‘Atribusi privilege’ dalam perspektif psikologi politik merujuk pada kecenderungan manusia untuk mengaitkan keuntungan atau hak istimewa yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok tertentu dengan faktor-faktor sosial, struktural, atau kekuasaan yang dominan dalam masyarakat. Hal ini melibatkan persepsi terhadap perbedaan-perbedaan dalam akses terhadap sumber daya, kesempatan, atau kewenangan yang melekat pada individu atau kelompok tertentu dan bagaimana mereka menjelaskan atau mengatribusikan faktor-faktor yang berperan di dalamnya. Analisis berbasis atribusi privilege dapat melibatkan analisis terhadap ketidaksetaraan gender, ras, kelas sosial, dan faktor lainnya yang mempengaruhi pembagian keuntungan dan kekuasaan dalam masyarakat.
Sebagai contoh, individu dengan tingkat atribusi privilege yang kuat mungkin cenderung mencetuskan alasan-alasan dari keterpurukannya dengan faktor seperti “historisitas dominasi kelompok tertentu” (misal: ‘apa pun prestasi saya, saya tidak mungkin menjadi manajer karena yang menjadi manajer di perusahaan ini selalu kelompok X’) atau “struktur sosial yang memihak”, di mana seseorang atau sekelompok orang memiliki hak istimewa atau keuntungan yang lebih besar dalam masyarakat.
Kompetensi dan Keberhasilan
Atribusi privilege lebih sering berjalan bergandeng tangan dengan ‘Atribusi Keberhasilan’ dan ‘Atribusi Kompetensi’. Atribusi keberhasilan mengacu pada asumsi bahwa kesuksesan seseorang atau sekelompok orang disebabkan oleh faktor tertentu, seperti koneksi atau hubungan yang dimiliki individu itu. Dalam contoh, tuduhan bahwa ‘Gibran berhasil sebagai walikota Solo lebih karena dia adalah anak Jokowi’ merupakan bentuk nalar dari atribusi keberhasilan.
Meskipun Gibran mungkin memiliki keahlian dan bakat tertentu yang membantunya dalam menjalankan tugasnya secara baik, orang-orang yang meragukannya mungkin berpendapat bahwa hubungannya dengan Jokowi memberinya keuntungan tertentu, seperti akses ke sumber daya atau dukungan yang tidak tersedia bagi pejabat lain. Karena itu, atribusi keberhasilan akan mereduksi kontribusi kompetensi dan kemampuan individu sebagai faktor penentu keberhasilannya, dan lebih mengaitkannya dengan faktor luar seperti keberuntungan atau koneksi.
Adapun ‘Atribusi Kompetensi’ merujuk pada proses mengaitkan atau mendasarkan suatu individu pada keterampilan, pengetahuan, atau kemampuan yang mereka miliki. Hal ini melibatkan interpretasi orang-orang terhadap kemampuan atau keahlian seseorang berdasarkan pengamatan mereka terhadap tindakan atau kinerjanya. Dalam contoh, jika Gibran dianggap tidak kompeten sebagai walikota Solo, atribusi kompetensi akan melibatkan penilaian terhadap kemampuan manajerial, kepemimpinan, atau keahlian lain yang diperlukan dalam jabatan tersebut. Mereka akan mengevaluasi kinerjanya dalam memimpin dan mengelola kota tersebut, serta melihat apakah dia dapat menghadapi tantangan yang ada.
Beberapa kritikus menyatakan bahwa Gibran dinilai tidak kompeten sebagai walikota, di mana keberhasilannya lebih karena dia anak Jokowi. Dalam hal ini, mereka mengatribusikan keberhasilan atau penunjukan Gibran sebagai walikota Solo semata-mata kepada faktor-faktor eksternal seperti kedudukannya sebagai anak seorang presiden, dan bukan karena kompetensi yang dimilikinya. Namun, orang-orang yang meyakini atribusi kompetensi mungkin akan mencoba melihat kemampuan dan keterampilan lain yang dimiliki oleh Gibran yang dapat mendukung perannya sebagai walikota, misalnya pengalaman bisnisnya atau potensi kepemimpinan yang telah ditunjukkan dalam kampanye pemilihan.
Data yang Disorot
Ada beberapa fakta terkait Gibran yang menjadi alasan kesangsian atas kompetensinya. Pertama, dia berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Solo menjadi 6.25% dibanding 4.75% sebelum pandemi. Kenaikan ini di atas rata-rata nasional, meski tak berhasil mencapai target PAD tahun 2022. Kedua, pertumbuhan ekonomi paling kontributif adalah sektor konstruksi (25%), dan ini di atas rata-rata nasional yang sekitar hanya 10%. Yang sering dipersoalkan, sektor konstruksi ternyata datang dari proyek infrastruktur sebesar 1.7 trilyun dari APBN Kementerian PUPR, Perhubungan, dan Industri serta sebagian kecil APBD Jateng. Sektor konstruksi juga disumbang oleh Investasi Dana Reksa (Revitalisasi Lokananta) dan Investasi PT SMI (PLT Sampah) yang merupakan satu-satunya PLTSa yang dibangun di Indonesia, sementara 22 PLTSa yang direncanakan Kementerian ESDM tidak terealisasi karena tidak ada investor yang mau. Ketiga, pertumbuhan yang disumbang oleh Dana Hibah UAE untuk membangun Masjid dan Islamic Center.
Lantas, apakah data tersebut dapat ditafsirkan secara tunggal sebagai akibat kausatif dari ikatan keluarga dengan Jokowi, ayahnya? Jika dibuat asumsi terbalik, apakah jika posisi Gibran digantikan aktor lain semua itu tidak mungkin terwujud?
Data yang disediakan memberikan gambaran tentang beberapa prestasi yang didapatkan oleh Gibran selama dua tahun masa jabatannya, dengan peningkatan signifikan dalam pengembangan ekonomi dan konstruksi. Meski begitu, atribusi langsung terkait prestasi tersebut ke Gibran dan perannya secara individu tidak bisa diuraikan tanpa data lebih rinci. Faktor-faktor seperti dukungan dari lembaga pemerintah yang berbeda (misalnya, Kementerian PUPR, Kementerian Perhubungan, Kementerian Industri, dll.), dana hibah dari negara lain (seperti UAE), dan investasi dari entitas lain juga memainkan peran penting dalam pertumbuhan tersebut.
Artinya, penting untuk melihat keberhasilan ini dalam konteks yang lebih luas, dan tidak hanya mencoba mengaitkannya dengan satu individu saja. Data yang penulis sorot tidak memadai untuk menunjukkan seberapa jauh peran spesifik Jokowi, sebagai ayah, berpengaruh secara signifikan dalam keberhasilan ini, meski sangat mungkin juga bahwa beberapa fakta dan kaitan dapat ditafsirkan secara berbeda oleh orang yang berbeda, tergantung pada perspektif dan pemahaman mereka.
Duplikasi Gibran?
Terkait dengan pertanyaan apakah data tersebut dapat ditafsirkan secara tunggal semata karena tangan Jokowi, ayahnya, atau apakah jika posisi Gibran diduplikasi oleh aktor lain, semua itu tidak bakal terwujud? Jawabannya tidak dapat dipastikan dengan tepat karena membutuhkan data lebih lengkap dan analisis yang lebih mendalam dan komprehensif.
Mungkin saja dapat ditafsirkan, Gibran mendapat keuntungan dari ayahnya yang adalah presiden, dan ini mungkin mempengaruhi beberapa aspek dari kebijakan dan oportunitas yang tersedia untuknya. Namun, masih sulit untuk mengatakan secara terukur sejauh mana pengaruh ayahnya berkontribusi terhadap prestasinya.
Pertumbuhan ekonomi suatu daerah tidak hanya bergantung pada satu individu atau posisi tertentu, tetapi melibatkan berbagai faktor dan pemangku kepentingan yang berperan dalam kebijakan ekonomi dan pembangunan. Meskipun kehadiran Gibran mungkin memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi Solo, tidak dapat dipastikan bahwa semua prestasi tersebut hanya karena keterlibatannya sebagai anak dari Presiden Jokowi.
Jadi, meskipun kehadiran Gibran mungkin memiliki peran dalam pertumbuhan ekonomi Solo, penting juga untuk mempertimbangkan banyak faktor lain yang berkontribusi terhadap hal tersebut. Jika posisi Gibran diduplikasi oleh aktor lain belum tentu berarti semua pencapaian tersebut tidak akan terwujud, tetapi bergantung pada kebijakan dan upaya yang dilakukan oleh individu atau pemerintah yang menggantikannya.
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.
One reply on “Atribusi Privilege”
GIbran disorot karena faktor usia di bawah 40, dicawapreskan, dan tetiba MK menmformalkan usia di bawah 40 boleh mencawapares, dan seterusnya. Dengan pencopotan Ketua MK oleh Majelis Khormatan MK, adalah babak baru yang – masih saja – misterius karena bola-bola di politik Indonesia terkadang tidak bisa ditebak.