Categories
Kok Begitu

Mengais Motif Di Balik Rentetan Perilaku Hafitd Dan Assyifa

Menimbrung diskusi terhadap posting saya terdahulu, “KOMENTAR TENTANG KOMENTAR ‘BIAS KONFIRMASI’, sahabat pena baru saya, @Bambang Soegiharto Ongkowidjojo, merasa bahwa kasus HAFITD DAN ASSYIFA “membingungkan kalau ditanya motivenya apa”.

Menurut Bambang Soegiharto Ongkowidjojo, “khan pelaku juga dah ngaku ketemennya kalau dia membawa jenasah saat mau menjumper accu mobil, dan yang mengerikan kok hal spt itu dianggap biasa?? Perlu check kejiwaan lebih mendalam gak mungkin kalau hasil checknya normal (malah membingungkan lagi).”

Selain itu, sebagai tambahan fakta ia menulis, “Sebelumnya, kuasa hukum Ahmad Imam Al Hafitd (AH) dan Assyifa Ramadhani (AR), Bustami, mengaku bingung soal perilaku kliennya. ‘Saya bingung, kok, masih tertawa saat diperiksa,’ katanya, Sabtu, 8 Maret kemarin.

Kita tepiskan semua predisposisi kita tentang kaitan antara perilaku dan motif dengan pemahaman bahwa dengan mengaitkan antara keduanya (perilaku dan motif), kita sebenarnya malahan punya “motif” tersendiri untuk memprediksikan motif perilaku atau kepribadian seseorang, apalagi jika tanpa pijakan data dan fakta yang terpercaya kita berpendapat bahwa seseorang melakukannya dengan kesengajaan.

Padahal, prediksi yang kita buat secara prematur berdasarkan asumsi tentang taraf kesengajaan dari suatu perilaku riskan untuk membuat kita jatuh ke dalam “bias konfirmasi” yang mencemari penalaran kita , sehingga kita malahan makin jauh dari pemahaman sebenarnya atas realitas yang terbatas.

Dalam kasus AH dan AR kita perlu mengritisi logika kita yang cenderung menarik konklusi tentang adanya motif di balik perilaku jika serentetan perilaku AH dan AR:

1. Merupakan hasil dari pilihan bebas yang didorong oleh faktor intern dalam diri mereka.
2. Tidak datang/muncul secara aksidental/semena-mena, tetapi merupakan kesengajaan, baik karena faktor intern dari dalam AH dan AR maupun faktor penyebab eksternal/situasi.
3. Tidak lazim atau tidak sesuai dengan pola atau harapan sosial yang lazim.
4. Menimbulkan reaksi atau efek tertentu atau bersifat kontroversial bagi beragam orang.
5. Berakibat menguntungkan sama sekali bagi pihak tertentu atau merugikan sama sekali bagi pihak tertentu.

Jika kelima prasyarat yang pertama kali dicetuskan oleh Jones dan Davis (1965) tersebut terpenuhi pada semua isi pemberitaan media, maka konklusi bahwa serentetan perilaku AH dan AR memiliki motif dapat dikonfirmasi. Sebaliknya, jika tidak terpenuhi, dan untuk memenuhinya pengamat tidak tercukupi hanya dengan mengandalkan isi pemberitaan media, maka diperlukan pendalaman kasus melalui multi-jalur investigatif, baik secara kriminologik, medik, psikologik, sosiologik, bahkan etik/moralistik; jadi tidak hanya secara psikologik.

Memperpendek penarikan konklusi hanya berdasarkan logika silogistik tanpa premis yang memadai hanya akan menempatkan pengamat sebagai bagian dari penambah kusut masalah, bukan bagian dari upaya pemecahan masalah.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *