Categories
Begini Saja

Megawati di UGM: Panggung Wayang dan Dalang di Balik Kritik pada Buzzer

Pidato Megawati Soekarnoputri di Universitas Gadjah Mada bukan sekadar orasi akademik. Ia tampil sebagai dalang yang membuka kelir, menyindir para buzzer politik dengan nada getir: “Saya paling tidak suka sama buzzer.”

Pernyataan ini mengundang riuh, bukan hanya karena ia menyasar praktik komunikasi digital yang manipulatif, tetapi karena ia mengatakannya dari panggung yang selama ini diasosiasikan dengan kekuasaan. Megawati, dalam satu kalimat, memposisikan diri sebagai penonton yang muak pada lakon yang ia sendiri pernah sutradarai.

Namun, kritik terhadap buzzer tidak bisa dilepaskan dari struktur kekuasaan yang melahirkannya. Dalam kerangka Gramscian, buzzer adalah bagian dari “aparatus hegemonik”—aktor yang menginternalisasi nilai dominan dan menyebarkannya melalui kanal digital. Mereka bukan sekadar bayaran, melainkan bagian dari produksi konsensus. Antonio Gramsci menyebut ini sebagai “hegemoni kultural,” di mana kekuasaan tidak hanya memerintah melalui hukum, tetapi melalui persetujuan yang dibentuk oleh narasi, simbol, dan repetisi.

Buzzer bekerja bukan hanya dengan menyebar informasi, tetapi dengan mengatur afeksi. Di sinilah relevansi pemikiran Byung-Chul Han tentang psikopolitik menjadi penting. Dalam Psychopolitics: Neoliberalism and New Technologies of Power, Han menjelaskan bagaimana kekuasaan hari ini tidak lagi memaksa tubuh, tetapi mengelola jiwa. Buzzer adalah agen psikopolitik yang mengatur emosi publik: kemarahan, simpati, rasa takut, dan harapan. Mereka bukan hanya menyampaikan pesan, tetapi menciptakan atmosfer.

Megawati, dengan menyebut buzzer sebagai sesuatu yang ia benci, seolah ingin memisahkan diri dari praktik tersebut. Namun, publik tahu bahwa buzzer tidak lahir dari ruang hampa. Mereka tumbuh dalam ekosistem politik yang membutuhkan orkestrasi opini. Dalam konteks Indonesia, studi Merlyna Lim dan Ross Tapsell menunjukkan bagaimana media digital menjadi arena perebutan narasi oleh oligarki politik. Buzzer adalah pion dalam permainan catur ini—bergerak sesuai strategi, bukan etika.

Kritik Megawati menjadi menarik karena ia mengandung paradoks. Di satu sisi, ia mengutuk praktik yang merusak kualitas demokrasi deliberatif. Di sisi lain, ia adalah bagian dari sistem yang memelihara praktik tersebut. Ini mengingatkan kita pada konsep Jean Baudrillard tentang simulakra: ketika representasi menjadi lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri. Buzzer menciptakan hiperrealitas politik—di mana citra lebih penting daripada substansi, dan opini lebih menentukan daripada fakta.

Dalam hiperrealitas ini, Megawati tampil sebagai tokoh yang ingin mengembalikan politik pada nilai. Ia menyebut pentingnya “akal sehat”, “etika”, dan “kejujuran”. Namun, apakah mungkin berbicara tentang etika dalam lanskap digital yang telah dikolonisasi oleh algoritma dan afeksi? Han dalam The Expulsion of the Other menyebut bahwa masyarakat digital cenderung mengusir yang berbeda, yang tidak sesuai dengan narasi dominan. Buzzer, dalam hal ini, bukan hanya menyebar pesan, tetapi juga menyingkirkan dissent.

Panggung UGM menjadi simbolik. Di sanalah Megawati mencoba merebut kembali otoritas moral. Ia tidak berbicara sebagai ketua partai, tetapi sebagai ibu bangsa. Namun, publik yang kritis akan bertanya: apakah kritik terhadap buzzer adalah bentuk refleksi atau justru strategi untuk mengatur ulang narasi menjelang kontestasi politik? Dalam politik, kata-kata tidak pernah netral. Mereka adalah performatif—menciptakan realitas baru melalui pengucapan.

Buzzer, dalam praktiknya, sering kali bekerja dengan logika “many clicks but little sticks”. Mereka menciptakan gelombang, tetapi tidak selalu menghasilkan pemahaman. Dalam konteks ini, kritik Megawati bisa dibaca sebagai ajakan untuk kembali pada politik yang reflektif. Namun, refleksi membutuhkan ruang yang bebas dari manipulasi. Apakah ruang itu masih ada?

Kita hidup dalam zaman di mana batas antara informasi dan propaganda semakin kabur. Buzzer adalah gejala dari krisis epistemik—ketika kebenaran tidak lagi ditentukan oleh verifikasi, tetapi oleh viralitas. Dalam lanskap ini, pidato Megawati menjadi penting bukan karena isinya, tetapi karena ia membuka ruang untuk bertanya: siapa yang mengatur narasi? Siapa dalang di balik kelir?

Megawati mungkin tidak sedang menyindir buzzer secara personal. Ia sedang mengkritik sistem yang menjadikan komunikasi sebagai alat dominasi. Dalam kerangka Gramsci, ini adalah momen di mana “common sense” yang lama mulai retak, dan “good sense” yang baru mulai muncul. Namun, transisi ini tidak otomatis. Ia membutuhkan aktor yang berani keluar dari simulakra dan berbicara dengan kejujuran.

Pidato di UGM adalah panggung wayang. Megawati adalah dalang yang membuka kelir, tetapi belum tentu mengakhiri lakon. Publik adalah penonton yang harus belajar membaca simbol, memahami narasi, dan bertanya: apakah kita sedang menonton sandiwara atau sedang diajak berpikir?

Daftar Referensi:

Baudrillard, Jean. 1994. Simulacra and Simulation. University of Michigan Press.

Gramsci, Antonio. 1980. Hegemony and Revolution: A Study of Antonio Gramsci’s Political and Cultural Theory. Walter L. Adamson. University of California Press.

Han, Byung-Chul. 2017. Psychopolitics: Neoliberalism and New Technologies of Power. Verso Books.

Han, Byung-Chul. 2018. The Expulsion of the Other: Society, Perception and Communication Today. Polity Press.

Kompas.com. 2025. “Megawati: Saya Paling Nggak Suka Sama Buzzer.” Kompas.com, 2 September 2025.

Lim, Merlyna. 2013. “Many Clicks but Little Sticks: Social Media Activism in Indonesia”. Journal of Contemporary Asia, Vol. 43, No. 4, pp. 636–657. DOI: 10.1080/00472336.2013.769386

Tapsell, Ross. 2017. Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens and the Digital Revolution. Rowman & Littlefield.

***

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya berjudul “Teori Peran, Konsep, Derivasi dan Implikasi di Era Transformasi Sosio- Digital” (Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2025) dan buku yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

One reply on “Megawati di UGM: Panggung Wayang dan Dalang di Balik Kritik pada Buzzer”

Terima kasih Mas Dr. Edy Suhardono telah membuka wawasan untuk membaca simbol, kode, memahami narasi, dan sekaligus bertanya apakah sedang menonton sandiwara atau sedang diajak berpikir ke depan. Teruslah berkarya untuk mencerdaskan anak bangsa yang berbudi baik. Amin

Leave a Reply to Basuki Ismael Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *