Categories
Begini Saja

Berpolitik atau Apolitis?

Menghadapi hari-hari kita, sering kali kita dihadapkan pada dilema: terlibat dalam politik atau memilih untuk apolitis. Para filsuf telah lama mempertanyakan peran individu dalam masyarakat โ€”apakah kewajiban kita untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik yang mempengaruhi kehidupan kita, ataukah lebih bijaksana untuk menjaga jarak dari polemik dan konflik yang sering terjadi dalam ranah politik? Apakah kita siap menghadapi konsekuensi dari pilihan kita, entah terlibat atau menjauh dari kerumitan ini?

Aristoteles menyebut manusia sebagai zoon politikon, makhluk yang secara alamiah terlibat dalam politik. Pernyataan ini menunjukkan bahwa pilihan untuk berpolitik atau apolitis bukan sekadar pilihan moral, melainkan juga berakar dalam kondisi psikologis yang kompleks. Menghadapi pilihan untuk terlibat atau menyingkir dari dunia politik menjadi dilema yang menggugah baik dari segi filsafat maupun psikologi. Namun, apakah berpolitik selalu berarti menjalankan kewajiban moral, atau mungkin kita lebih baik menjaga kebersihan jiwa dari racun politik?

Mengapa Berpolitik?

Dari perspektif filsafat, argumen utama untuk keterlibatan politik adalah tanggung jawab sosial. Hannah Arendt mengemukakan bahwa terlibat dalam politik adalah bagian dari identitas manusia, di mana tindakan politik merupakan ekspresi kebebasan yang memungkinkan individu menjadi agent of change (Arendt, 2010). Namun, adakah kebebasan sejati dalam keterlibatan politik ketika kita menyaksikan begitu banyak kebohongan dan manipulasi yang terjadi dalam arena ini?

Dalam ranah psikologi politik, bukti menunjukkan bahwa politik dapat memunculkan perilaku negatif. Penelitian oleh Rydell et al. (2017) menemukan bahwa partisipasi dalam politik meningkatkan kecenderungan individu untuk bersikap antagonis dan defensif terhadap pandangan yang berbeda. Terlibat dalam politik dapat memperkuat identitas sosial, tetapi juga berisiko menimbulkan konflik internal. Bagaimana kita bisa mendamaikan sisi-sisi kontras dari identitas politik ini? Apakah keputusan untuk terlibat justru akan menjerumuskan kita pada perilaku yang merugikan diri sendiri dan orang lain?

Keterlibatan politik juga menciptakan tekanan emosional. Studi oleh Tausch et al. (2016) menunjukkan bahwa individu yang aktif dalam politik cenderung mengalami stres yang lebih tinggi akibat polaritas opini dan konflik. Psikolog sosial mengidentifikasi bahwa individu sering terjebak dalam tribalism, yang membutakan mereka terhadap pandangan yang berbeda. Moghaddam (2020) menyarankan bahwa polarisasi politik memperkuat pemikiran kelompok dan mengompromikan penilaian moral. Apakah kita bisa tetap objektif di tengah arus konflik yang kian tajam?

Konsekuensi Apolitis

Apakah sterilitas politik menjadi jawaban atas konflik batin yang merongrong integritas pribadi? Jika keterlibatan politik menambah tekanan dan stres dalam hidup kita, dapatkah kita mempertimbangkan kembali pilihan untuk aktif berpartisipasi, atau sebaliknya, mengurung diri dari dunia politik yang penuh gejolak?

Memilih untuk menjadi apolitis juga mengandung risikonya. John Stuart Mill menegaskan pentingnya suara individu dalam masyarakat (Mill, 1859). Ketidakterlibatan dapat dianggap sebagai pengabaian tanggung jawab sosial, yang berujung pada hilangnya kebebasan. Namun, penelitian oleh Wuthnow (2022) menunjukkan bahwa individu yang memilih apolitis sering merasa lebih damai dan memiliki waktu untuk mengembangkan diri dalam aktivitas yang sesuai dengan nilai-nilai pribadi. Apakah di balik keputusan apolitis ini tersembunyi kebijaksanaan esensial atau sekadar pelarian dari tanggung jawab sosial?

Setiap pilihan memiliki konsekuensi. Dalam siklus perilaku politik, keterlibatan atau penghindaran dapat menimbulkan efek domino yang mempengaruhi lingkungan sosial. Penelitian oleh Sibley et al. (2017) menemukan bahwa individu yang terlibat dalam politik memiliki visi yang lebih optimis terhadap masa depan. Namun, dapatkah optimisme ini bertahan ketika kenyataan pahit dari pertarungan politik menghampiri kita?

Jalan Tengah

Untuk memecahkan dilema ini, penting untuk mengeksplorasi cara berpolitik yang lebih otonom dan berbasis pada nilai-nilai personal. Di era digital saat ini, keterlibatan politik dapat dilakukan tanpa terjun langsung ke dalam hiruk-pikuk politik, seperti melalui survei publik atau kampanye online yang membawa suara kita ke permukaan. Namun, apakah kita berhati-hati untuk memastikan bahwa suara kita tidak hanyalah bentuk pengabaian terhadap nilai-nilai yang kita pegang?

Dilema antara berpolitik dan apolitis tidak memiliki jawaban tunggal yang benar atau salah. Setiap individu dihadapkan pada perenungan mendalam mengenai nilai-nilai dan identitas politik mereka. Saat kita mempertimbangkan jalan yang akan kita tempuh, kita harus bertanya: apakah keterlibatan dalam politik atau menjauh darinya akan menjadikan kita individu yang lebih baik? Apakah kita memperjuangkan sebab yang lebih besar atau sekadar menjaga kedamaian batin?

Pilihan untuk berpolitik atau menjadi apolitis adalah refleksi kompleks pengalaman manusia. Ini melibatkan tanggung jawab sosial dan moral, serta kesejahteraan psikologis yang harus seimbang. Saat kita merenungkan posisi kita dalam dunia politik, apakah kita siap menghadapi konsekuensi dari pilihan kita โ€”apakah terlibat atau menjauh dari kerumitan politik yang ada? Jawaban mungkin tidak selalu hitam-putih, tetapi refleksi dan kejujuran dalam memilih akan tetap menjadi pilar pengambilan keputusan yang bijaksana.

***

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

2 replies on “Berpolitik atau Apolitis?”

Jalan tengah yang ditawarkan oleh Pak Edy dapat dilanjutkan dengan jalan berkelanjutan, yaitu:
1. Bagi yang memilih keputusan berpolitik dalam bentuk aksi yang aktif tetap berada dalam jalan perjuangannya dengan landasan moral yang kuat untuk kepentingan yang lintas kelompok.
2. Bagi yang memilih apolitis, tetap untuk mau membuka diri minimal mengikuti perkembangan politik.
Dengan kata lain kedua hal diatas menyampaikan bahwa setelah memutuskan pilihan, maka perjalanan selanjutnya ada berkelanjutan agar perjalanan mencapai tujuan.

Mas Sugeng Pramono, S.Psi., M.M.,

Terima kasih atas komentar Anda yang menarik dan konstruktif. Saya menghargai komentar Anda tentang jalan tengah dan pentingnya berkomitmen pada politik dan tidak berpolitik. Namun, saya ingin menekankan bahwa ๐ค๐ž๐›๐ž๐›๐š๐ฌ๐š๐ง ๐ข๐ง๐๐ข๐ฏ๐ข๐๐ฎ ๐ฎ๐ง๐ญ๐ฎ๐ค ๐ฆ๐ž๐ฆ๐ข๐ฅ๐ข๐ก ๐ฉ๐จ๐ฅ๐ข๐ญ๐ข๐ค ๐š๐๐š๐ฅ๐š๐ก ๐ฅ๐š๐ง๐๐š๐ฌ๐š๐ง ๐ฉ๐ž๐ง๐ญ๐ข๐ง๐  ๐๐š๐ฅ๐š๐ฆ ๐ฆ๐š๐ฌ๐ฒ๐š๐ซ๐š๐ค๐š๐ญ ๐ฒ๐š๐ง๐  ๐๐ž๐ฆ๐จ๐ค๐ซ๐š๐ญ๐ข๐ฌ.

Kebebasan memilih politik sebenarnya mencerminkan esensi dari otonomi individu. Menurut karya John Stuart Mill, ๐‘ถ๐’ ๐‘ณ๐’Š๐’ƒ๐’†๐’“๐’•๐’š, โ€œSeseorang memiliki hak untuk mengekspresikan pendapatnya selama ia tidak merugikan orang lainโ€ (Mill, 1859). Meskipun ini adalah pandangan klasik, prinsip ini tetap berlaku dalam konteks modern.

Selain itu, pernyataan Anda bahwa mereka yang memilih untuk berpolitik dan mereka yang tidak berpolitik akan terus berpartisipasi dalam politik dapat disalahartikan sebagai tekanan untuk melakukan hal tersebut meskipun orang tersebut merasa tidak nyaman atau tidak tertarik. Seharusnya tidak demikian. Dalam konteks ini, kemampuan individu untuk menentukan arah hidup mereka adalah hal yang fundamental, termasuk pilihan untuk tidak terlibat dalam politik. Menurut Hannah Arendt, โ€œ๐Š๐ž๐›๐ž๐›๐š๐ฌ๐š๐ง ๐ญ๐ข๐๐š๐ค ๐ก๐š๐ง๐ฒ๐š ๐ญ๐ž๐ซ๐๐ข๐ซ๐ข ๐๐š๐ซ๐ข ๐ฆ๐ž๐ฆ๐ข๐ฅ๐ข๐ก ๐๐ข ๐š๐ง๐ญ๐š๐ซ๐š ๐ฉ๐ข๐ฅ๐ข๐ก๐š๐ง-๐ฉ๐ข๐ฅ๐ข๐ก๐š๐ง ๐ฒ๐š๐ง๐  ๐š๐๐š, ๐ญ๐ž๐ญ๐š๐ฉ๐ข ๐ฃ๐ฎ๐ ๐š ๐ฆ๐ž๐ฆ๐ข๐ฅ๐ข๐ค๐ข ๐ก๐š๐ค ๐ฎ๐ง๐ญ๐ฎ๐ค ๐ญ๐ข๐๐š๐ค ๐ฆ๐ž๐ฆ๐ข๐ฅ๐ข๐กโ€ (Arendt, 1961).

Contoh sederhananya adalah partisipasi masyarakat. Misalkan seorang warga memilih untuk terlibat secara aktif dalam pengembangan lingkungan tanpa terlibat dalam politik formal. Pilihan ini tidak menyiratkan bahwa orang tersebut tidak berpolitik, tetapi lebih merupakan pilihan yang berasal dari kebebasan untuk berkontribusi dengan cara apa pun yang dianggap lebih tepat. Hal ini karena mengingatkan kita bahwa politik tidak hanya ada dalam konteks pemilihan umum dan kebijakan, tetapi juga dalam setiap tindakan yang mendukung perubahan sosial.

Untuk meningkatkan kesadaran politik sebagai sebuah kelompok, perlu untuk menghargai keputusan individu, baik yang bersifat politis maupun non-politis. Oleh karena itu, perdebatan politik atau non-politik seharusnya tidak menjadi penghalang, melainkan pilihan yang didasarkan pada keyakinan dan nilai individu.

Semoga tanggapan ini memberikan perspektif yang lebih luas tentang kebebasan memilih politik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *