Adalah sebuah kenyataan bahwa pengajaran di sekolah seringkali dijadikan garda terdepan dalam upaya peningkatan literasi di Indonesia. Kurikulum 2013 yang menjadi acuan terakhir, kini diganti oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dengan motif mengatasi keterbatasan literasi yang masih menghantui peserta didik. Namun, pertanyaannya adalah apakah pengajaran di sekolah, dengan segala bentuk uniformitas dan konformitas yang ditunjukkannya, cukup efektif untuk menanamkan budaya literasi? Menurut hemat penulis, literasi tidak semata-mata bisa diajarkan dan dikembangkan di sekolah melalui metode konvensional saja.
Formalisme Sekolah
Penanaman budaya literasi yang berkelanjutan membutuhkan lebih dari sekadar kurikulum dan metode pengajaran konvensional. Literasi membutuhkan lingkungan yang mendukung dan memberikan kebebasan bagi peserta didik untuk mengeksplorasi minat mereka. Studi terbaru oleh Smith dan Anderson (2022) menunjukkan bahwa partisipasi aktif dalam kegiatan literasi di luar kelas, seperti klub baca atau diskusi buku, meningkatkan kemampuan literasi peserta didik sebesar 35%. Hal ini menegaskan bahwa aktivitas non-formal sangat berperan dalam meningkatkan kemampuan literasi. Jadi yang berkontribusi terhadap budaya literasi bukan formalitas persekolahan, tetapi non formalitas di luar sekolah.
Tentang formalitas persekolahan tersebut Indrawati dan Suyitno (2020) melalui penelitian mereka menyimpulkan, sistem pendidikan di Indonesia masih terjebak dalam model pembelajaran yang bersifat teacher-centered. Guru mendominasi proses belajar mengajar, sementara peserta didik hanya menjadi penerima pasif informasi. Hal ini dapat menghambat pengembangan kemampuan literasi yang mencakup keterampilan membaca, menulis, berpikir kritis, dan pemecahan masalah. Peserta didik terbiasa menghafal dan menerima informasi apa adanya, tanpa dilatih untuk membangun pemahaman dan pengetahuan secara mandiri.
Lebih lanjut, Suryanto dan Winarni (2021) menyoroti permasalahan uniformitas dalam kurikulum dan metode pembelajaran di sekolah. Proses belajar-mengajar cenderung terstandarisasi, dengan target-target capaian yang harus dipenuhi oleh seluruh peserta didik. Akibatnya, kreativitas, keunikan, dan potensi individual peserta didik terabaikan. Padahal, kemampuan literasi yang holistik membutuhkan pengembangan daya kritis, imajinatif, dan kemampuan beradaptasi pada setiap individu.
Konformitas
Konformitas yang diusung di sekolah-sekolah seringkali membuat siswa merasa tertekan dan kehilangan minat untuk belajar. Buchanan dan Hyde (2021) menemukan bahwa siswa yang diberikan kebebasan untuk memilih bahan bacaan sesuai minat mereka menunjukkan peningkatan pemahaman dan minat membaca hingga 50% lebih tinggi dibandingkan mereka yang hanya mengikuti silabus wajib. Kebebasan ini memungkinkan siswa untuk mengeksplorasi berbagai genre dan topik yang dapat merangsang minat baca mereka.
Lebih jauh, Nugroho dan Sulistyowati (2022) menemukan bahwa praktik pembelajaran di sekolah masih didominasi oleh pola konformitas dan kepatuhan. Peserta didik dituntut untuk menyesuaikan diri dengan aturan, norma, dan ekspektasi yang ditetapkan oleh pihak sekolah. Hal ini dapat menghambat pembentukan kepribadian yang mandiri, kreatif, dan kritis yang merupakan prasyarat penting bagi pengembangan literasi yang bermakna.
Bukan Monopoli Sekolah
Dari penelitian-penelitian yang penulis angkat ditunjukkan bahwa sekolah sebagai institusi formal tidak serta-merta mampu menjadi wahana yang efektif untuk menanamkan budaya literasi. Literasi bukan monopoli sekolah. Sekolah bukanlah satu-satunya wahana yang efektif untuk menanamkan budaya literasi jika terlalu berfokus pada uniformitas dan konformitas. Literasi adalah proses kompleks yang membutuhkan pendekatan multipihak dan kreativitas dalam metode pelaksanaannya. Praktik pembelajaran yang terlalu terpusat pada guru, terstandarisasi, dan menekankan konformitas dapat membelenggu potensi peserta didik dalam mengembangkan kemampuan literasi yang komprehensif. Sekolah, keluarga, komunitas, dan teknologi harus bersinergi untuk menciptakan lingkungan literasi yang dinamis dan mendukung.
Sinergi itu seringkali diabaikan dalam sistem pendidikan kita yang cenderung homogen dalam pendekatannya. Sekolah terkadang dianggap sebagai satu-satunya wahana literasi, tanpa memperhitungkan pentingnya peran keluarga dan komunitas. Data dari National Literacy Trust (2023) menunjukkan bahwa interaksi literasi di rumah, seperti kebiasaan membaca keluarga, berhubungan erat dengan kemampuan literasi anak. Sekitar 60% dari anak-anak yang memiliki kebiasaan membaca bersama orang tua rata-rata memiliki kemampuan literasi yang lebih tinggi. Uniformitas di dalam kelas sebaiknya dibarengi dengan bimbingan yang personal dan interaktif.
Personalisasi
Meski sudah ada usaha dari sekolah untuk menyediakan beragam materi dan metode pengajaran, kenyataannya tidak selalu semua siswa mendapatkan perhatian yang mereka butuhkan secara individual. Dalam kajian oleh Jones et al. (2022), ditemukan bahwa personalisasi pembelajaran berdampak signifikan pada peningkatan literasi siswa sebesar 40%, karena pendekatan ini memungkinkan pengajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan kecepatan belajar siswa. Jadi, sudah saatnya kita membuka wawasan mengenai metode pembelajaran literasi yang lebih inklusif. Semua pihak harus terlibat dalam menciptakan kebiasaan membaca yang menyenangkan dan bermanfaat. Dengan demikian, budaya literasi akan dapat berkembang secara optimal dan tidak terkungkung pada ruang kelas saja.
Hanya dengan pergeseran paradigma dari uniformitas, konformitas, dan kepatuhan menuju pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, sekolah dapat menjadi wahana yang efektif untuk menanamkan budaya literasi yang berkelanjutan. Hal ini akan membekali peserta didik dengan kemampuan yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan di era informasi saat ini dan masa depan.
Daftar Referensi:
Buchanan, T., & Hyde, J. (2021). The Impact of Choice in Reading Materials on Student Engagement. Journal of Literacy Research, 53(3), 245-262.
Indrawati, R., & Suyitno, I. (2020). Analisis pembelajaran bahasa Indonesia berbasis kurikulum 2013 di sekolah dasar. Jurnal Basicedu, 4(2), 491-501.
Jones, L., Smith, R., & Patel, K. (2022). Personalization of Learning in Literacy Education. Educational Review, 74(1), 88-102.
National Literacy Trust. (2023). The Role of Family Literacy Practices in Improving Children’s Literacy Skills. London: National Literacy Trust.
Smith, A., & Anderson, J. (2022). Extracurricular Activities and Literacy Improvement. Reading Psychology, 43(2), 98-115.
Suryanto, A., & Winarni, R. (2021). Implementasi kurikulum 2013 di sekolah dasar. Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar, 8(1), 1-10.
***
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.
8 replies on “Literasi via Sekolah?”
Familiarisasi budaya literasi, sepertinya perlu dilinierkan dengan program meningkatkan reading habits, sebab sebagian besar anak generasi sekarang, tipikalnya : short periode of reading, not dept reading.
Implikasinya banyak sekali: mudah meletup via medsos
Dr. Nugroho Dwi Priyohadi yang berwawasan,
Terima kasih atas komentar Anda yang menyentuh inti masalah.
Benar bahwa mengenalkan budaya literasi harus diimbangi dengan program yang meningkatkan kebiasaan membaca yang lebih mendalam. Penelitian dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 2019 menunjukkan bahwa mayoritas siswa Indonesia membaca kurang dari satu jam per hari. Sementara Suyatno dan Wibowo (2021) menemukan bahwa kebiasaan membaca di kalangan pelajar masih didominasi oleh bacaan-bacaan ringan dan selintas, seperti konten media sosial. Hal ini diperparah dengan minimnya pembiasaan membaca buku dan sumber-sumber literasi yang lebih substantif di lingkungan sekolah.
Untuk mengatasi tantangan ini, penting bagi kita untuk menciptakan lingkungan sekolah dan rumah yang mendukung dan menginspirasi anak untuk membaca. Integrasi teknologi dengan kegiatan baca yang interaktif dan menarik, seperti e-book dan aplikasi membaca, dapat membantu memperpanjang perhatian mereka. Selain itu, program-program seperti Sustained Silent Reading (SSR) telah terbukti efektif di berbagai negara dalam membantu anak-anak membangun kebiasaan membaca yang lebih bertahan lama dan mendalam. Mari kita bersama-sama berkomitmen untuk menumbuhkan cinta baca yang sejati pada generasi muda kita.
Terimakasih atas tulisannya yang mengena dan tepat waktu. Semoga dia juga tepat sasaran, Pak Edy Suhardono. Proficiat.
Saya tidak tahu banyak soal kurikulum. Tetapi, bagaimanapun, harus dikatakan, gebrakan kementerian pendidikan dan kebudayaan itu, tidak tepat waktu. Mungkin juga belum tepat sasaran.
Yang sangat terasa justru kesan kritis. Juga mendesak. Kritis, dalam arti, kurikulum ini harus diperkenalkan, karena kekuasaan kementerian itu hanya berbilang hari.
Memang, kurikulum yang khusus menyasar pengembangan literasi ini memberikan harapan baru. Atau bolehkah dikatakan juga pesimisme baru, Pak Edy? Entahlah!
Pertanyaan ini tidak lahir dari keraguan terhadap kemampuan birokrasi untuk menjalankannya; toh negara punya semua yang dibutuhkan untuk membuat pengembangan masyarakat yang didambakannya terwujud. Jika pertanyaan itu bisa dinilai sebagai keraguan, maka, ia lebih pada kenyataan bahwa kecenderungan untuk membuat kebijakan politik sebagai proyek yang berdampak tidak seperti yang dirancangkan yang kerap terjadi di negeri ini menyebabkan kita boleh saja pesimistis.
Literasi yang disasar, harus diakui merupakan gebrakan yang berani ketika waktu senggang belum sepenuhnya dipandang sebagai peluang untuk melakukan kegiatan edukatif. Masyarakat kita masih melihat waktu luang sebagai kesempatan untuk melepaskan diri dari tekanan apa saja; dari beban kerja dengan pendapatan yang tidak berimbang. Kesempatan melarikan diri akibat frustrasi dari kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat. Melarikan diri ketika pendidikan menguras semua kemampuan ekonomi individu untuk berkembang seimbang.
Dengan demikian, gossip yang kerap berbasis kisah hoaks hanyalah ekspresi pelarian keseharian yang pada gilirannya, membuat masyarakat pun rentan dinilai sebagai masyarakat yang tidak menghargai waktu luang, yang suka gossip, suka hoaks dan dengan ciri gerombolan.
Ciri ini menempatkannya secara diametral dari literasi yang berbasiskan kerja intelektual yang mendayagunakan otak. Cirinya yang abstrak serta tidak berorientasi ekonomi menyebabkan menggalakkan literasi bukanlah hal yang mudah bagi masyarakat kita. Dan kita tahu, pelarian mudah dari menenggelamkan diri dalam membaca buku adalah klaim bahwa pertemuan dua orang bukan sekedar pertemuan antarpribadi, tetapi pertemuan ide. Pertemuan gagasan. Padahal, angin sakalnya, pertemuan antarpribadi bisa jadi pertemuan antargosip, antarhoaks.
Kenyataan ini membuat banyak orang berpikir bahwa untuk membentuk sebuah generasi sadar literasi, kita harus mampu membangun masyarakat sadar literasi. Daripada membuka kursus-kursus Bahasa Inggris, kampung Pare di Jawa Timur misalnya, membuat masyarakatnya sebagai masyarakat Bahasa Inggris, yang memungkinkan para pembelajar dan siapapun yang datang ke sana.
Persoalannya, mampukah masyarakat kita dibentuk seperti ini.
Kementerian pendidikan dan kebudayaan pasti sudah punya konsepnya yang tinggal dieksekusi. Tanpa bertumpu dari masyarakat atau minimal orangtua pembelajar yang sadar literasi, yang masih sibuk dengan urusan perut, kurikulum, seperti biasa, hanyalah dokumen yang tidak banyak berdampak. Memang harus diakui, sebagai proyek, dia berdampak. Dan, dampaknya mungkin saja jauh. Sampai penjara misalnya.
Pak Jacobus E. Lato yang jeli,
Terima kasih Anda telah mengangkat beberapa poin penting terkait implementasi kurikulum literasi yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Memang, perubahan budaya literasi tidak dapat terjadi secara instan seperti membalik telapak tangan. Butuh beberapa dekade kalau bukan abad. Intinya, dibutuhkan upaya yang sistematis dan kolaboratif antara pemerintah, sekolah, keluarga, dan masyarakat. Penelitian di Finlandia sebagaimana saya rujuk menunjukkan bahwa keberhasilan pendidikan berbasis literasi didukung oleh keterlibatan aktif orang tua dalam membiasakan anak-anak membaca sejak usia dini. Selain itu, perpustakaan komunal dan klub-klub literasi di tingkat lokal juga berperan penting dalam menumbuhkan minat baca masyarakat.
Di Indonesia, kalau Anda sudah mengangkat fenomena kampung berbahasa Inggris di Pare, inisiatif warga Kampung Buku di Taman Sari, Yogyakarta, dapat menjadi contoh inspiratif. Masyarakat setempat berkolaborasi untuk membangun perpustakaan komunal dan menggerakkan aktivitas literasi. Hal ini telah berhasil menciptakan perubahan budaya di lingkungan mereka. Upaya serupa juga dapat diterapkan di berbagai daerah, dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi lokal yang dimiliki.
Untuk mencapai keberhasilan, kurikulum literasi membutuhkan dukungan dan partisipasi aktif dari seluruh komponen masyarakat. Pemerintah dapat menyediakan kebijakan dan sumber daya yang memadai, sementara sekolah, keluarga, dan komunitas berperan dalam mengimplementasikan dan membudayakan aktivitas literasi dalam kehidupan sehari-hari. Hanya dengan upaya kolaboratif yang berkelanjutan, budaya literasi yang kuat dapat terwujud dan memberikan dampak positif bagi peningkatan kualitas pendidikan dan kesejahteraan masyarakat.
Banyak terimakasih atas penjelasannya, Pak Edy. Menarik. Menyimak. GBU.
Pak Edy, Pak Nugroho, dan Pak Jacobus terimakasih untuk mendiskusikan topik pendidikan yang juga merupakan fondasi membangun peradaban dan cita-cita NKRI serta tidak lengang secara waktu.
Ijinkan pada kesempatan ini saya menyampaikan renungan saya mengenai kurikulum merdeka.
Poin renungan saya sebagai berikut:
1. Membaca kata kurikulum merdeka, saya teringat gambaran situasi dan gerakan yang dilakukan oleh tokoh pendahulu kita (Ki Hajar Dewantoro) yang mana beliau pada waktu itu sudah meletakkan fondasi kurikulum merdeka.
2. Adapun fondasi kurikulum merdeka menurut Ki Hajar Dewantoro adalah adanya interaksi yang produktif antara guru (pamong yang menerapkan sistem among), siswa (yang diamongi) di lingkungan perguruan (sekolah) guna membantu siswa dapat meluangkan waktu luang secara produktif yang tujuannya agar guru dan siswa bersama berkembang.
3. Berkaitan dengan operasional di lapangan, konsep fondasi kurikulum merdeka yang sudah ada sejak Ki Hajar Dewantoro berhadapan dengan realitas politik sosial ekonomi yang cenderung berorientasi keuntungan “nafsu pribadi” dan “nafsu kekuasaan”.
4. “Nafsu pribadi dan kekuasaan” yang mana pelaku-pelaku kebijakan ingin memperoleh keuntungan ekonomi (baca: memperkaya diri secara finansial) dari kebijakan tersebut. Selain itu juga agar legacy kekuasaan secara politik.
5. Solusi yang terbayang adalah melanjutkan dan mengembangkan fondasi yang sudah dimulai oleh Ki Hajar Dewantoro dengan sikap nilai hidup berintegritas, beretika dan berbudi luhur bagi individu-individu di organisasi (birokrat, asn) yang menjalankan kurikulum merdeka. Sehingga tujuan mulia dengan pendidikan peradaban NKRI semakin maju tercapai.
Mas Sugeng Pramono, S.Psi., MM. yang proaktif,
Sama² ‘Merdeka Belajar’, versi Nadiem Makarim dan Ki Hajar Dewantara tidak bisa dihimpitkan ke dalam satu tarikan nafas.
Prinsip ‘Merdeka Belajar’ versi Kemendikbud yang diinisiasi oleh Nadiem Makarim menekankan pada fleksibilitas dan kemandirian dalam pembelajaran, di mana siswa dan guru diberikan ruang untuk mengeksplorasi metode dan materi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan individu. Inisiatif ini bertujuan untuk mengurangi tekanan berlebihan dari ujian nasional dan kurikulum yang terlalu ketat, serta mendorong keragaman dalam pengajaran dan pembelajaran (Kemendikbud, 2019).
Sementara itu, konsep ‘Merdeka Belajar’ yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara lebih berfokus pada filosofi pendidikan yang menitikberatkan harkat dan martabat manusia. Ki Hajar menginginkan pendidikan yang membebaskan siswa dari tekanan dan memanusiakan manusia (Dewantara, 1949). Filosofi ini lahir dari keinginan untuk melawan sistem pendidikan kolonial yang tertutup dan otoriter, dengan menempatkan kebebasan berpikir dan humanisme sebagai inti pendidikan.
Pakar pendidikan, seperti Mochtar Buchori, berpendapat bahwa meskipun kedua konsep ini memiliki kesamaan dalam hal memberikan kebebasan dan kemandirian kepada siswa, implementasinya berbeda. Nadiem lebih menekankan reformasi struktural dan administratif, sementara Ki Hajar fokus pada transformasi nilai dan filosofi pendidikan (Buchori, 2001).
Betapa pun, penelitian oleh Azizah (2020) menyimpulkan bahwa kedua pendekatan ini dapat saling melengkapi, dengan Ki Hajar memberikan dasar filosofi yang kuat dan Kemendikbud menawarkan implementasi praktis yang lebih fleksibel di era modern.
Bibliografi:
Azizah, N. (2020). ‘Implementasi Konsep Merdeka Belajar dalam Pendidikan Dasar di Indonesia’, _Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan_, 25(3), pp. 221-232.
Buchori, M. (2001). _Pendidikan sebagai Kebudayaan_. Jakarta: Grasindo.
Dewantara, K. H. (1949). _Pendidikan Menurut Ki Hajar Dewantara_. Yogyakarta: Taman Siswa.
Kemendikbud. (2019). _Konsep Merdeka Belajar Nadiem Makarim_. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Banyak terimakasih kasih penjelasan historis kurikulum, Pak Edy Suhardono. Menyimak. Sangat memperkaya wawasan. GBU.