Categories
Begini Saja

Kolom Agama KTP: Warisan Paksaan Ideologis

Gugatan yudisial terhadap kolom agama di KTP yang kembali diajukan ke Mahkamah Konstitusi oleh Arktika Febrina, seorang penganut Ahmadiyah, bukan sekadar manuver hukum. Ia adalah manifestasi dari luka psikologis dan konstitusional yang belum sembuh.

Gugatan ini menyoroti bahwa kolom agama bukan hanya diskriminatif, tetapi juga dapat mengancam keselamatan individu. Argumen ini mengangkat isu dari ranah administrasi ke ranah psikologi politik dan keamanan insani (Kompas, 4/9/2025).

Kolom agama adalah anomali demokrasi: instrumen negara yang secara historis berfungsi sebagai alat kontrol, secara klinis menjadi sumber stres kronis, dan secara sosial menghambat rekonsiliasi kebangsaan.

Menghapusnya bukan serangan terhadap agama, melainkan pembelaan terhadap kesehatan mental kolektif dan hak sipil yang setara.

Kontrol Politik Melalui Ancaman Psikologis

Kolom agama KTP bukanlah produk dari kebutuhan demografi yang netral. Ia lahir dari iklim politik pasca-1965 yang penuh kecurigaan terhadap ateisme dan komunisme. Catatan hukum dan kebijakan menunjukkan bahwa negara menggunakan identitas agama sebagai alat kontrol terhadap kelompok minoritas dan penghayat kepercayaan (UII, 2023).

Negara menyederhanakan identitas kompleks warga ke dalam enam kategori agama resmi, menciptakan “liyan” yang rentan secara psikologis dan yuridis. Kewajiban memilih satu dari enam agama memaksa individu seperti Arktika untuk mengingkari keyakinan batinnya. Ini adalah bentuk kekerasan simbolik, sebagaimana dijelaskan oleh Pierre Bourdieu dalam Language and Symbolic Power, yang dalam konteks Indonesia telah diuraikan secara lokal oleh Jurnal Madani.

Konflik antara identitas hukum dan identitas personal berkorelasi dengan perasaan terasing dan ketidakberdayaan. Studi oleh PUSKAPA menunjukkan bahwa tekanan psikologis akibat ketidaksesuaian identitas formal dapat berdampak pada kesehatan mental jangka panjang, terutama bagi kelompok rentan seperti penghayat kepercayaan dan komunitas agama non-mainstream (PUSKAPA, 2021).

Stigma Negara yang Menuai Patologi Kesehatan Mental

Kolom agama berfungsi sebagai “stabilo sosial” yang dilegalkan negara, menandai individu sebagai anggota in-group atau out-group. Bagi kelompok minoritas, label ini menjadi pemicu stres minoritas, sebuah konsep yang dijelaskan oleh American Psychological Association sebagai stres kronis berbasis sosial yang dialami kelompok yang distigmatisasi (APA, 2020).

Setiap kali mereka menunjukkan KTP, mereka menghadapi potensi penolakan atau penghakiman. Beban mental ini tidak dialami oleh kelompok mayoritas. Laporan tahunan SETARA Institute mencatat 321 tindakan intoleransi sepanjang 2024, dengan 175 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang sebagian besar menargetkan kelompok agama non-mainstream (SETARA, 2024).

Survei nasional oleh INFID terhadap milenial dan Gen Z menunjukkan bahwa 34,7% responden masih menunjukkan sentimen negatif terhadap kelompok agama tertentu. Ini menunjukkan bahwa stigma yang dilembagakan melalui KTP berdampak pada persepsi sosial lintas generasi (INFID, 2024).

Penonjolan identitas keagamaan formal di ruang publik berkorelasi positif dengan meningkatnya sikap intoleran. Kolom agama secara tidak langsung menyuburkan patologi sosial dan menciptakan masalah kesehatan mental komunitas.

Menghapus Stigma demi Merajut Ulang Kewargaan

Solusi atas masalah ini memerlukan pendekatan psikologi rekonsiliasi kebenaran. Rekonsiliasi berarti negara harus mengakui bahwa kebijakannya di masa lalu telah salah dan menyebabkan penderitaan. Menghapus kolom agama bukanlah revisi teknis, melainkan langkah simbolik yang kuat.

Studi oleh Wahid Institute menunjukkan bahwa rekonsiliasi identitas memerlukan pengakuan institusional atas kesalahan masa lalu. Negara harus berhenti menjadi agen prasangka dan mulai menjadi fasilitator persatuan. Identitas utama yang mengikat semua orang bukanlah label agamanya, melainkan statusnya sebagai Warga Negara Indonesia (Wahid Institute, 2023).

Dengan menghilangkan kategorisasi yang memecah belah ini, negara berhenti menjadi agen prasangka dan mulai menjadi fasilitator persatuan. Interaksi sosial dan layanan publik akan didasarkan pada kualitas personal dan kontribusi warga, bukan pada label primordial.

Membongkar warisan paksaan ideologis ini adalah prasyarat untuk menyembuhkan luka kolektif, memulihkan kepercayaan minoritas kepada negara, dan merajut kembali tenun kebangsaan yang terkoyak oleh politik identitas. Ini adalah ujian kedewasaan demokrasi Indonesia.

Daftar Referensi:

APA. (2020). “Minority Mental Health”. APA. Diakses 14 September 2025. https://www.apa.org/news/press/releases/stress/2020/minority-mental-health

INFID. (2024). Sikap Generasi Milenial dan Generasi Z terhadap Toleransi, Kebinekaan, dan Kebebasan Beragama di Indonesia. Disusun oleh Dr. Alfindra Primaldhi, Dahlan Sahat Khrisfianus Panggabean, M.Psi, dan Dr. Paksi C.K. Walandouw. Jakarta: INFID.

Jurnal Madani. (2022). “Pierre Bourdieu dan Konsep Dasar Kekerasan Simbolik”. MADANI, Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan, Vol 12 No 1 (2020). Diakses 14 September 2025.  http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=3024947&val=12888&title=PIERRE%20BOURDIEU%20DAN%20KONSEP%20DASAR%20KEKERASAN%20SIMBOLIK

Kompas. (2025). “Kolom Agama KTP Kembali Digugat ke MK”. Kompas. Diakses 14 September 2025. https://nasional.kompas.com/read/2025/09/04/09075341/kolom-agama-ktp-kembali-digugat-ke-mk-usai-dianggap-mengancam-nyawa

PUSKAPA & AIPJ. (2021). “Legal Identity and Psychological Burden”. Puskapa. Diakses 14 September 2025. https://puskapa.org/en/blog/publication/782/

SETARA Institute. (2024). “Indeks Kota Toleran”. KBB. Diakses 14 September 2025. https://kbb.id/2025/05/23/indeks-kota-toleran-2024-setara-institute/

Universitas Islam Indonesia. (2023). “Catatan tentang Kolom Agama dalam KTP”. Law.UII. Diakses 14 September 2025. https://law.uii.ac.id/wp-content/uploads/2023/12/Catatan-tentang-Kolom-Agama-dalam-KTP.pdf

***

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya berjudul “Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasi di Era Transformasi Sosio- Digital” (Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2025) dan buku yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

2 replies on “Kolom Agama KTP: Warisan Paksaan Ideologis”

Pak Rusmusi, pandangan Bapak mengajak refleksi penting. Namun, dalam konteks artikel soal kolom agama di KTP, justru ritual sering menjadi simbol identitas yang dipaksakan negara. Spiritualitas bisa tumbuh bebas justru bila negara tak mencampuri ranah batin. Mungkin masalahnya bukan pada umat, tapi pada sistem yang membatasi pilihan spiritual mereka.

Leave a Reply to Rusmusi IMp Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *