Fenomena keterlibatan pengusaha dalam politik Indonesia semakin menjadi sorotan, terutama dengan adanya pengusaha dalam kabinet Prabowo-Gibran. Polemik ini memicu diskusi mengenai keseimbangan antara kepentingan bisnis dan demokrasi. Artikel Rahmat Mulyana (Kompas.id, 24/10/24) menyoroti pengaruh dominasi pengusaha di parlemen terhadap kebijakan publik, yang sering kali membingungkan antara kebijakan yang pro-rakyat dan yang menguntungkan elite bisnis.
Tesis Ancaman terhadap Demokrasi
Mulyana menegaskan bahwa keberadaan pengusaha di parlemen dapat menjadi ancaman bagi demokrasi. Ada kekhawatiran bahwa kepentingan bisnis akan lebih diutamakan daripada kepentingan rakyat. Penelitian menunjukkan bahwa politisi yang memiliki background pengusaha cenderung lebih menjalankan agenda bisnis mereka sendiri. Dr. Maria Nindya (2018) menyatakan bahwa hubungan antara pengusaha dan politik menciptakan kondisi di mana kepentingan sulit dipisahkan, mengurangi transparansi dan akuntabilitas.
Salah satu kritik utama adalah potensi penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi. Pengaruh besar pengusaha dalam pengambilan keputusan dapat membatasi keragaman suara yang seharusnya terwakili dalam demokrasi. Penelitian Farley (2018) menunjukkan bahwa dominasi kelompok tertentu di pemerintahan dapat melemahkan rasa keadilan dan kesetaraan dalam masyarakat. Data Lembaga Survei Indonesia (2020) menunjukkan bahwa dominasi elite, termasuk pengusaha, menciptakan kesenjangan dalam suara masyarakat, di mana keterlibatan mereka sering kali lebih fokus pada lobi-lobi untuk keuntungan ekonomi.
Dalam konteks ini, kita perlu bertanya: Apakah pengusaha benar-benar menjadi ancaman bagi demokrasi, ataukah mereka mencerminkan dinamika kekuasaan yang lebih luas? Sejauh mana kepentingan bisnis dapat sejalan dengan aspirasi rakyat tanpa mengorbankan transparansi? Apakah keterlibatan pengusaha justru membuat suara masyarakat terpinggirkan, atau ada ruang untuk kolaborasi yang saling menguntungkan? Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk mengevaluasi peran pengusaha dalam struktur demokrasi dan bagaimana pengaruh mereka dapat memperkuat atau merusak prinsip keadilan dan kesetaraan.
Antitesis Potensi Perubahan Positif
Di sisi lain, ada argumen bahwa pengusaha dapat membawa perspektif pragmatis dan efisiensi dalam pemerintahan. Pengalaman mereka dalam manajemen bisnis dan pengetahuan pasar bisa menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Studi Houghton (2020) menunjukkan bahwa keterlibatan pengusaha dapat mempercepat kebijakan ekonomi dan investasi, yang berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kehadiran pengusaha dapat menghadirkan perspektif baru yang mempercepat kebijakan pembangunan. Mereka memiliki pemahaman mendalam tentang ekonomi dan praktik bisnis, yang dapat mendorong inovasi dalam kebijakan publik. Menurut Andi Saputra (2022), pengusaha yang terlibat dalam politik dapat memfasilitasi sinergi antara sektor swasta dan pemerintah, mempercepat proyek pembangunan, dan menciptakan lapangan kerja.
Namun, perlu dipertanyakan apakah kehadiran pengusaha di politik benar-benar menjamin keberlanjutan kebijakan yang berpihak pada masyarakat. Dapatkah kita yakin bahwa motivasi mereka untuk berkontribusi pada pembangunan sosial tidak tergeser oleh kepentingan pribadi? Jika efisiensi menjadi prioritas, apakah mereka siap mengorbankan nilai-nilai demokrasi seperti transparansi dan akuntabilitas? Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk menilai sejauh mana pengusaha dapat berfungsi sebagai agen perubahan positif tanpa mengancam prinsip-prinsip dasar demokrasi.
Kolaborasi atau Konflik?
Kita perlu menemukan titik keseimbangan antara keterlibatan pengusaha dan profesional lain dalam pemerintahan. Demokrasi yang sehat memerlukan pluralitas suara, termasuk dari dunia bisnis, tetapi harus dilengkapi dengan mekanisme pengawasan yang kuat untuk mencegah konflik kepentingan. Emilia Smith (2023) menekankan pentingnya pendidikan politik dan regulasi yang tepat untuk menjaga integritas demokrasi, dengan transparansi sebagai kunci untuk memitigasi risiko dominasi oleh kelompok minoritas.
Untuk menghadapi pengusaha di kabinet Prabowo-Gibran, penting untuk memastikan bahwa keterlibatan mereka tidak menjadi penghalang bagi demokrasi. Diskusi harus berfokus pada keseimbangan antara kepentingan bisnis dan kesejahteraan masyarakat, dengan pengawasan yang ketat dan transparansi dalam pengambilan keputusan. Keterlibatan pengusaha dalam politik bisa menjadi langkah positif, asalkan tetap berpegang pada prinsip-prinsip demokrasi yang mendengarkan dan melayani semua lapisan masyarakat.
Oleh karena itu, kita harus mempertanyakan: Apakah pengusaha mampu berkolaborasi dengan masyarakat untuk mencapai kepentingan bersama, ataukah mereka lebih memperjuangkan agenda pribadi yang mengancam suara rakyat? Seberapa efektif mekanisme pengawasan dalam mencegah konflik kepentingan? Ketika pengusaha merambah politik, apakah mereka dapat menjunjung prinsip-prinsip demokrasi yang inklusif? Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk merenungkan apakah keterlibatan pengusaha dalam pemerintahan menjadi ancaman bagi demokrasi yang seharusnya melindungi hak dan aspirasi rakyat.
Tali Simpul
Dalam menghadapi pengusaha yang terlibat dalam politik, kita memerlukan kesinambungan antara kepentingan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Melalui pengawasan dan partisipasi publik, kita dapat mencegah potensi konflik kepentingan dan mempromosikan demokrasi yang sehat. Dengan kolaborasi, pengusaha dapat menjadi agen perubahan positif, bukan penghalang bagi demokrasi yang sejati. Keterlibatan mereka tidak selalu menjadi “pintu penghalang” bagi demokrasi, tetapi bisa menjadi komponen integral dari sistem pemerintahan yang dinamis, asalkan dikelola dengan kebijakan yang mencerminkan representasi yang adil.
Kita harus menuntut transparansi dalam pengambilan keputusan yang melibatkan pengusaha, agar kepentingan publik tidak terabaikan. Diperlukan regulasi ketat untuk memastikan bahwa keterlibatan pengusaha tidak berujung pada dominasi kekuasaan yang merugikan masyarakat. Selain itu, kita harus mengedukasi masyarakat tentang pentingnya partisipasi aktif dalam proses politik untuk mengawasi dan mengevaluasi peran pengusaha. Dengan langkah-langkah ini, kita dapat memastikan bahwa pengusaha tidak menjadi ancaman bagi demokrasi, tetapi berkontribusi pada terciptanya sistem pemerintahan yang lebih adil dan inklusif.
***
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.