membawa makna dan penghargaan yang berbeda (Suhardono & Audivax, 2023). Seorang profesor, dalam konteks akademik, memiliki identitas “akar” yang diakui dan dihargai oleh komunitasnya. Namun, ketika berada di ruang publik yang lebih luas, identitas “jalurnya” yang berupa atribut kekuasaan, kekayaan, atau kharisma mungkin menjadi lebih dominan dalam mendapatkan penghargaan.
Fenomena ini tidak semata-mata mencerminkan ketidakadilan, melainkan kompleksitas konstruksi identitas dalam suatu budaya. Seorang profesor yang tidak memiliki atribut-atribut “jalur” yang disakralkan oleh masyarakat, namun tetap berjalan tegak dan menjaga integritasnya, sesungguhnya sedang menegaskan identitas “akar”nya yang jauh lebih bermakna. Mereka dapat menjadi panutan dan inspirasi bagi masyarakat, khususmya generasi muda, untuk mengembangkan kompetensi, integritas, dan karakter yang luhur, terlepas dari status sosial-ekonomi.
Transformasi ini tentu membutuhkan upaya terus-menerus, baik dari kalangan akademisi maupun masyarakat luas, untuk menghargai sosok-sosok yang berjuang demi kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban, terlepas dari atribut-atribut “jalur” yang seringkali menjadi ukuran keberhasilan di ruang publik. Dengan demikian, kita dapat membangun sebuah budaya yang lebih menempatkan substansi di atas simbol, serta menghargai pengabdian dan integritas sebagai fondasi kemajuan yang sesungguhnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *